Breaking News

Opini

Enigma Harga Nilam Aceh

Yang tidak wajar adalah masifnya informasi di media sosial yang begitu gencar memobilisasi informasi tentang penurunan harga minyak nilam.

Editor: mufti
IST
Syaifullah Muhammad, Ketua ARC-PUIPT Nilam Aceh dan Direktur Bisnis-Dana Lestari USK 

Syaifullah Muhammad, Ketua ARC-PUIPT Nilam Aceh dan Direktur Bisnis-Dana Lestari USK

JUMAT, 21 Februari 2025, 15.40 Waktu KL. Sebuah pesan penting masuk di Whatsapp. "Bang, saya kewalahan. Banyak sekali petani dan agen tawarkan minyak nilam. Petani panen raya. Menjelang bulan puasa, mereka perlu uang. Medan turunkan harga". Ini pesan dari staf lapangan ARC. Saya menjawab singkat, "Beri penjelasan dengan baik. Kita koordinasi dan menunggu kepastian informasi dari Perancis".

Saat itu saya sedang transit di Kuala Lumpur, menuju Bali untuk rapat tahunan Forum Bangun Aceh (FBA), sebuah NGO lokal yang lahir 20 tahun lalu pascabencana besar tsunami Aceh. FBA merupakan sedikit dari NGO lokal yang masih bertahan dan terus berkontribusi untuk pembangunan Aceh. Dalam 10 tahun terakhir, FBA sukses menjalankan program pemberdayaan kelompok rentan dan penyandang disabilitas.

Kembali ke nilam. Meski tidak sedramatis dulu, fluktuasi harga nilam masih saja terus terjadi, paling tidak setahun sekali menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Biasanya, masyarakat menghasilkan banyak minyak nilam dengan harapan mendapatkan uang untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Dan seperti biasa, kebutuhan masyarakat tersebut membuat pasar bereaksi dengan adanya kesempatan untuk mendapatkan untung yang lebih besar melalui penurunan harga. Hal ini sebetulnya masih wajar saja selama dilakukan dengan adanya pemihakan terhadap ekonomi rakyat kecil.

Yang tidak wajar adalah masifnya informasi di media sosial yang begitu gencar memobilisasi informasi tentang penurunan harga minyak nilam. Disertai juga ekspresi kekecewaan yang berlebihan seolah minyak nilam sudah tidak ada yang membeli lagi. Berbagai foto kebun nilam yang baru ditanam, hingga yang sudah siap panen bahkan yang sedang dipanen bertebaran di media sosial disertai berbagai narasi pesimis seolah nilam sudah tidak berharga lagi. Beberapa bahkan mengulas dengan analisa teoritis yang terkesan akademis kenapa penurunan harga nilam bisa terjadi.

Sebagian ekspresi masyarakat melalui media sosial itu terasa sebagai kekhawatiran yang sebenarnya dari para petani dan penyuling nilam. Tapi sebagian lagi begitu terasa seperti pengiringan opini bahwa saat ini terjadi penurunan harga nilam secara ekstrem karena produksi berlebihan dan permintaan pasar internasional yang juga menurun. Sebagian lagi juga mengaitkan dengan kualitas produksi minyak yang tidak standar dan sejumlah alasan lain yang banyak kurang akurat. Berbagai ketidakpastian informasi bagi sebagian orang terkait nilam menyebabkan harga jual nilam seperti enigma, misteri yang penuh teka-teki.

Saya langsung menghubungi mitra Perancis ARC-USK di Paris. Mitra yang sudah puluhan kali menerima ekspor minyak nilam Aceh melalui networking ARC USK. Saya bertanya apa yang terjadi. Apakah mereka menurunkan permintaan minyak nilam? Apakah buyer internasional menurunkan harga beli? Dan sejumlah pertanyaan fundamental lainnya. Seperti yang sudah saya duga. Dia justru terkejut dengan yang terjadi di pasar nilam lokal Indonesia. Katanya kebutuhan minyak nilam dunia tetap stabil bahkan cenderung meningkat. International buyer juga sangat fleksibel dengan harga. Mereka akan menyesuaikan harga dengan kesepakatan bersama petani, penyuling, dan eksportir. Artinya, sebagai buyer tidak ada kebijakan mereka untuk menurunkan harga minyak nilam saat ini.

Siap menampung

Yang menarik, mereka juga menyampaikan kalau pada 2025 ini bisa ditambah 300-500 Ha kebun nilam rakyat lagi, perusahaan mereka akan siap menampung produksi minyak nilamnya. Ini baru satu perusahaan, belum lagi perusahaan-perusahaan lain yang jumlahnya ratusan dan tersebar di sekitar 40 negara. Informasi dari tangan pertama ini tentu sangat melegakan sekaligus mengkonfirmasi kembali bahwa nilam adalah komoditas atsiri yang belum tergantikan posisinya dalam industri dunia. Meski upaya untuk menemukan sintetik nilam telah lama dilakukan, komposisi lebih dari 60 komponen aktif fito kimia yang terkandung dalam minyak nilam membuat upaya nilam sintetik menjadi mustahil dilakukan, khususnya dalam konteks ekonomi. Tidak mungkin ada yang mau mensintesis 60 komponen aktif senyawa fito kimia terpen dan sesquiterpen dalam minyak nilam dan diformulasi menjadi end product. Selain urusan teknologi, juga akan memerlukan biaya yang bisa membuat perusahaan parfum dan skincare bangkrut.

Sejarah panjang perdagangan nilam sejak zaman kolonial Belanda membuktikan bahwa nilam sudah diperdagangkan ratusan tahun, tidak mungkin hilang tiba-tiba menjadi tidak berharga. Apalagi diikuti oleh tindakan yang mengarah emosional dengan menghancurkan kebun nilam dan membakarnya karena marah dengan harga nilam yang jatuh. Tenanglah, badai pasti akan berlalu. Dan multi-billion business nilam di puluhan negara akan terus berlanjut. Nilam akan tetap sangat diperlukan oleh industri global, ini optimisme pertama.

Optimisme kedua, rantai nilai nilam di dalam negeri sudah banyak berubah. Indonesia saat ini sudah mampu mengolah sendiri minyak nilam di dalam negeri. Teknologi yang dikembangkan ARC USK sebagai center of excellence nilam telah menghasilkan purified patchouli atau high-grade patchouli. Minyak nilam kualitas tinggi ini telah dihilangkan unsur pengotor (impurities), asam lemak, serta ditingkatkan konsentrasi komponen aktif fitokimia nilam yaitu Patchouli Alkohol (PA) hingga 40-85 persen. Bahkan bisa disintesis menjadi Patchouli Alkohol kristal dengan kemurnian 99 % .

Hi-grade patchouli selanjutnya telah diformulasikan menjadi berbagai produk turunan seperti parfum, produk skincare, medicated oil, aromaterapi, dan lain-lain. Hilirisasi nilam berbasis inovasi teknologi ini telah berlangsung dan makin masif dalam 5 tahun terakhir. Optimisme ketiga, stok minyak nilam yang saat ini beredar khususnya di Aceh hanya sekitar 3 ton. Ini bukan jumlah yang banyak. Karena permintaan dari mitra ARC-USK saja 24 ton per tahun. Lagi-lagi, ini baru dari satu perusahaan. Saat ini ada puluhan--untuk tidak mengatakan ratusan--perusahaan yang menjadi pembeli minyak nilam Indonesia yang bisa mengcover produksi nilam dari seluruh pelosok tanah air. Dengan demikian, isu over supply sehingga menyebabkan harga turun menjadi tidak relevan.

Optimisme keempat, petani nilam telah begitu lama menjual minyak dengan harga Rp350 ribu hingga Rp500 ribu per kg, dan bisa bertahan dengan harga tersebut meski pas-pasan. Jadi kalau saat ini harga nilam menjadi Rp1,8 juta - Rp2 juta per kg, ini sejatinya adalah bonus dan anugerah. Optimisme kelima. Pemerintah dan Industri keuangan khususnya di Aceh telah menyampaikan komitmennya untuk mendukung nilam. Dukungan pembiayaan ekspor akan dilakukan dengan mudah sehingga perusahaan eksportir akan dapat dukungan keuangan yang memadai untuk membeli dan menyangga harga nilam rakyat.

Selain itu, jangan berharap harga nilam terlalu tinggi dan tak terkendali. Yang terpenting wajar dan berkesinambungan. Harga nilam yang terlalu tinggi akan berdampak pada perusahaan hilir di banyak negara. Biaya pokok produksi akan meningkat, dan hal ini bisa memicu perusahaan berusaha menemukan bahan alternatif pengganti nilam. Lalu, apa yang harus dilakukan agar masyarakat bisa mendapatkan harga jual minyak nilam yang wajar dan adil? Stakeholder nilam, khususnya di Aceh, terdiri atas petani penyedia bibit, petani budidaya, penyuling, pengumpul, koperasi, eksportir, international buyer, dan ARC Pusat Unggulan Nilam USK. Mari kita berbagi tugas.

Petani dan penyuling kalau bisa bertahan, tunda dulu penjualan minyak hingga akhir Ramadhan. Jika tidak bisa karena kebutuhan yang mendesak, maka kita minta bantuan pengumpul untuk membeli dengan harga yang baik dan wajar. Untuk koperasi, ini saat yang baik untuk membeli dan menyetok minyak sampai dua bulan mendatang. Gunakan dana koperasi untuk membeli nilam rakyat dengan harga baik dan wajar. Untuk eksportir, ini saat yang baik menjaga loyalitas petani dan penyuling dengan membeli minyak nilam mereka. Untuk kampus, tentu terus mengawal ekosistem tataniaga melalui kolaborasi nasional dan internasional serta mengembangkan inovasi untuk hilirisasi minyak nilam.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved