Opini

Memaknai Peringatan Hardiknas 2025, Kampus Berdampak untuk Aceh

Pendidikan tinggi tidak boleh lagi sekadar mencetak gelar atau menerbitkan karya ilmiah, tetapi harus menjadi sumber daya perubahan yang berpihak, mem

Editor: mufti
IST
Khairul Munadi, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi dan guru besar Fakultas Teknik USK Banda Aceh 

Khairul Munadi, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi dan guru besar Fakultas Teknik USK Banda Aceh

ACEH memiliki lebih dari selusin perguruan tinggi negeri dan swasta. Kampus-kampus ini dihuni para ilmuwan, peneliti, dan lulusan cemerlang. Namun, provinsi kita masih berkutat dengan kemiskinan dua digit, pengangguran muda, dan ketimpangan pembangunan. Maka wajar jika muncul pertanyaan mendesak: di mana posisi pendidikan tinggi dalam menjawab kenyataan ini?

Inilah kegelisahan yang melahirkan gerakan #KampusBerdampak —sebuah ajakan untuk merapatkan jarak antara ilmu dan kehidupan, antara kampus dan masyarakat. Pendidikan tinggi tidak boleh lagi sekadar mencetak gelar atau menerbitkan karya ilmiah, tetapi harus menjadi sumber daya perubahan yang berpihak, membumi, dan menyentuh akar persoalan masyarakat.

Membumikan Tridharma

Perguruan tinggi (PT) kita telah banyak melahirkan sarjana, doktor, bahkan profesor. Namun pertanyaan mendasarnya: sudahkah semua itu melahirkan harapan baru bagi masyarakat? Sudahkah kampus menjadi jembatan antara pengetahuan dan kehidupan? Sudah lama Tridharma PT dipahami sebagai daftar tugas administratif yang berjalan sendiri-sendiri —pengajaran di ruang, riset di laboratorium, pengabdian yang kehilangan daya sentuhnya. Ia menjadi kewajiban individual dosen, bukan gerakan kolektif institusional. Tercatat rapi dalam laporan, tetapi tak selalu berdetak dalam denyut kehidupan masyarakat.

Padahal bila dirawat sebagai satu tarikan napas, Tridharma adalah daya hidup yang luar biasa. Ia dapat menjadikan kampus sebagai simpul perubahan, tempat tumbuhnya solusi, ruang di mana ilmu berpijak pada realitas, menyerap akar persoalan, lalu berbuah dalam bentuk pemecahan nyata.

Kita perlu melakukan pergeseran mendasar dalam cara pandang. Tridharma tak lagi cukup dipahami sebagai aktivitas individu yang terfragmentasi, melainkan perlu ditata ulang sebagai desain kelembagaan yang berorientasi pada pemecahan persoalan konkret —baik sosial, ekologis, maupun ekonomi. Hanya dengan cara itu, kampus dapat kembali hadir sebagai suluh peradaban yang mencerahkan.

Kampus yang membumi adalah kampus yang menyadari bahwa keilmuannya hanya berarti jika hadir dalam perbaikan nyata kehidupan. Maka, tugas PT bukan hanya mencetak lulusan unggul, tetapi mencetak kehadiran bermakna —yang menjawab kesenjangan, mengatasi keterbelakangan, dan menyemai masa depan.

Relasi strategis

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa relasi antara pendidikan tinggi dan pembangunan daerah di Aceh belum terjalin secara erat. Sudah lama keduanya berjalan dalam rel-nya masing-masing: kampus sibuk mengembangkan ilmu, sementara pemerintah daerah merancang pembangunan, namun tanpa titik temu yang berarti. Sudah saatnya kita menyatukan arah dan bahasa. Pendidikan tinggi tidak boleh hanya menjadi pelengkap administratif, dan pembangunan daerah tak boleh lagi berjalan tanpa sandaran ilmu. Keduanya harus saling menyatu, saling menguatkan, dan menata arah bersama.

Saya membayangkan lahirnya sebuah Konsorsium Pendidikan Tinggi untuk Pembangunan Aceh —bukan sebagai forum simbolik, tetapi sebagai ruang kerja bersama. Tempat para rektor, bupati, wali kota, pelaku usaha, dan tokoh masyarakat duduk satu meja —bukan untuk membuat slogan, melainkan menyusun langkah nyata. Di sana riset dan pengabdian diarahkan untuk menjawab persoalan masyarakat. Kampus menjadi sahabat bagi gampong, mitra strategis bagi pemerintah daerah, dan rumah bagi masa depan Aceh.

Melangkah bersama

Perubahan besar tidak selalu harus dimulai dari langkah besar. Ia bisa lahir dari gerakan-gerakan kecil yang konsisten dan bermakna: Menyatukan pengajaran, riset, dan pengabdian dalam satu peta tematik pembangunan daerah.

Menyelaraskan agenda kampus dengan rencana pembangunan daerah, agar ilmu tak hanya menjadi penonton dari kejauhan, tetapi hadir sebagai penggerak perubahan. Mengalokasikan sebagian anggaran daerah dan sumber lain untuk program inovasi berbasis komunitas. Kemudian mendirikan pusat pemberdayaan dan inkubasi wirausaha muda di kampus, agar pemuda tidak hanya mencari kerja, tetapi menciptakan kerja.

Lebih dari itu, kampus harus proaktif dalam “belanja masalah” ke pemerintah daerah dan masyarakat —menggali langsung kebutuhan nyata, mendengar aspirasi warga, dan menjadikannya sebagai fondasi riset dan pengabdian. Inilah langkah awal membangun jembatan antara ilmu dan kehidupan, antara strategi dan empati.
Kampus juga dapat menjadi ruang tumbuhnya literasi digital, laboratorium kajian strategis tentang masa depan Aceh, sekaligus taman hidup bagi revitalisasi adat, seni, dan budaya. Di sinilah makna berdampak menemukan bentuknya —ketika kehadiran perguruan tinggi benar-benar dirasakan sebagai penopang kehidupan bersama.

Harapan untuk semua

Kepada rekan-rekan pimpinan perguruan tinggi mari kita tata ulang arah institusi kita. Tridharma bukan sekadar kewajiban administratif, tapi napas intelektual dan spiritual sebuah universitas yang hidup. Mari jadikan kampus sebagai rumah gagasan, ruang keberpihakan, dan mercusuar solusi. Kepada pemerintah daerah libatkan kampus sejak awal perencanaan, bukan sekadar dalam pelaksanaan. Kampus bukan hanya pelengkap teknis, tapi mitra strategis pembangunan.

Kepada pelaku usaha dan komunitas ekonomi lokal sinergikan inovasi dengan kebutuhan sektor produktif daerah —dari UMKM hingga pertanian, perikanan, dan lain-lain. Aceh akan melangkah lebih jauh jika riset berpadu dengan kekuatan ekonomi rakyat. Dan kepada masyarakat Aceh jangan pernah kehilangan harapan. Kampus bukan milik para akademisi semata. Ia adalah milik kita semua —tempat cita-cita ditumbuhkan dan masa depan dibentuk.

Sebagai putra daerah yang turut merumuskan dan mengarahkan kebijakan pendidikan tinggi nasional, saya meyakini bahwa wajah masa depan Indonesia tidak hanya ditentukan dari pusat, tetapi juga dari kampus-kampus di daerah —termasuk di Aceh. Maka jangan biarkan kampus hanya menjadi tempat belajar, tapi jadikan ia tempat bersandar bagi masyarakat, tempat bersuara bagi yang tak terdengar, dan tempat bertindak bagi perubahan. Pendidikan tinggi bukan satu-satunya jawaban. Namun tanpa pendidikan tinggi yang berpihak, berdampak, dan berakar di bumi sendiri, masa depan hanya akan menjadi gema dari masa lalu.

Pada peringatan Hardiknas ini, mari kita bangun Aceh dari kampus —dengan ilmu yang hidup, amal yang mengakar, dan cinta yang tak lekang kepada tanoh indatu. "Dengan ilmu kita menuju kemuliaan, dengan amal kita menuju kebajikan". (Ki Hadjar Dewantara).

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved