Kupi Beugoh
Idul Fitri, Momentum Silaturrahmi Dan Memperbaiki Diri
Idul Fitri adalah momentum yang sangat tepat untuk saling memaafkan untuk menguatkan niat menggapai ridha Ilahi
Oleh: Numairi
SERAMBINEWS.COM - MEMAAFKAN dan meminta maaf merupakan akhlak mulia dan budi pekerti islami bahkan sesuatu yang dapat menyempurnakan iman akan tetapi sangat susah untuk dilaksanakan dan memaafkan merupakan prilaku yang sangat mulia dan indah namun berat jika nafsu kita tetap membelenggu dan keras hati karena nafsu akan senantiasa membuat manusia mengalahkan akal pikirannya serta mengacaukan relung hati yang mendalam.
Idul Fitri adalah momentum yang sangat tepat untuk saling memaafkan untuk menguatkan niat menggapai ridha Ilahi, karena dengan niat yang kuatlah yang dapat menghantarkan diri kita menuju iman dan taqwa-Nya.
Moment Idul fitri dapat kita jadikan sebagai awal dari kebaikan, karena kita telah melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh dan hari ini merupakan kemenangan bagi hamba-hambanya yang telah melalui ibadah ramadhan dengan paripurna dan berhasil, sehingga mendapat gelar muttaqin.
Idul Fitri bukan hanya sekadar hari raya biasa, akan tetapi puncak dari proses spiritual yang dimulai sejak awal Ramadan hingga memasuki awal bulan syawal yang di tandai dengan perayaan Idul Fitri.
Puasa yang dilakukan selama sebulan penuh bukan hanya bertujuan untuk menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran spiritual, memperbaiki hubungan dengan Tuhan, dan mengasah rasa empati terhadap mereka yang kurang mampu.
Idul Fitri juga merupakan perwujudan rasa syukur kita atas nikmat yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta'ala agar umat muslim senantiasa meningkatkan kualitas keimanan, kesalehan dan ketakwaan, karena selama bulan Ramadan, umat Muslim lebih dianjurkan untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah, sedekah, dan introspeksi diri.
Sehingga Idul Fitri menjadi waktu yang tepat untuk merefleksikan diri atas segala nikmat yang telah diberikan Allah, baik yang besar maupun yang kecil.
Salah satu indikator keberhasilan dalam berpuasa adalah dengan kemampuan manusia dalam mengendalikan hawa nafsunya.
Hawa nafsu ini akan selalu menjerumuskan kita kearah keburukan dan kesesatan, hingga Allah Subhanahu wa Ta'ala, memberikan kesempatan kepada hambanya yang beriman untuk melemahkan nafsu tersebut dengan berpuasa agar tunduk dan patuh pada Ilahi rabbi, dan ini hanya dapat berhasil dilakukan dengan bentuk pengabdian seorang hamba dalam ibadah puasa.
Allah menganugerahkan kepada orang-orang yang berhasil melaksanakannya dengan taqwa sehingga dapat kembali kepada ridhaNya dalam bentuk Iman dan taqwa.
Dan alangkah lebih mulia lagi jika momen lebaran ini kita tambah dengan salah ibadah yang sangat tinggi nilainya yaitu dengan saling berbagi kasih dan sayang dalam bentuk zakat baik itu zakat mal maupun zakat fitrah untuk kita berikan kepada yang berhak menerimanya.
Hari raya Idul Fitri ini juga telah menjadi momen yang sangat di tunggu-tunggu oleh kaum muslim yang ada diseluruh dunia, karena hari ini umat islam sedang berbahagia dan bergembira setelah berhasil menyempurnakan puasa ramadhannya.
Keberhasilan ini memberi paradigma berpikir bahwa umat muslim telah kembali ke titik nol atau fitrahnya yaitu sebagai manusia yang bersih tanpa dosa dan noda sebagaimana arti harfiahnya dari kata Minal Aidin wal Faizin yaitu semoga kita kembali kepada kefitrahan/kesucian dan memperoleh kemenangan.
Selain makna religius, Idul Fitri juga memiliki dimensi sosial yang mendalam, yakni sebagai waktu untuk mempererat tali persaudaraan, berbagi kebahagiaan, dan memaafkan.
Namun, dalam dasarwarsa modern seperti saat ini, ada beberapa perubahan dalam cara masyarakat memaknai Idul Fitri dan hal ini tercermin dari cara komunikasi dan interaksi sosial.
Di masa lalu, Idul Fitri adalah waktu untuk bertemu langsung dengan keluarga besar, berbincang, dan saling bermaaf-maafan.
Kebiasaan silaturrahami dan saling mengunjungi kepada kerabat dekat dan jauh untuk bermaaf-maafan sesama kaum Muslim dan juga diikuti oleh umat agama lain telah menjadi cirri khas dari kebinekaan dalam Negara Republik Indonesia yang kita cintai ini.
Tradisi yang sudah ada sejak dari nenek moyang ini dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini menggambarkan kuatnya kekeluargaan di masyarakat dan ada yang dilakukan secara bersama-sama maupun adakalanya dilakukan hanya di lingkungan tetangga atau keluarga kecil.
Lebaran bisa menjadi ajang reuni dan perjumpaan penuh emosi. Hal ini dilakukan agar aura sosial kehidupan yang telah dijalani selama setahun yang lalu, baik di lingkup interaksi dalam jaringan (dunia maya) maupun luar jaringan (dunia nyata) dipenuhi oleh benih-benih perdamaian dan kebahagiaan.
Pada momen ini, narasi kesantunan ditunjukkan oleh setiap orang yang berkenaan dengan meminta maaf terlebih dahulu untuk mengikis egoisme kediriannya.
Sedangkan di era modern ini dan dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, komunikasi melalui media sosial dan pesan instan kini menjadi lebih dominan.
Meskipun secara teknis masih memungkinkan untuk mengucapkan selamat lebaran secara virtual, akan tetapi ada nuansa yang hilang, yaitu kedekatan emosional yang terjadi saat berinteraksi secara langsung.
Di platform-platform media sosial seperti sekarang ini, sering kita melihat orang mengunggah postingan ungkapan permintaan maaf sebagai penanda kerendahan hati dan kebesaran jiwa walaupun berada di wilayah yang berbeda karena tidak dapat bertemu dan bertatap muka secara langsung.
Saat silaturahmi biasanya akan ada interaksi personal dan bahkan bisa memancing emosi dan perasaan haru antara anggota keluarga sebagai bukti indahnya moment lebaran ini.
Apalagi jika silaturahmi terjadi pada warga atau orang yang sudah lama tidak saling berjumpa dan lebih indah lagi jika perayaan ini di isi dengan kegiatan saling berbagi bagi mereka yang memiliki pendapatan yang berlebih serta di akhiri dengan makan besar bersama keluarga atau kerabat dekat.
Di tengah arus materialisme yang semakin kuat, tidak jarang orang lebih memfokuskan perhatian pada kemeriahan dan konsumsi, daripada makna spiritual dan sosial dari Idul Fitri itu sendiri yaitu dengan berbagi dan berderma.
Di sisi lain, Idul Fitri harus tetap menjadi waktu bagi kita untuk refleksi diri dengan memperbaiki semua tingkah laku dan tata karma serta etika yang buruk yang selama ini melekat pada diri ini.
Di tengah kesibukan dunia modern yang serba cepat dan materialistis, kesempatan untuk kembali kepada fitrah, melakukan introspeksi diri dan memperbaiki hubungan dengan Tuhan serta sesama manusia adalah hal yang sangat berharga dan harus segera dilakukan perbaikan.
Ritual agama seperti Idul Fitri berfungsi untuk memperkuat solidaritas sosial dalam masyarakat, mungkin yang dulu terjadi pergesekan dalam menjalani kehidupan di dalam sosial kemasyarakatan, maka inilah moment untuk saling memaafkan atas segala kesalahan yang pernah terjadi sebulumnya.
Idul Fitri, jika dimaknai dengan benar, dapat menjadi cara untuk merevitalisasi kembali nilai-nilai sosial yang lebih mendalam, seperti rasa saling menghargai, menghormati, mengasihi dan peduli terhadap sesama dengan berbagi.
Idul Fitri pada waktu sekarang ini tetap memiliki makna yang sangat mendalam, meskipun cara perayaannya akan mengalami perubahan seiring dengan perkembangan kehidupan.
Di zaman sekarang ini teknologi dan budaya konsumsi sangat dominan telah menjadi roll model dan berperan dalam membentuk cara kita merayakannya, makna spiritual dan sosial dari Idul Fitri sebagai waktu untuk memperbaiki diri, berbagi, dan mempererat hubungan sosial tetap relevan dan harus kita kedepankan karena itu hakekat atau ruh yang ada dalam Idul fitri ini.
Untuk itu, sangat penting bagi umat Islam untuk selalu mengingat esensi sejati dari Idul Fitri dan berupaya memaknainya secara lebih mendalam, baik dalam aspek pribadi maupun sosial. Waallahualam.
Penulis adalah Direktur Kepatuhan Bank Aceh Syariah
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.