Opini

Dari Baitul Asyi ke Baitul Mal Aceh

Meskipun Prof. Al-Yasa belum mengurai solusi konkret yang sesuai dinamika saat ini, kegelisahan beliau jelas bukan tanpa alasan. Isu ini beliau angkat

Editor: Ansari Hasyim
zoom-inlihat foto Dari Baitul Asyi ke Baitul Mal Aceh
IST
Dr. Marah Halim, S.Ag, M.Ag, MH

Dengan sistem daftar tunggu di Indonesia, biaya untuk kebutuhan primer ini sudah teralokasi sejak awal. Jamaah yang berangkat tinggal "mengeksekusi" haknya. Wajar jika kemudian dana Baitul Asyi ini dianggap sebagai "dana tambahan" yang bebas dibelanjakan.

Namun, sejatinya, harta agama sebaiknya dialokasikan untuk kebutuhan primer atau dharuri (esensial).

Jadi, akar masalah utamanya terletak pada pola penyaluran yang ada saat ini bukan untuk memenuhi kebutuhan primer para jamaah haji, tetapi sekedar kebutuhan sekunder bahkan tersier, sehingga kurang dihargai dan dihayati.

Ditambah lagi bentuk penyalurannya berupa dana segar dalam mata uang Saudi (Riyal), menambah mudah jamaah membelanjakannya disana. 

Mungkinkah Diubah? Sebuah Keharusan!

Pertanyaan "Mungkinkah pola penyaluran dana wakaf Baitul Asyi diubah?" sebenarnya harus kita balik: apakah pola yang ada saat ini dapat memenuhi spirit wakaf dari wakif? Jika spirit wakaf menjadi landasan, maka perubahan pola penyaluran mutlak harus dilakukan!

Spirit wakaf Syekh Habib bin Bugak melalui Baitul Asyi (Rumah Aceh) adalah menyediakan penginapan (akomodasi) bagi jamaah haji atau penuntut ilmu di Makkah.

Ini merupakan pemenuhan kebutuhan primer (dharuri) di masa itu, di mana kondisi sosial serba sulit bagi jamaah Aceh. Niat tulus inilah yang menggerakkan Syekh Habib untuk berwakaf.

Kini, kondisi tersebut tidak lagi relevan. Semua kebutuhan primer jamaah haji telah terkelola dengan baik. Ini berarti, tujuan asli wakaf (maqashid waqf) tidak terpenuhi dengan pola saat ini.

Bersikukuh dengan pola distribusi yang ada sama saja dengan mengabaikan niat luhur Syekh Habib bin Bugak. Spirit dan niat wakaf inilah yang harus kita pertahankan, sementara bentuk penyalurannya harus kita sesuaikan dengan konteks masa kini.

Secara ushul fiqh, kaidah hukum dari Ibn Qayyim al-Jawziyyah relevan di sini: "Perubahan hukum terjadi karena perubahan waktu, tempat, dan situasi" (taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-amkinah wa al-azminah wa al-ahwal).

Jika hukum tidak diubah, tujuan agama (maqashid al-Syari’ah) justru tidak akan tercapai. Mencapai tujuan agama sifatnya mutlak, sementara hukum adalah sarana yang sifatnya relatif.

Belajar dari praktik Khalifah Umar bin Khattab di era sahabat Nabi, beliau banyak melakukan manuver hukum demi kemaslahatan, bahkan yang seolah "mengangkangi" perintah tekstual Al-Qur'an dan Sunnah.

Misalnya, mengalihkan zakat dari muallaf ketika konteksnya sudah tidak relevan. Umar memahami bahwa konteks adalah kunci.

Maka, kita harus menemukan kembali konteks spirit wakaf Habib Bugak yang bertujuan membantu kebutuhan primer warga Aceh di Makkah. Ada dua opsi utama yang dapat memenuhi spirit ini: pertama, mendukung para penuntut ilmu di negara-negara Timur Tengah.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved