Jurnalisme Warga
Ikhlas Hidup di Rantau, Puasa Tanpa Ditemani Ayah dan Bunda
Bunda terus merayu saya untuk tidak kuliah ke Lampung. Namun, karena sudah tekad, saya tetap bersikeras mempertahankannya.
AULIA RIZQULLAH AZWIR, Mahasiswa Semester II Prodi Pariwisata Institut Teknolgi Sumatera (Itera) Lampung, alumnus SMA Sukma Bangsa Bireuen, melaporkan dari Lampung
Setamat SMA di Sukma Bangsa Bireuen tahun 2024, saya telah mengatur rencana untuk kuliah yang ada hubungannya dengan bus karena sejak kecil saya memang sangat menyukai moda transportasi ini. Maka tak heran, dinding kamar tidur saya penuh dengan gambar bus dan beberapa jenis mobil lainnya. Saya juga salah seorang anggota Aceh Bus Mania (ABM).
Namun, apa boleh buat, perjuangan untuk mendapatkan kampus pilihan sesuai minat gagal. Begitupun, semangat saya tetap membara mencari program studi (prodi) yang ada kaitannya dengan traveling karena saya suka mengunjungi daerah-daerah wisata.
Memilih kampus yang diidolakan memang tidak mudah, pada saat pengumuam ujian SNPMB tahap pertama tanggal 13 Juni 2024 gagal, saya tidak menyerah. Padahal, ayah dan bunda sudah susah-susah mengantar ke lokasi ujian di Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, menghabiskan biaya, waktu, dan tenaga, tapi bunda bilang: Allah akan mumudahkan urusan dan rezeki ketika kita ikhlas menerima kenyataan.
Pada 28 Juni 2024 saya coba lagi ikut Seleksi Mandiri Masuk PTN Wilayah Barat (SMM PTN-Barat) 2024 berlokasi di Fakultas Kedokteran USK. Pada Selasa, 9 Juli 2024 waktu yang dinanti tiba, alhamdullihan saya lulus sesuai dengan pilihan saya, yakni Prodi Pariwisata Institut Teknologi Sumatera (Itera) Lampung.
Kebahagiaan ini langsung saya sampaikan ke bunda. Di luar dugaan, bunda menangis, "Mengapa harus ke Lampung;" katanya, "kenapa tidak di Jakarta saja? Lampung itu jauh, karena harus dua kali naik pesawat dari Aceh. Coba adik pikir-pikir dulu."
Bunda terus merayu saya untuk tidak kuliah ke Lampung. Namun, karena sudah tekad, saya tetap bersikeras mempertahankannya.
Di hari ketiga setelah lulus, ayah dan bunda memanggil saya. Kami bicara dari hati ke hati tentang kelebihan dan kekurangan yang akan saya hadapi di rantau orang. Namun, akhirnya meraka merestui dengan berbagai catatan yang harus saya patuhi. Kemudian, saya mempersiapkan dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran ulang.
Setelah selesai meng-upload seluruh persyaratan dokumen yang diminta, bunda terlihat sedih, wajahnya tanpak khawatir, walaupun pernah berpisah selama tiga tahun waktu saya masuk pesantren, tetapi karena dekat atau tidak terlalu jauh dari rumah, sehingga bunda tidak merasa kehilangan.
Seminggu menjelang keberangkatan menuju Lampung, kami berdiskusi tentang siapa yang pergi mengantar: bunda atau ayah. Akan tetapi, saya ingin kedua-duannya ikut mengantar. Akhirnya diputuskan semua pergi dan menggunakan jalan darat sehingga membutuhkan sopir yang andal dan menguasai jalan. Terpilihlah salah seorang saudara kami, yakni Om Fauzi yang sering disapa Abah.
Perlengkapan kuliah, mulai dari sepatu, baju, dan buku tulis telah disediakan bunda, termasuk baju hari-hari. Tak lupa kain selimut, perlengkapan shalat, Al-Qur’an, dan perlengkapan lainnya selama di Lampung. Barang-barang saha 'full' satu koper lebih. Melihat semua yang telah disiapkan membuat hati saya sedih, tapi tidak saya tanpaklan di hadapan ayah dan bunda. Terus terang, saya harus benar-benar hidup mandiri di rantau orang.
Tibalah waktu keberangkatan. Sebelumnya Abah membawa mobil kami untuk dicek kesehatannya di sebuah bengkel ternama di Bireuen. Hasilnya, mobil layak jalan karena ini baru pertama kalinya mobil kami menempuh perjalanan jauh ± 2.000 km, dengan waktu tempuh 40 jam atau hampir 3 hari perjalanan yang santai.
Kami berangkat Senin pagi dan tiba Rabu sore. Ini adalah perjalanan yang sangat melelahkan.
Ketika tiba di Lampung kami mengunjungi salah seorang saudara jauh, kemudian kami mulai mencari kamar kos yang tidak jauh dari Kampus Itera. Ada beberapa tempat kos yang kami cari, tetapi kondisinya tidak sesuai dengan keinginan. Akhirnya kami melihat informasi dari instagram bahaa ada kos yang baru dibangun. Tanpa menunggu lama kami langsung mencarinya. Alhamdulillah, cocok dan malamnya saya langsung menginap.
Setelah empat hari didampingi orang tua, akhirnya saya harus benar-benar hidup mandiri, mempersiapkan segala keperluan, mengatur waktu sedemikian rupa agar kegiatan di kampus dan kegiatan sendiri di kos berjalan dengan baik.
Nah, sekarang baru saya sadar ternyata capek juga mencuci, menyetrika, dan membersihkan kamar sendiri.
Apalagi harus menentukan dan membeli sendiri menu makan pagi, siang, dan malam Dulu, semua telah disediakan bunda. Saat Ramadhan tiba
Awal bulan Maret ini puasa Ramadhan pun tiba. Saya sahur pertama tanpa didampingi orang tua. Saya harus menjaga waktu agar tidak telat sahur. Biasanya bunda selalu membangunkan saya dan memasak makanan kesukaan sesuai pesanan. Namun sekarang, semuanya berbeda jauh. Makanan dan minuman harus saya pesan sendiri.
Pada sahur pertama, saya makan ayam geprek, susu kotak, dan air mineral. Terasa sedih, tapi ini adalah pilihan hidup yang harus saya jalani demi masa depan yang lebih baik.
Buka puasa pertama juga sendiri, sama seperti waktu sahur. Sewaktu masih tinggal bersama ayah dan bunda waktu berbuka sangatlah terasa istimewa. Duduk di meja dengan menu kesukaan masing-masing. Ada makanan, minuman, dan ada camilan. Uniknya, minuman untuk satu orang ada beberapa gelas dengan jenis yang berbeda. Ada air kelapa muda, ada air tebu, jus pepaya, dan timun serut. Semua tersedia.
Namun, di ratau hanya ada air teh dingin dan sebungkus nasi ayam, tanpa camilan dan duduk sendiri di kamar kos tanpa ada yang mendampingi. Tidak ada yang menawarkan makanan ini dan itu. Tanpa terasa kesedihan menyelimuti batin saya. Air bening itu menetes dengan sendirinya dari kedua pelupuk mata. Untung tidak ada orang yang melihatnya. Cepat-cepat saya usap dan bangkit dari tempat duduk untuk berwudu, kemudian shalat Magrib, lalu berdoa semoga perjuangan ini akan membuahkan hasil.
Kegiatan perkulihan saya tetap berjalan seperti biasa. Tidak ada libur awal Ramadhan seperti kampus-kampus di Aceh. Perkuliahan juga masuk seperti biasa. Bedanya hanya pada mata kuliah olahraga, yakni dilaksanakan secara daring. Ini berdasarkan pengumuman dari akademik di minggu pertama Ramadhan.
Hari Sabtu tidak ada perkuliahan, hanya ada mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen secara individu atau kelompok.
Karena padatnya jadwal perkulihan dan banyaknya kegiatan kampus di luar jam kuliah membuat saya tidak terlalu teringat ke kampung halaman.
Untuk melepas kerinduan sama bunda dan ayah pada malam hari saya menyempatkan diri vidio call bersama mereka. Walaupun jauh, bunda hampir setiap hari memantau kegiatan saya melaui WhatsApp. Maklum saat ini ayah dan bunda hanya tinggal berdua saja di Bireuen, sedangkan abang saya sudah sejak tahun 2017 merantau untuk kuliah di Institut Kesenian Jakarta dan saat ini sudah bekerja pada sebuah perusahaan editing film di Jakarta.
Saya ikhlas merantau meninggalkan ayah dan bunda. Pembelajaran yang paling berharga saat ini adalah saya mulai mampu mandiri, mengurus diri sendiri. Doakan semoga saya mampu meraih cita-cita dengan baik.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.