Ekonomi

Jejak Sritex Raksasa Tekstil Nasional, Jaya di Pasar Global ke Pailit, Kini Komisarisnya Ditangkap

perjalanan PT Sritex dimulai pada tahun 1966, ketika pendirinya, H.M. Lukminto, merintis usaha sebagai pedagang kain kecil di Pasar Klewer, Solo,

Penulis: Yeni Hardika | Editor: Ansari Hasyim
Wikimedia Commons/Almuharam
Kantor pusat dan kawasan industri PT Sri Rejeki Isman Tbk. Sritex dinyatakan pailit. 

Sritex kemudian menjadi perusahaan tekstil terbesar di Indonesia yang menguasai seluruh rantai produksi dari hulu hingga hilir, bahkan dikenal sebagai yang terbesar di kawasan Asia Tenggara. 

Sebanyak 59 persen sahamnya dikendalikan oleh PT Huddleston Indonesia, yang memiliki afiliasi erat dengan Keluarga Lukminto, sedangkan 40 persen sisanya dimiliki oleh publik.

Sejak 2022, Iwan Setiawan menjabat sebagai Komisaris Utama PT Sritex, sedangkan posisi Direktur Utama dijabat oleh sang adik, Iwan Kurniawan Lukminto.

Baca juga: Menguak Aset Kekayaan Iwan Kurniawan Lukminto Usai Sritex Bangkrut hingga PHK Ribuan Karyawan

Dari Pasar Klewer ke Pasar Global

Diberitakan Kompas.com (2/3/2025), perjalanan PT Sritex dimulai pada tahun 1966, ketika pendirinya, H.M. Lukminto, merintis usaha sebagai pedagang kain kecil di Pasar Klewer, Solo, di bawah nama UD Sri Redjeki. 

Dua tahun berselang, ia mendirikan pabrik cetak sendiri, yang kemudian diikuti dengan ekspansi bisnis pada 1982 melalui pendirian pabrik tenun pertamanya.

Puncak kesuksesan datang pada tahun 1994, saat Sritex mendapat kepercayaan untuk memproduksi seragam militer bagi NATO dan Angkatan Bersenjata Jerman.

PT Sritex dikenal sebagai perusahaan tekstil terpadu yang mengelola seluruh rantai produksi secara mandiri, mulai dari pemintalan benang hingga pembuatan pakaian jadi.

Selain memenuhi kebutuhan pasar domestik, Sritex juga menjangkau pasar global dengan jaringan pelanggan yang tersebar di lebih dari 100 negara. 

Wilayah pemasaran utamanya mencakup Amerika Serikat, Eropa, Asia Tenggara, serta Timur Tengah.

Terpuruk hingga dinyatakan pailit

Sritex mulai mengalami tekanan keuangan yang cukup berat sejak 2021.

Dilansir dari Kompas.com, Rabu (21/5/2025), pada Mei 2021, perdagangan saham perusahaan dihentikan sementara akibat keterlambatan pembayaran bunga dan pokok Medium Term Notes (MTN). 

Beban liabilitas Sritex pun terus membengkak hingga mencapai sekitar Rp 24,3 triliun pada September 2023. 

Kondisi ini semakin diperburuk dengan ketatnya persaingan di pasar global, dampak pandemi Covid-19 yang mengacaukan rantai pasokan dan menurunkan permintaan.

Tak hanya itu, situasi geopolitik global turut memukul ekspor tekstil ke pasar utama, seperti Amerika Serikat dan Eropa.

Kondisi keuangan Sritex pun mencapai titik nadir pada 21 Oktober 2024.

Baca juga: Sritex Bangkrut, Iwan Kurniawan Lukminto Tetap Tajir, Istri Tetap Bisa Tenang, Ini Daftar Bisnisnya

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved