KUPI BEUNGOH
Idul Fitri, Kopi Aceh, “Dopamin”, dan Rasionalitas
Bagi sebagian besar masyarakat Aceh, paling kurang sampai hari ini, yang namanya minum kopi itu, ya kopi yang dibuat, dan diminum di kedai.
Oleh Ahmad Humam Hamid*)
DI Aceh, salah satu keinginan besar di kalangan pengopi berat setelah puasa berlalu, terutama setelah Idul Fitri, adalah minum “kopi kedai”.
Label “kopi kedai” ini, tak lain dari minuman kopi yang dibeli dan dikonsumsi di kedai kopi.
Kenapa harus “kopi kedai”? Bukankah cukup banyak tersedia kopi sachet dengan berbagai merek?
Bukankah juga cukup tersedia berbagai merek bubuk kopi, yang murah maupun yang mahal dalam berbagai ukuran?
Bagi sebagian besar masyarakat Aceh, paling kurang sampai hari ini, yang namanya minum kopi itu, ya kopi yang dibuat, dan diminum di kedai.
Walaupun kopi espresso mulai gampang didapat di Aceh, utamanya di Banda Aceh, kopi Aceh itu ya kopi saring.
Bahwa kopi itu kopi saring, atau kopi mesin epresso, baik yang kelas murahan seperti Varmalone, bahkan yang mahal sekelas Victoria Arduino, atau La Marzocco Linea PB, labelnya tetap saja satu, kopi kedai.
Kenapa peminum kopi menjadi terobsesi dengan kopi apalagi umat Islam peminum kopi seperti di Aceh?
Kecanduan kopi sebenarnya bukan saja monopoli masyarakat Aceh.

Dari Penikmat Hingga Pecandu
Cerita peminum kopi di dunia, pada abad ke 15 dan 16 di Damascus, Istanbul, bahkan di Mekkah adalah cerita tentang kedai kopi dan pencandu kopi.
Di situlah orang bertemu, bersilaturrahmi, bercerita, bergosip, menyebar fitnah, bahkan menghujat penguasa.
Pada awalnya hampir semua penguasa mencurigai kedai kopi yang baru lahir pada masa itu, karena ancaman “kata” dan “mulut”.
Tak heran, sebagai contoh penguasa Mekah pada masa Ottoman, dan Raja Inggris Charles II melarang kedai kopi pada akhir abad ke 17.
Kopi dan kedai kopi mempunyai dua kimia tersendiri yang bersatu, membuat para peminum kopi menjadi “pecandu” kopi dan kedai kopi.
“Caffein” adalah “candu” -gugus kimia yang mampu melepaskan “dopamin” -hormon yang menstimulasi rasa senang kepada peminum kopi.
“Dopamine” adalah salah satu hormon senang pada otak yang salah satu pemicunya untuk bangkit adalah kopi-caffein.
Efek kafein mirip dengan efek heroin. Kecanduan kopi (kafein) tidak lain karena koneksinya dengan “dopamine”.
Kafein pada kopi itu mempunyai padanan pada elemen kimia yang bertanggung jawab pada kecanduan ganja, yakni “cannabidiol” dan “tetrahydracannabinol”, atau “nicotine” pada rokok.
Tentang kecanduan pada kedai kopi sesunguhnya lebih berasosiasi dengan kimia sosial.
Bagi manusia peminum kopi yang juga makhluk sosial, kedai kopi adalah titik inti dari berbagai interaksi sosial.
Jauh sebelum era digital, semenjak lahirnya kedai kopi di berbagai tempat di dunia, kedai kopi telah berperan sebagai media sosial simbolik.
Bayangkan saja interaksi peminum kopi dalam berbagai bentuk Whatsapp, Facebook, Twitter, Instagram, Tik Tok, dan Telegram.

Ruang Publik Pertama dalam Sejarah
Jauh hari sebelum berbagai media sosial itu datang sebagai ruang publik virtual, kedai kopi telah berperan sebagai ruang publik nyata, baik dalam bentuk iinteraksi-informasi, hiburan, gosip, bahkan arena peredebatan kritis.
Ruang publik, istilah yang diperkenalkan Jürgen Habermas (1962), dari bahasa Jerman öffentlichkeit - ruang publik sebagai “masyarakat yang terlibat dalam perdebatan publik yang kritis”.
Pentolan Mazhab Frankfurt itu, sedari awal sudah melihat kedai kopi sebagai ruang publik pertama yang menonjol dalam sejarah peradaban kebangkitan Eropa.
Habermas dengan runtut mendeskripiskan sejarah ruang publik di Eropa berakar dalam tradisi unik- kedai kopi.
Baginya, kedai kopi bereperan tidak hanya ruang untuk berita, diskusi, dan pertemuan.
Kedai kopi adalah simpul pertama dari jaringan sosial asli dalam sejarah peradaban.
“Caffeein”, “dopamine”, ruang publik, dan simpul jaringan sosial, adalah komponen utama yang menjadikan kedai kopi sebagai oasis kehidupan sehari hari.
Posisi itu tidak berhenti sebagai sejarah, ettapi terus berlanjut sampai dengan hari ini.
Ada “biokimia kopi” dan ada “kimia sosial” kedai kopi yang menyatu yang membuat peminumnya terpaut.
Ada “dopamine” yang yang dilecut oleh “caffein” yang menemukan momentumnya dalam ruang publik.
Bila kopi, kedai kopi, dan peminum kopi dikaitkan dengan istilah statistik “perkapita”-perorang, secara nasional, hampir dapat dipastikan Aceh berada pada posisi papan atas.
Gejala terakhir juga semakin menunjukkan pengunjung wanita ke kedai kopi Aceh semakin meningkat- bahkan di kawasan pedesaan sekalipun.
Sementara itu, pertumbuhan jumlah kedai kopi juga naik dengan cepat.
Dalam perkembangannya, kopi, dan kedai kopi Aceh, kemudian mulai bersentuhan dengan “perkopian global”.
Mulai ada istilah espreso-singgle atau doubel, americano, latte, capuchino.
Mulai ada mesin pembuat kopi yang dijaga oleh barista.
Selanjutnya, walaupun masih banyak kedai kopi yang kotor- dalam kedai, dapur kopi, dan toilet, sudah ada beberapa yang higynenya lumayan. Ada pula innovasi lokal yang menarik seperti “sanger” dan “kopi aren”.
Tanpa terasa kopi dan kedai kopi Aceh terpapar sudah dengan modernitas dan gelombang globalisasi dengan segala aspek kehidupan.
Minum kopi kini sudah menjadi gaya hidup kolosal.
Ada elemen budaya lain yang utuh, atau sudah mengalami proses penyesuaian.
Ada kepastian rasa dari mesin yang lebih akurat, ada profesionalitas -bahkan dalam menyangrai, menggiling, dan meyeduh.
Uniknya hampir semua elemen yang menyangkut dengan gaya hidup yang bersentuhan dengan kopi, yang ada di berbagai tempat lain di dunia sudah mulai terasa di Aceh.
Bahwa ada kemajuan material dan nonmaterial yang tak seimbang dalam budaya kopi dan kedai kopi Aceh, semua itu akan diselesaikan oleh “waktu.”
Evolusi budaya kopi dan kedai kopi Aceh yang telah terpapar dengan modernitas, rasanya belum tertlalu tuntas karena masih terikat dengan nilai-nilai.
Weber-sosiolog kondang Jerman abad ke 18 menyebutkan evolusi masyarakat tradisonal menuju masyarakat modern tak dapat dipisahkan dari semakin menonjolnya “rasionalitas”.
Apa yang menjadi “penghalang” ataupun “pengontrol” rasionalitas dalam proses modernisasi adalah nilai.
Perang modernisasi adalah perang pertaruhan nilai lama yang sering berlabel tradisi dengan perubahan akibat datangnya nilai baru.
Di Aceh, lihat saja misalnya, betapa banyak mobil dan kenderaan roda dua berputar-putar di depan kedai kopi utama atau kedai kopi biasa yang seharusnya dibuka setelah lebaran, namun tetap saja ditutup.
Pemilik kopi tetap saja bergeming untuk tak membukanya, walaupun potensi pendapatannya besar dan bahkan sangat besar dibandingkan hari-hari sebelumnya.
Banyak kedai kopi bahkan tak baru mulai membukanya selelah selesai puasa sunat enam hari hari pasca-Ramadan. Bukankah secara fiqih sudah oke?
Kenapa begitu banyak potensi pendapatan dibiarkan berlalu?
Bukankah manajemen kedai kopi bisa diatur tentang pembagian pekerjaan di kedai kopi dan bahkan komitemen dengan pemasok kue-kue dari UKM rumah tangga?
Kenapa potensi uang itu dibiarkan berlalu? Apakah modernitas yang telah bersentuhan dan menjamur tidak sejalan dengan rasio?
Bukankah salah satu inti rasionalitas berhubungan dengan kalkulasi laba rugi? Apakah kemajuan kedai kopi Aceh mewakiliu potret “modernitas cacat”?
Mengaitkan “modernitas” dan “rasionalitas” dalam kasus kedai kopi Aceh, apalagi dalam suasana Idul Fitri kurang relevan.
Rasionalitas itu ada batasnya, bahkan ada bebagai ragam rasionalitas.
Sering banyak orang, ketika berbicara tentang rasionalitas, yang terbayang hanya rasionalitas instrumental.
Padahal Weber mengajukan juga ragam rasionaitas lainnya yang disebutnya “rasionaitas subtantif”.
Jenis rasionalitas ini adalah logika berpikir yang berhubungan nilai, bahkan “nilai sakral” yang tak bisa dikompromikan.
Rasionalitas substantif tidak sama dengan rasionalitas yang dipikirkan banyak orang, yang berhubungan dengan hitungan kalkulatif laba rugi.
Jika yang instrumental berpikir dengan motif keuntungan, yang substantif berpikir tentang yang sakral-tentang yang bahkan “suci”.
Apakah pemilik kedai kopi Aceh tidak rasional membuang peluang pendapatan-baca uang, karena membiarkan enam hari lewat tak membuka kedainya setelah Idul Fitri?
Jawabannya tentu saja tidak, karena mereka menganut rasionalitas jenis lain, yakni rasionalitas substantif.
Ini adalah bentuk pemahaman dan penghayatan terhadap kesucian awal Syawal.
Periode ini dimuliakan sebagai ajang silaturrahmi sembari menutup fase penyucian diri selama bulan Ramadhan yang berlalu.
Ada logika tersendiri yang tak kalah hebatnya dari logika instrumental.
Akankah logika substantif ini tergerus oleh evolusi zaman?
Jawabanya mungkin saja, hanya masalahnya cepat atau lambat.
Apa katalisator yang membuat cepat atau lambat tergerusnya logika substantif itu?
Ada cukup banyak variabelnya. Salah satunya adalah ceramah para dai Aceh, baik langsung atau lewat media sosial.
Jika saja para dai itu menyebutkan banyak frasa “kaya itu mulia” kemungkinan besar logika substantif akan hilang perlahan dan bahkan cepat
Sebaliknya jika para dai tak mau sedikitpun menyentuh tentang “menjadi kaya”-baik hakekat, cara, maupun esensinya dalam ibadah, maka akan cukup banyak komponen lain yang akan menggerusnya.
Pada akhirnya apa yang telah, sedang, dan akan terjadi dengan modernitas dan rasionalitas, mengambil potret dari kopi dan kedai kopi?
Pelajaran dari tempat lain di dunia adalah semakin menonjolnya rasionalitas insrumental, dan semakin tergerus dan tersaringnya rasionalitas substantif.
Mau melihat banyak kedai kopi Aceh buka sehari setelah lebaran? Atau bahkan pada hari raya Idul Fitri?
Tunggu saja, pasti akan datang.
Kapan? Biarlah waktu yang membuktikan.
Banda Aceh, 6 Syawal 1446 H.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Memaknai Kurikulum Cinta dalam Proses Pembelajaran di MTs Harapan Bangsa Aceh Barat |
![]() |
---|
Haul Ke-1 Tu Sop Jeunieb - Warisan Keberanian, Keterbukaan, dan Cinta tak Henti pada Aceh |
![]() |
---|
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik? |
![]() |
---|
Ketika Guru Besar Kedokteran Bersatu untuk Indonesia Sehat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.