Internasional
Ketua Majelis Ulama Aceh Paparkan Sejarah Masuknya Islam ke Aceh di Uni Emirat Arab
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk H. Faisal Ali, memaparkan sejarah masuknya Islam ke Aceh, di hadapan peserta seminar internasional
Penulis: Zainal Arifin M Nur | Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk H Faisal Ali, memaparkan sejarah masuknya Islam ke Aceh, di hadapan peserta seminar internasional, di Abu Dhabi, Rabu (16/4/2025).
Ulama yang akrab disapa Abu Sibreh ini tampil dalam satu sesi bersama Prof. Muhammad El Maazouz, Guru Besar Universitas Muhammad V Maroko, dan Prof. Saad al-Bazei, Faculty of Arts, Guru Besar pada Universitas King Saud Arab Saudi.
Sesi ini diawali dengan pemaparan oleh Dr. Najla Mohamed Alnaqbi, Vice Chancellor for Academic Affairs Sector MBZUH.
Sementara pematerinya tertulis:
1. Shaykh Muhammad Faisal Bin Ali, President, Contative Assembly of Ulama, Aceh, Indonesia
2. Prof. Muhammad El Maazouz, Muhammad V University, Morocco
3. Prof. Saad al-Bazei, Faculty of Arts, King Saud University, Saudi Arabia
Baca juga: VIDEO - Peringati 102 Tahun Nahdlatul Ulama di Aceh Barat, Abu Sibreh Soroti Fenomena Sosial di Aceh
Informasi diperoleh Serambinews.com, kegiatan yang menghadirkan Ketua MPU Aceh sebagai pemateri ini adalah Konferensi Studi Islam Ketiga dengan tema “Kewarganegaraan, Identitas, dan Nilai-Nilai Koeksistensi”,.
Acara ini dilaksanakan oleh Universitas Syaikh Muhammed bin Zayed untuk Humaniora atau Mohamed Bin Zayed University for Humanities (MBZUH), di Abu Dhabi, pada tanggal 15 dan 16 April 2025.

Konferensi ini akan membahas tiga topik utama yaitu:
1. Kewarganegaraan dan Kepemilikan: Pendekatan Filosofis dan Dimensi Nilai
2. Kewarganegaraan dalam realitas kontemporer
3. Kewarganegaraan dan Tantangan Masa Depan: Peluang dan Harapan.
Undangan kepada Ketua MPU Aceh untuk mengisi materi pada kegiatan itu ditandatangani oleh Rektor MBZUH, Dr. Khalifa Mubarak Zahari, pada tanggal 29 April 2025.
Dihubungi Serambinews.com via pesan WA, Tgk Faisal Ali mengirimkan makalahnya yang disampaikannya pada sesi seminar, Rabu (16/4/2025) siang kemarin.
“Alhamdulillah sudah selesai sesi pemaparan materi seminar pukul 1 siang tadi.
Saat ini kami diundang makan oleh Mufti UEA (Syekh Abdullah bin Bayyah) dan didampingi Rektor (Dr. Khalifa Mubarak Zahari),” tulis Tgk Faisal Ali sembari mengirim foto dirinya dan Abon Muhib bersama Mufti UEA dan Rektor MBZUH.
Baca juga: Ketua Majelis Ulama Aceh Diundang ke Uni Emirat Arab, Isi Materi pada Seminar Fatwa Isu Kontemporer
Pada seminar itu, Abu Sibreh memaparkan makalah berjudul “Kewarganegaraan, Identitas, dan Nilai Hidup Bersama serta Kaitannya dengan Islam di Aceh, Indonesia” yang disusunnya bersama Tgk Muhibbuthabry Bin Affani (Abon Muhib).
Dalam makalah setebal 4 halaman itu, Abu Sibreh mengulas tentang sejarah masuknya Islam ke Aceh, identitas Islam di Aceh, nilai hidup bersama dalam masyarakat Aceh, hingga penerapan syariat Islam di Aceh.
Sekilas Sejarah Masuknya Islam ke Aceh, Indonesia
Aceh, yang terletak di ujung utara Pulau Sumatra, merupakan salah satu wilayah pertama yang menerima Islam di Nusantara.
Masuknya Islam ke wilayah ini terjadi pada abad ke-13 dan ke-14 Masehi melalui para pedagang dan dai Muslim dari Jazirah Arab, India, Yaman, dan Persia.
Para pedagang Muslim memainkan peran penting dalam penyebaran Islam, di mana aktivitas mereka tidak hanya terbatas pada perdagangan, tetapi juga membawa nilai-nilai Islam dan memberikan contoh akhlak yang baik dalam pergaulan, sehingga menarik hati penduduk setempat terhadap ajaran Islam.
Perkawinan antara para pedagang Muslim dan perempuan lokal turut memperkuat ikatan budaya dan agama.
Salah satu tonggak penting dalam sejarah ini adalah berdirinya Kesultanan Pasai pada abad ke-13, yang dikenal sebagai kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara.
Baca juga: Ketua MPU Aceh Lem Faisal Cerita Momen Terakhir Bertemu Abu Kuta Krueng dan Aba Asnawi Lamno
Kesultanan ini menjadi pusat penting bagi pendidikan Islam, pertukaran budaya, dan penyebaran dakwah.
Ilmu-ilmu keislaman dan bahasa Arab berkembang pesat di wilayah ini.
Seiring waktu, Aceh dikenal dengan sebutan "Serambi Mekkah", karena kedudukan religiusnya yang istimewa dan hubungan eratnya dengan dunia Islam.

Letaknya yang strategis di tepi Samudra Hindia menjadikannya sebagai gerbang utama masuknya Islam ke wilayah lain di Nusantara.
Dengan demikian, masuknya Islam ke Aceh bukan melalui penaklukan militer, tetapi melalui dakwah yang damai, perdagangan, dan pertukaran budaya.
Kemudian menjadi fondasi bagi model Islam lokal yang berakar kuat dalam tradisi masyarakat Aceh hingga hari ini.
Sebuah Keniscayaan untuk Keadilan
Dalam materinya yang disampaikan di depan peserta Konferensi Studi Islam Ketiga di Abu Dhabi Uni Emirat Arab (UEA), Tgk Faisal Ali juga mengupas tentang penerapan syariat Islam di Provinsi Aceh, Indonesia.
“Penerapan syariat Islam di Aceh merupakan sebuah keniscayaan untuk keadilan tanpa diskriminasi,” ujar ulama yang akrab disapa Abu Sibreh ini.
Ia mamaparkan, penerapan syariat Islam di Provinsi Aceh merupakan pengalaman unik di dunia Islam kontemporer.
Menurutnya, implementasi ini merupakan hasil dari sejarah panjang keterikatan masyarakat dengan ajaran Islam serta jawaban atas aspirasi lokal dalam mewujudkan keadilan sosial dan moral.
“Penerapan resmi syariat dimulai pasca penandatanganan perjanjian damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 2005, yang memberikan Aceh kewenangan khusus dalam pengelolaan urusan keagamaan dan budayanya,” papar pimpinan Dayah Mahyal Ulum Al-Aziziyah Aceh Besar ini.
Baca juga: MWCNU Se-Aceh Selatan Dilantik, Tgk Faisal Ali Harap Pengurus Jadi Penyejuk di Tengah Masyarakat
Tgk Faisal mengatakan, Syariat di Aceh tidak hanya diterapkan sebagai hukum agama, tetapi juga sebagai sistem nilai dan moral yang bertujuan menjamin keadilan, menjaga martabat manusia, dan membentuk keteraturan sosial.
Pemerintah Aceh berupaya agar penerapan syariat tetap selaras dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan menghormati keberagaman
“Non-Muslim tidak dipaksa mengikuti hukum syariat, tetapi diberi pilihan: apakah mengikuti hukum nasional (KUHP) atau qanun syariat lokal,” tutur Ketua MPU Aceh yang juga menjabat Ketua PW Nahdlatul Ulama Aceh ini.
Baca juga: Konser Musik Tidak Perlu Dilakukan di Aceh, Ini Saran Seni dari Ketua MPU Aceh Tengku H Faisal Ali
Menariknya, lanjut Abu Sibreh, banyak warga non-Muslim memilih untuk menjalani hukuman berdasarkan qanun syariat, terutama dalam pelanggaran norma kesusilaan atau ketertiban umum
Karena mereka menilai prosedur hukum syariat lebih adil, prosesnya cepat, dan sifat hukumannya lebih edukatif serta mendidik, bukan represif.
Dengan demikian, tambah Tgk Faisal, penerapan syariat di Aceh menjadi contoh penerapan hukum Islam yang adil dan tidak diskriminatif, yang berfokus pada perbaikan moral, penguatan tanggung jawab sosial, dan tetap menjunjung tinggi kebebasan keyakinan.
“Ini menjadi keniscayaan religius dan sosial dalam membangun masyarakat yang adil, toleran, dan penuh solidaritas,” demikian Ketua MPU Aceh, Tgk H. Faisal Ali.(*)
Baca juga: Ketua MPU Aceh Imbau Masyarakat Tak Beli Produk Pro Israel Untuk Hampers Ramadhan Hingga Lebaran
Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh
Uni Emirat Arab
Serambinews
sejarah islam masuk aceh
Konferensi Internasional
Serambi Indonesia
Ulama Aceh
Tgk H Faisal Ali
MPU Aceh
Agni-V Meluncur! Perlombaan Rudal India dan Pakistan Memanas, India Kirim Sinyal Keras ke China? |
![]() |
---|
Satria Kumbara Meringis Kesakitan, TNI Tegaskan Tak Lagi Bertanggung Jawab Kepada Pengkhianat Negara |
![]() |
---|
The Fed Siap Tekan Suku Bunga, Wall Street Bergairah, Trump Ngamuk Lagi? |
![]() |
---|
Korea Selatan Hujani Peluru Peringatan, Tentara Korut Kabur dari Perbatasan! |
![]() |
---|
Misteri Kematian Zara Qairina: Sidang Penentuan Pemeriksaan Digelar Hari Ini, 195 Saksi Diperiksa! |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.