Opini

20 Tahun Gempa Nias: Mengukir Sejarah, Menyelamatkan Arsip

Akhirnya, saya menemukan solusi: jalur darat menuju Pelabuhan Sibolga, lalu menyeberang ke Nias dengan kapal. Bersama tim dari Kementerian Kesehatan d

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS.COM/FOR SERAMBINEWS
Muhammad Ihwan, S.Sos., M.Si., Kepala Balai Arsip Statis dan Tsunami (BAST) ANRI Aceh 

Oleh: Muhammad Ihwan, S.Sos., M.Si*)

TANGGAL 28 Maret 2005, pukul 23.00, bumi Sumatera Utara berguncang dahsyat. Gempa berkekuatan 8,9 skala Richter meluluhlantakkan Kepulauan Nias dan sekitarnya. Hanya berselang empat bulan setelah tsunami Aceh yang mengguncang dunia, kini Sumatra kembali diterjang bencana. Namun, berbeda dengan Aceh yang ditetapkan sebagai bencana nasional, gempa Nias berstatus bencana lokal karena dampaknya yang lebih terpusat di wilayah tersebut.

Lebih dari 1.300 jiwa melayang. Ratusan bangunan, mulai dari pertokoan, perkantoran, masjid, gereja, sekolah, hingga rumah-rumah penduduk, rata dengan tanah. Infrastruktur utama, termasuk jalan dan jembatan, rusak parah, mengisolasi wilayah terdampak. Bandara Binaka lumpuh, membuat bantuan hanya bisa diangkut dengan helikopter. Masyarakat yang selamat tidak hanya berduka karena kehilangan keluarga, tetapi juga harus bertahan dalam kondisi darurat dengan keterbatasan air bersih, makanan, dan obat-obatan.

Sebagai seorang Humas di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), tugas saya bukan hanya mendokumentasikan peristiwa sejarah, tetapi juga memastikan jejak dokumentasi tetap terjaga. Perintah datang langsung dari Kepala ANRI saat itu, Djoko Utomo: segera ke Nias dan laporkan kondisi kearsipan pasca-bencana.

Perjalanan Penuh Tantangan Menuju Pulau yang Terkunci
Saya berangkat ke Medan seorang diri dengan peralatan liputan yang cukup canggih untuk ukuran saat itu: kamera digital Nikon dan kamera video digital yang baru saja dibeli. "One man show," begitu istilah kami untuk perjalanan sendiri, karena anggaran yang terbatas. Dari Medan, saya bergabung dengan relawan dan wartawan yang juga akan menuju Nias. Mereka membawa bantuan, tenaga medis, hingga terapi pemulihan trauma bagi anak-anak.

Bandara Polonia Medan menjadi pusat komando bantuan. Di sana, saya mendokumentasikan pengiriman logistik sambil mencari cara agar bisa sampai ke Nias. Namun, selama dua hari penuh, seluruh penerbangan baik pesawat maupun helikopter hanya diperuntukkan bagi tenaga medis, evakuasi korban, dan distribusi bahan makanan. Laporan saya ke Jakarta hanya mendapat satu balasan singkat: "Kami tidak mau tahu, yang penting ada kabar dari Nias." Jawaban itu membuat saya berpikir keras mencari jalur alternatif.

Akhirnya, saya menemukan solusi: jalur darat menuju Pelabuhan Sibolga, lalu menyeberang ke Nias dengan kapal. Bersama tim dari Kementerian Kesehatan dan kementerian lainnya, saya berangkat menggunakan mobil travel ke Sibolga. Perjalanan panjang ini menjadi pengalaman pertama saya melintasi jalur darat Sumatera Utara, melewati Danau Toba yang megah, dan medan yang berat. Sebuah ban pecah sempat menghambat perjalanan kami, namun akhirnya menjelang maghrib, kami tiba di Sibolga.

Di pelabuhan, ada dua pilihan kapal: kapal ferry milik ASDP yang penuh dengan muatan bantuan dan pasukan, atau kapal kayu yang lebih kecil tetapi berangkat lebih cepat. Saya memilih kapal kayu. Di antara ratusan penumpang yang berdesakan, saya duduk di ruang kemudi bersama nakhoda seorang pelaut tradisional yang membaca tanda-tanda alam tanpa instrumen canggih. "Aman," katanya singkat saat saya bertanya soal cuaca. Malam itu, kami berlayar menuju Nias dalam kegelapan Samudera Hindia, dengan doa dan harapan.

Nias dalam Puing-Puing: Arsip yang Berserakan

Fajar menyingsing ketika kapal merapat di Pelabuhan Gunungsitoli. Suasana masih kacau. Orang-orang berjubel, entah mencari keluarganya atau berusaha pergi dari pulau yang baru saja dilanda bencana. Saya menyewa ojek ke posko pusat kendali bencana di Kantor Bupati. Di sepanjang perjalanan, kehancuran kota begitu nyata: bangunan masjid, gereja, sekolah, kantor pemerintahan, dan rumah-rumah warga ambruk. Warga tampak linglung, berduka atas kehilangan harta, keluarga, dan mata pencaharian.

Saya berkeliling mendokumentasikan kondisi arsip di kantor-kantor pemerintahan. Berbeda dengan Aceh, di mana tsunami menyapu dan merendam dokumen dalam lumpur, di Nias arsip berserakan di antara reruntuhan bangunan. Kantor pemerintahan yang roboh membuat banyak dokumen tercerai-berai. Saya segera melaporkan kondisi ini ke pimpinan di Jakarta dan mengusulkan agar dinas terkait di Sumatera Utara segera mengambil langkah penyelamatan arsip.
Kepulangan dan Refleksi: Ketika Sejarah Tidak Terdokumentasi

Saat tugas di Nias selesai, saya mencari transportasi pulang. Kebetulan, di Lapangan Bola Gunungsitoli, pusat distribusi bantuan militer Singapura, saya menemukan helikopter Chinook yang akan kembali ke Medan. Relawan dan wartawan diperbolehkan menumpang. Saya pun naik ke helikopter raksasa itu, mengakhiri perjalanan yang luar biasa ini dengan cara yang tak terduga.

Dua puluh tahun telah berlalu sejak gempa Nias mengguncang. Arsip-arsip tentang rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh-Nias kini tersimpan rapi di Balai Arsip Statis dan Tsunami ANRI, Aceh, lembaga yang kini saya pimpin. Namun, ada satu kenyataan yang sangat memprihatinkan: ketika saya menanyakan dokumentasi tentang peristiwa gempa bumi Nias ke lembaga-lembaga kearsipan di Nias maupun Sumatera Utara, jawabannya mengejutkan. Tidak ada satu pun foto atau dokumen yang mereka simpan tentang tragedi itu.

Bagaimana mungkin sebuah peristiwa sebesar ini, yang menelan ribuan korban jiwa dan mengubah wajah kepulauan Nias, tidak memiliki jejak dalam arsip resmi? Tanpa dokumentasi yang terpelihara, bagaimana generasi mendatang bisa belajar dari sejarah? Bencana bukan hanya menghilangkan nyawa dan merusak infrastruktur, tetapi juga menghapus memori kolektif jika tidak didokumentasikan dengan baik.

Menatap Masa Depan: Arsip Sebagai Pilar Mitigasi Bencana

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved