Mihrab

Hukum Main Domino di Aceh: Antara Hiburan, Hukum Syariat, dan Stigma Judi

“Maka, walaupun domino secara fiqh asalnya mubah (boleh), di Aceh bisa berubah menjadi makruh tahrim atau bahkan haram," ujarnya.

Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Muhammad Hadi
IST
Ketua Umum DPP Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh, Tgk Mustafa Husen Woyla. 

Hukum Main Domino di Aceh: Antara Hiburan, Hukum Syariat, dan Stigma Judi

SERAMBINEWS.COM - Permainan domino kembali menjadi topik hangat di Aceh, karena keberadaannya menghadapkan pertanyaan hukum agama, adat, dan masyarakat.

Apakah domino haram? Atau mubah (boleh)? Atau sekadar hiburan?

Perdebatan ini tidak hanya muncul dalam forum keagamaan, melainkan juga dalam regulasi lokal dan fatwa-fatwa ulama.

Ketua Umum DPP Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh, Tgk Mustafa Husen Woyla SPdI, menjelaskan bahwa secara hukum asal, permainan seperti domino, catur, atau kartu tidak otomatis haram. 

“Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan, permainan itu boleh selama tidak mengandung unsur maysir (judi), tidak melalaikan kewajiban seperti shalat atau nafkah keluarga, dan tidak memancing maksiat seperti sumpah serapah atau pertengkaran,” ujarnya, Kamis (25/9/2025).

Baca juga: Tgk Mustafa Husen Woyla Terpilih Kembali Nahkodai ISAD Aceh Periode 2025–2030

Namun, Tgk Mustafa menekankan prinsip sadd al-dzari’ah (menutup pintu menuju keburukan).

Artinya, sesuatu yang pada mulanya boleh bisa berubah menjadi terlarang jika membuka jalan ke arah mudarat.

Dalam konteks Aceh, kata dia, domino sudah lama dipersepsikan sebagai “saudara dekat” judi.

“Stigma masyarakat tidak bisa diabaikan. Walaupun tanpa taruhan sekalipun, main domino tetap dipandang tabu karena melekat dengan kebiasaan judi dan pemborosan waktu di warung kopi,” tambahnya.

Tgk Mustafa mengutip kaidah fiqh al-‘adah muhakkamah (adat dapat dijadikan dasar hukum) dan taghayyurul ahkam bi taghayyuril azman wal amkinah (hukum dapat berubah karena perubahan zaman, tempat, dan keadaan).

Dari sinilah, ulama Aceh berhak menetapkan hukum lebih ketat dibanding daerah lain.

“Maka, walaupun domino secara fiqh asalnya mubah (boleh), di Aceh bisa berubah menjadi makruh tahrim atau bahkan haram, sebab adat dan realitas sosial mengandung mudarat yang lebih dominan,” jelasnya.

Meski di tingkat nasional domino bahkan sudah dikategorikan sebagai cabang olahraga resmi, Tgk Mustafa menilai Aceh perlu arif dalam menyikapinya.

“Kalau adat dan syariat lokal memandang mudarat lebih dominan, maka tidak perlu Aceh mengirim utusan. Itu bukan berarti anti-olahraga, melainkan menjaga kearifan lokal dan marwah syariat Islam,” ungkapnya.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved