Kajian Islam
Hukum Suami Istri Bersentuhan Setelah Wudhu, Batal atau Tidak? Simak Penjelasan UAS dan Buya Yahya
Ustad Abdul Somad mengatakan, terkait hukum bersentuhan kulit antara suami dan istri dalam keadaan berwudhu, ada perbedaan pendapat atau khilafiyah
Penulis: Yeni Hardika | Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM - Berikut penjelasan hukum terkait suami istri bersentuhan dalam kondisi berwudhu, apakah dapat membatalkan wudhu atau tidak.
Wudhu merupakan salah satu cara bersuci yang diajarkan agama Islam kepada umatnya.
Wudhu berfungsi untuk menghilangkan hadas-hadas kecil dari tubuh, terutama di bagian anggota wudhu.
Bukan hanya sekedar untuk menghilangkan hadas kecil, wudhu juga diwajibkan bagi setiap umat muslim yang ingin melakukan ibadah-ibadah tertentu, seperti misalnya shalat.
Seperti halnya ibadah, wudhu pun memiliki syarat dan tata cara serta hal-hal yang harus dijaga agar wudhu tidak batal.
Dalam hal batal wudhu, ada beberapa faktor yang membuatnya menjadi tidak sah alias batal, diantaranya ialah bersentuhan dengan yang bukan mahram (antara laki-laki dan wanita).
Namun kemudian muncul pertanyaan, bagaimana jika suami dan istri yang bersentuhan dalam kondisi wudhu, apakah tetap batal?
Pertanyaan seperti ini kerap muncul, terutama bagi pasangan-pasangan suami istri yang baru membina rumah tangga.
Diketahui, laki-laki dan perempuan yang telah resmi menikah telah menjadi pasangan mahram dengan status suami istri.
Baca juga: Lupa Sujud Sahwi, Apakah Shalat Harus Diulang? Begini Penjelasan Ustaz Abdul Somad
Karena telah menjadi pasangan halal, maka halal pula bagi keduanya untuk saling besentuhan.
Meski telah menjadi pasangan halal, dalam praktik ibadahnya, ada suami atau istri yang tetap berjaga jarak jika mereka dalam kondisi berwudhu.
Hal ini dikarenakan ada pendapat yang menyebutkan bahwa batal wudhu jika bersentuhan antara suami dan istri.
Pendapat seperti ini banyak beredar dan hampir dianut oleh banyak muslim di Indonesia.
Namun disamping itu, ada juga yang menyatakan sebaliknya, bahwa tak batal wudhu jika bersentuhan antara suami dengan istri.
Lalu, manakah hukum yang sebenarnya?
Mengenai persoalan ini sebenarnya sudah pernah dikupas tuntas oleh Dai Kondang Ustadz Abdul Somad dan pengasuh Lembaga Pengembangan Da'wah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah Buya Yahya.
Video kajian soal batal atau tidak wudhu jika suami istri bersentuhan kulit yang dibahas oleh kedua pendakwah nasional itu juga sudah banyak tersebar, seperti di YouTube.
Untuk mengetahui bagaimana penjelasan Ustadz Abdul Somad dan Buya Yahya, simak selengkapnya dalam artikel yang telah dirangkum Serambinews.com dari berbagai sumber berikut.
Namun sebelum itu, simak terlebih dahulu penjelasan mengenai hukum dasar laki-laki dan perempuan bersentuhan dalam kondisi berwudhu menurut empat mazhab.
Baca juga: Bagi yang Berpuasa Wajib Tahu, Ustadz Abdul Somad Jelaskan Batas Waktu Sikat Gigi dan Hukumnya
Hukum laki-laki & perempuan bersentuhan dalam keadaan wudhu
Dalam sebuah tayangan video yang pernah diunggah oleh kanal YouTube Wasilah Net, Ustad Abdul Somad mengatakan, terkait hukum bersentuhan kulit antara suami dan istri dalam keadaan berwudhu, ada perbedaan pendapat atau khilafiyah dari para ulama besar.
Menurut Imam Abu Hanifah ra, pendiri mazhab tertua yakni mazhab Hanafi, jelasnya, bersentuhan antara laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu.
"Menurut mazhab Hanafi, mazhab yang paling tua dulu, namanya Imam Abu Hanifah, mazhabnya Hanafi. Tinggal di Kufah (sekarang Iraq) meninggalnya tahun 150 H. Menurut mazhab Hanafi, laki-laki dan perempuan tidak batal wudhu. " ujar Ustad Abdul Somad dalam video tersebut, dikutip dari Serambinews.com.
"Karena makna ayat: aula mastumun nisa', kalau kamu menyentuh perempuan," sambungnya menyebutkan potongan ayat Alquran Surah An-Nisa' ayat 43.
Surah An-Nisa' ayat 43 tersebut merupakan pegangan hukum bersentuhan antara laki-laki dan perempuan dalam mazhab Hanafi.
Lebih lanjut Ustaz Abdul Somad menjelaskan, yang dimaksud makna menyentuh oleh mazhab Hanafi dalam ayat tersebut bukanlah bersentuhan kulit, melainkan jima'.
"Tapi karena bahasa Alquran itu tidak vulgar, maka tidak dia katakan jima', dia katakan menyentuh. Tapi makna menyentuh disitu jima',"
"Jima' baru batal wudhu. Kalau sekedar menyentuh tak batal menurut mazhab Hanafi," terang Dai yang akrab disapa UAS tersebut.
Berbeda dengan mazhab Maliki yang diimami oleh Imam Malik bin An-Nas.
Baca juga: Benarkah Mengelap Air Wudhu Hukumnya Makruh? Begini Jawaban dan Penjelasan UAS
Menurut Imam Malik, laki-laki dan perempuan yang bukan mahram lalu bersentuhan, dapat membatalkan wudhu.
Tapi dengan syarat jika sentuhan itu menimbulkan syahwat.
Sementara jika tidak ada syahwat diantaranya, maka tidak batal wudhu apabila keduanya bersentuhan.
"Mazhab Maliki bersentuhan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, batal kalau ada syahwat. Kalau tak ada syahwat tak batal," ujar UAS.
Berbeda lagi dengan pendapat dari mazhab selanjutnya, yaitu mazhab Syafi'i yang ajarannya paling ramai dianut oleh masyarakat muslim di Indonesia.
Menurut Imam Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i atau Imam Syafi'i, kata UAS, tetap batal wudhu laki-laki atau perempuan jika bersentuhan kulit.
Baik itu menimbulkan nafsu atau tidak.
"Menurut mazhab Syafi'i, asal bersentuh laki-laki perempuan, mau bernafsu tak bernafsu, batal wudhu," jelasnya.
Penjelasan Buya Yahya
Buya Yahya juga memberi penjelasan serupa seperti yang diterangkan UAS terkait hukum bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan, sekalipun suami istri.
Baca juga: Sering Dilakukan, Ini Hukum Mengeringkan Sisa Air Wudhu di Wajah Sebelum Shalat,Simak Penjelasan UAS
Lebih rinci lagi, Buya Yahya memaparkan dasar yang menjadi pegangan dari ketiga mazhab tersebut hingga menimbulkan perbedaan pendapat.
Berikut tayangan video penjelasan lengkap Buya Yahya soal hukum bersentuhan kulit antara suami istri dalam keadaan berwudhu.
Dijelaskan Buya Yahya, bahwa Imam Syafi'i pastinya memiliki rambu-rambu saat mengambil sebuah hadist.
'Aula mastumun nisa' dalam Alquran surah An-Nisa' ayat 43, kata Buya Yahya, diartikan oleh Imam Syafi'i bersentuhan, bukan bersenggama.
Sementara oleh Mazhab Hanafi, itu diartikan bersenggama.
"Imam Syafi'i mengatakan oh ini bukan bersenggama. Kenapa? Karena ada satu ayat tentang laki-laki yang berzina, kisah Mais dan lainnya berkata bahwasanya, 'aku hancur, aku telah berzina ya Rasulullah. Sucikan aku',"
"Kemudian Nabi mengatakan apa? 'La'allakala masta, mungkin kamu masih bersentuhan'. Kalau artinya bersenggama, Nabi ga akan bertanya La'allakala masta, tapi Nabi pertanyaannya, mungkin kamu masih bersentuhan saja,"
" 'Tidak kami melakukan ya Rarusullah'. Baru meningkat, 'la'allaka qabbalta mungkin kamu nyium saja. Tidak ya Rasulullah aku melakukan, la'allaka faghata mungkin tidak sampai masuk' ,"
"Berarti apa? ada empat martabatnya. Yang pertama 'lamasa'. Dalam hadist artinya bersentuhan tangan," jelas Buya Yahya yang dikutip dari salah satu video YouTube Al-Bahjah TV.
Sementara itu, lanjutnya, Mazhab lainnya memberi makna bersenggama juga punya sebab dan dalil yang kuat.
Dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, terang Buya Yahya, dikatakan bahwa Rasulullah melipat kaki Aisyah yang melintang, saat sedang tidur di hadapan Rasulullah yang sedang shalat secara berulang.
Hadis itulah yang menjadi dasar Mazhab Malik memegang hukum tak batal wudhu jika bersentuhan antara suami istri.
Baca juga: Sampai Kapan Puasa Enam Hari Syawal Bisa Dikerjakan? Simak Waktu Pengerjaannya Menurut Buya Yahya
Hadis itu juga menjadi rujukan Imam Hanafi, sehingga mamaknai kata menyentuh yang disebut dalam Alquran surah An-Nisa' ayat 43 bukanlah bersenggama.
Disamping itu, hadis tersebut juga diakui kesahihannya oleh Imam Syafi'i.
Akan tetapi, oleh Imam Syafi'i tidak dijadikan sebagai rujukan karena ada berbagai kemungkinan.
"Imam Syafi'i punya kaidah, bukan main-main. Kalau dalil ini masih mungkin begitu mungkin begini, ga dipakai dalilnya," tandas Buya Yahya.
Status mahramnya suami istri
Seorang wanita memang sudah menjadi mahram bagi pria atau suaminya setelah menikah.
Namun, mahram yang dimaksud itu berbeda dengan status mahram dalam hubungan keluarga (nasab).
Begitupun dengan mahram yang dimaksud dalam sebuah ajaran fikih tentang hukum bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang dapat membatalkan wudhu.
Ini seperti dikatakan UAS dalam tayangan video yang sama yang pernah diunggah kanal YouTube Wasilah Net di penjelasan sebelumnya.
"Istri, itu mahram karena nikah. Tapi dia tidak mahram karena nasab. Yang dimaksud disini mahram nasab," ujarnya seperti dikutip dari tayangan video yang pernah diunggah YouTube Wasilah Net tersebut dengan judul 'Suami Istri Bersentuhan Bisa Membatalkan Wudhu? Ini Jawaban UAS'.
Antara mahram nasab dan mahram nikah jelas berbeda.
"Mahram nasab, tak ada syahwat. tak ada nafsu. Antara orang dengan anaknya," jelas UAS.
Jadi, lanjutnya, mahram yang dimaksud dalam sebuah ajaran tentang hukum batal wudhu karena bersentuhan adalah mahram nikah, bukan mahram nasab.
"Jadi nanti kalau ada orang mengatakan, dia itu kan istrimu, istrimu itu kan mahrammu, maka tak batal wudhumu. Yang dimaksud mahram di sini bukan mahram nikah tapi mahram nasab,"
"yang tak batal itu dengan anak, dengan emak, dengan perempuan yang mahram karena nasab tadi, bukan mahram karena nikah" tegas UAS.
Lalu, batal atau tidak wudhu jika suami istri bersentuhan kulit?
Masih dalam video yang sama, Ustad Abdul Somad secara pribadi menyebutkan, bahwa dirinya memilih mengikuti pendapat Imam Syafi'i.
Yaitu batal wudhu apabila suami dan istri bersentuhan kulit baik itu disertai dengan nafsu atau tidak.
"Abdul Somad pilih pendapat Imam Syafi'i," ujar UAS.
Selain karena sejak kecil sudah mempelajari kaidah-kaidah fikih dari mazhab tersebut, UAS menyebut alasannya memakai pendapat Imam Syafi'i dalam hal ini karena lebih selamat.
Menurut UAS, mazhab Syafi'i memiliki tingkat kehati-hatian yang lebih tinggi, salah satunya dalam persoalan wudhu.
Sehingga tidak ada rasa was-was ketika mengerjakan shalat, apakah wudhu masih ada atau sudah batal.
"Kenapa pendapat itu yang ustad pilih? Karena dari kecil saya belajar mazhab Imam Syafi'i. Di sekolah saya pakai mazhab ini, di Mesir saya pakai Mazhab ini, dan menurut saya pakai mazhab ini lebih selamat," pungkasnya.
4 hal yang membatalkan wudhu
Wudhu merupakan kegiatan menyucikan diri dari hadats kecil agar bisa melaksanakan ibadah dengan sah, seperti shalat, tawaf, dan ibadah sejenis.
Dilansir dari laman Kemenag, Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami, seorang ulama mazhab Syafi‘iyah dalam kitabnya yang berjudul Safinatun Naja (Indonesia, Daru Ihya'il Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun) Halaman 25-27 menjelaskan, ada 4 hal yang dapat membatalkan wudhu sehingga seseorang berada dalam keadaan hadats.
Berikut sebab-sebab yang membatalkan wudhu.
1. Keluar sesuatu dari qubul dan dubur
Selain sperma, apa pun yang keluar dari lubang qubul (kelamin) dan dubur (anus) baik berupa air kencing, angin atau kotoran, barang suci atau najis, kering atau basah, dan sebagainya, itu semua bisa membatalkan wudhu.
Sedangkan bila yang keluar adalah sperma maka tidak membatalkan wudhu, namun yang bersangkutan wajib melakukan mandi junub.
Baca juga: Hukum Puasa Syawal Bersamaan dengan Qadha Ramadhan, Begini Penjelasan Buya Yahya
Allah Swt berfirman dalam Surat Al-Maidah ayat 6:
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
“.... salah seorang di antara kamu kembali dari tempat buang air,”.
2. Hilang akal
Orang yang hilang akal atau kesadarannya entah itu karena tidur, gila, mabuk, atau pingsan maka wudhunya menjadi batal. Rasulullah Saw bersabda:
فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Barangsiapa yang tidur maka berwudhulah.” (HR. Abu Dawud)
Namun demikian, ada tidur yang tidak membatalkan wudhu, yaitu posisi tidurnya duduk dengan menetapkan pantat pada tempat duduknya sehingga tidak memungkinkan keluarnya kentut.
3. Bersentuhan Kulit
Bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang keduanya telah baligh, bukan mahram, dan tanpa penghalang bisa membatalkan wudhu. Allah berfirman dalam Surat Al-Maidah ayat 6:
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ
“... atau kalian menyentuh perempuan.”
Adapun sentuhan kulit yang tidak membatalkan wudhu adalah antara laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan, dan laki-laki dengan perempuan yang menjadi mahramnya.
Selain itu, wudhu juga tidak menjadi batal ketika terjadi sentuhan yang terhalang oleh sesuatu, misalnya kain.
Demikian pula tidak batal wudhunya bila seorang laki-laki yang sudah baligh bersentuhan kulit dengan seorang perempuan yang belum baligh atau sebaliknya.
Lalu bagaimana dengan wudhu sepasang suami istri yang bersentuhan kulit?
Wudhu tersebut menjadi batal karena pasangan suami istri bukanlah mahram.
Seorang perempuan disebut mahram jika perempuan tersebut haram untuk dinikahi oleh seorang laki-laki.
Sebaliknya, seorang perempuan disebut bukan mahram bila boleh dinikahi oleh seorang laki-laki.
Sepasang suami istri adalah dua orang berbeda jenis kelamin yang boleh menikah.
Karena keduanya diperbolehkan menikah alias bukan mahram, maka saat bersentuhan kulit tentu wudhunya menjadi batal.
4. Menyentuh Kemaluan
Menyentuh kemaluan atau lubang dubur manusia dengan menggunakan bagian dalam telapak tangan bisa membatalkan wudhu. Rasulullah bersabda:
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Barangsiapa yang memegang kelaminnya maka berwudhulah.” (HR. Ahmad)
Wudhu seseorang bisa menjadi batal dengan menyentuh kemaluan atau lubang dubur manusia, baik dari orang yang masih hidup atau sudah mati, milik sendiri atau orang lain, anak kecil atau dewasa, sengaja atau tidak sengaja, atau kemaluan yang disentuh itu telah terputus dari badan.
Adapun wudhu orang yang disentuh kemaluannya tidak menjadi batal kecuali jika keduanya sudah baligh sebagaimana pada poin ketiga.
Selain itu, wudhu juga tidak menjadi batal jika menyentuh kemaluan dengan menggunakan selain bagian dalam telapak tangan atau menggunakan perantara benda, seperti pakaian, kain, kayu, dan sebagainya.
(Serambinews.com/Yeni Hardika)
BACA BERITA LAINNYA DI SINI
Empat Kunci Emas Lewat Amalan Hari Jumat: Buka Pintu Rezeki, Rahmat dan Ampunan dari Allah |
![]() |
---|
Diuji dengan Perselingkuhan Suami, Buya Yahya Ungkap Jalan Tengah untuk Istri, Langsung Cerai? |
![]() |
---|
Buya Yahya Jelaskan Hukum Bulu Kucing yang Menempel di Baju: Najis, Tapi Dimaafkan |
![]() |
---|
Adab Suami Istri Tidur Dalam Kondisi Junub Usai Berhubungan,Boleh Tunda Mandi Wajib Tapi Lakukan Ini |
![]() |
---|
Bolehkah Tunda Mandi Wajib Hingga Besok Pagi Usai Berhubungan Suami Istri di Malam Hari?Ini Hukumnya |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.