Opini
Harga Emas Naik? Solusi Fikih Mahar untuk Pemuda Aceh
Pernikahan adalah jalan menuju ketenangan, melanjutkan keturunan, dan mengikuti sunnah Nabi—sebuah langkah mulia yang semestinya dipermudah, bukan dip
Oleh: Prof Dr Hj Soraya Devy SAg MAg, Guru Besar Hukum Keluarga UIN Ar-Raniry Banda Aceh
PERNIKAHAN dalam Islam menjadi ikatan sosial sekaligus ibadah yang sangat dianjurkan. Allah swt berfirman dalam Surah Ar-Rum (30:21), “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang.” Rasulullah saw juga bersabda, “Nikah adalah sunnahku, barang siapa tidak suka dengan sunnahku maka dia bukanlah golongan kami.” (HR. Ibnu Majah dari riwayat Sayyidah Aisyah).
Pernikahan adalah jalan menuju ketenangan, melanjutkan keturunan, dan mengikuti sunnah Nabi—sebuah langkah mulia yang semestinya dipermudah, bukan dipersulit.
Salah satu unsur penting dalam pernikahan adalah mahar, yang menjadi kewajiban suami kepada istri sebagai bentuk penghargaan dan tanggung jawab.
Rasulullah saw bersabda, “Carilah (untuk dijadikan mahar) walau hanya cincin dari besi.” (HR. Bukhari-Muslim). Mazhab Syafi’i menjelaskan bahwa mahar wajib diberikan, meski nilainya fleksibel sesuai kesepakatan.
Mahar harus sesuatu yang bernilai (mal mutaqawwim), bisa berupa uang, emas, atau barang berharga lainnya. Al-Qur’an menggambarkan mahar sebagai pemberian yang baik. “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.” (QS. An-Nisa’: 4).
Di Aceh, mahar umumnya diberikan dalam bentuk emas dengan satuan mayam (1 mayam = 3,33 gram). Banyak riset terkait mahar emas di Aceh, mayoritas menyebut standarnya berkisar antara 10–20 mayam, meski ada yang lebih rendah atau lebih tinggi tergantung status sosial. Tradisi ini mencerminkan nilai kemuliaan perempuan, di mana emas dipilih karena sifatnya yang tahan lama dan bernilai tinggi, kestabilan nilai, dan investasi jangka panjang. Emas juga melambangkan keseriusan dan komitmen calon suami.
Masalahnya, mahar emas yang semestinya menjadi simbol kemuliaan pernikahan kini berubah menjadi tantangan berat bagi generasi muda. Dengan harga emas mencapai Rp5,2 juta per mayam, mahar standar 10 mayam berarti membutuhkan dana Rp52 juta - jumlah yang setara dengan 2-3 tahun penghasilan pemuda Aceh yang baru memulai karier. Ini belum termasuk biaya pernikahan lainnya seperti hantaran, resepsi, dan kebutuhan rumah tangga baru yang bisa menambah beban hingga puluhan juta rupiah lagi. Dalam perkembangan terakhir per 14 April 2025 harga emas saat ini bahkan sudah menyentuh angka Rp 5.920.000 per mayam (serambinews.com, 14/5/2025).
Dilema yang nyata muncul, di satu sisi, tradisi mengajarkan bahwa emas adalah bentuk penghargaan tertinggi bagi mempelai perempuan. Namun di sisi lain, realitas ekonomi membuat banyak pasangan muda terpaksa menunda pernikahan mereka, atau bahkan mempertimbangkan untuk tidak menikah sama sekali.
Pertanyaannya, bagaimana kita bisa mempertahankan nilai-nilai luhur pernikahan Aceh sambil menyesuaikannya dengan kondisi ekonomi generasi muda saat ini? Bisakah kita menemukan titik temu antara kemuliaan tradisi dan keterjangkauan mahar? Atau akankah kita membiarkan mahar yang mulia justru menjadi penghalang bagi pernikahan itu sendiri?
Solusi fikih
Ulama telah merumuskan berbagai solusi untuk masalah mahar, mengingat tujuan syariat adalah memudahkan, bukan mempersulit. Dalam kaidah fikih disebutkan, “Kesulitan mendatangkan kemudahan.” Artinya, ketika mahar emas menjadi beban, syariat membuka pintu alternatif tanpa mengabaikan hak istri. Dua pendekatan utama bisa diambil, secara sosiologis (melalui perubahan budaya) dan normatif (melalui mekanisme fikih).
Pertama, secara sosiologis, masyarakat Aceh perlu mendiskusikan ulang standar mahar emas. Ini bukan berarti upaya merendahkan martabat perempuan, tetapi menyeimbangkan antara tradisi dan realitas ekonomi pemuda.
Keluarga (diwakili seulangke) bisa mengusulkan mahar lebih sederhana, dengan tetap menjaga nilai penghormatan. Perlu diingat, mahar tinggi bukan jaminan kebahagiaan rumah tangga! Yang terpenting adalah niat baik dan kesiapan mental pasangan. Jika budaya Aceh bisa menggeser persepsi bahwa mahar bukan ajang gengsi, tetapi simbol kesederhanaan yang bernilai ibadah, maka problem ini bisa diatasi.
Kedua, jika penyesuaian budaya sulit dilakukan, solusi normatif fikih yang paling realistis adalah mekanisme pembayaran mahar. Dalam fikih, mahar dapat dibayar secara tunai atau ditangguhkan (utang). Mahar tunai yang dibayarkan langsung saat akad nikah. Ini adalah bentuk ideal yang memberikan kepastian dan kemandirian finansial bagi mempelai perempuan sejak awal pernikahan. Dengan mahar tunai, istri memiliki dana yang bisa digunakan untuk kebutuhan pribadi atau modal rumah tangga.
Sistem ini mencerminkan pesan Al-Qur'an dalam Surah An-Nisa ayat 4 tentang pemberian mahar yang patut sebagai bentuk penghormatan.
Mekanisme berikutnya disebut mahar ditangguhkan yang memberikan kelonggaran waktu pembayaran. Namun penting dipahami, penangguhan bukan berarti pembebasan kewajiban. Islam mengatur dengan sangat rinci perlindungan hak istri dalam sistem ini. Kedua mempelai harus membuat kesepakatan jelas tentang jangka waktu dan cara pembayaran, sebaiknya didokumentasikan secara tertulis.
Yang sangat penting, Islam bahkan mempertimbangkan skenario terburuk. Jika suami meninggal sebelum melunasi mahar, kewajiban itu tidak serta-merta hangus. Mahar yang belum dibayar menjadi utang yang harus diprioritaskan dari harta warisan, setara dengan hutang lainnya. Ini menunjukkan betapa seriusnya Islam memandang hak perempuan, bahkan setelah suami tiada sekalipun.
Mekanisme ini sangat relevan untuk pemuda Aceh hari ini karena memberikan fleksibilitas pembayaran—mahar bisa disepakati dibayar setelah pernikahan, baik secara bertahap atau ketika suami sudah mampu. Fleksibilitas ini menunjukkan kedalaman pemikiran fikih Islam yang memahami berbagai kondisi manusia, tanpa mengorbankan prinsip keadilan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.