Opini

Marwah Aceh, dan 4 Pulau yang Hilang

Pemerintah Aceh, ketika itu, langsung menolak keputusan itu dan menyampaikan keberatan resmi berupa somasi kepada pemerintah pusat.

Editor: mufti
For Serambinews.com
Sadri Ondang Jaya, Pemerhati dinamika sosial budaya 

Sadri Ondang Jaya, Pemerhati dinamika sosial budaya

ACEH memiliki banyak pulau di wilayahnya. Empat di antaranya, Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang. Empat pulau ini secara geografis terletak di Samudera Indonesia, perairan laut Kemukiman Gosong Telaga, Kecamatan Singkil Utara, Kabupaten Aceh Singkil. Sejak dahulu, empat pulau yang berbatasan dengan wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara itu, adalah milik Aceh, penduduknya berada di bawah naungan Pemerintahan Aceh.Namun, pada tahun 2022, Sumatera Utara tiba-tiba mengklaim secara sepihak empat pulau itu miliknya. Anehnya, klaim ini diperkuat pula oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Surat Keputusan Nomor 050-145 Tahun 2022 dan Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022.

Pemerintah Aceh, ketika itu, langsung menolak keputusan itu dan menyampaikan keberatan resmi berupa somasi kepada pemerintah pusat. Segala bukti historis, fakta hukum dan administratif diajukan. Tim dari Aceh juga mengajak berbagai pihak meninjau ke lapangan.

Ini dimaksudkan agar pulau yang telah diklaim Sumatera Utara dikembalikan ke Aceh dan Surat Keputusan Kemendagri direvisi. Akan tetapi, hingga tahun 2025, tiga tahun berlalu, Kemendagri tetap bergeming. Surat keputusan yang diterbitkannya tidak pernah direvisi. Mengingat keberadaan empat pulau terus mengambang, di awal kepemimpinan Gubernur Aceh Muzakir Manaf dan wakilnya Fadhlullah, berencana mengembalikan empat pulau yang hilang itu ke pangkuan 'ibu pertiwi Aceh'.

Penegasan Mualem, sapaan akrab Muzakir Manaf itu disampaikan saat berkunjung ke Aceh Singkil pada 15 Februari 2025, "Empat pulau itu akan kita ambil kembali," tegas Muzakir Manaf. Kemarahan mantan Panglima GAM itu, bisa dimaklumi karena catatan sejarah, fakta hukum dan dokumen resmi menunjukkan bahwa keempat pulau tersebut memang bagian dari wilayah Provinsi Aceh. Sejak zaman dahulu, wilayah kepulauan itu masuk dalam wilayah Desa Gosong Telaga Selatan, Kecamatan Singkil Utara, Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh.

Sebagai bukti, ada surat kesepakatan yang dibuat pada tahun 1992 yang diteken oleh Gubernur Aceh Prof. Dr. Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumut Raja Inal Siregar, serta disaksikan langsung oleh Menteri Dalam Negeri Rudini. Surat itu menegaskan batas wilayah yang telah disepakati dan keberadaan empat pulau milik Aceh. Tak hanya itu, dokumen Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Aceh tertanggal 17 Juni 1965 mencatat keempat pulau ini sebagai bagian dari Aceh dengan sebutan Pulau Mangkir Rayeuk, Pulau Mangkir Tjut, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.

Bukti lain, pemilik segel (surat tanah) pulau yang ditanami kelapa itu, milik warga Bakongan, Aceh Selatan. Ahli warisnya, masih hidup sampai sekarang. Pada tahun 2012, Pemerintah Aceh telah memasang patok batas, membangun rumah singgah nelayan, dan tambatan perahu di Pulau Panjang. Fakta lain yang tak terbantahkan adalah status kependudukan masyarakat di empat pulau tersebut. Hingga saat ini, mereka masih ber-KTP Aceh, terdaftar sebagai penduduk Desa Gosong Telaga Selatan, dan tetap menggunakan hak pilih dalam pemilu di Aceh. Bantuan sosial dari Pemerintah Aceh juga terus mengalir ke mereka, termasuk Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan sembako.

Bertentangan UUPA

Lagi pula, adanya klaim sepihak Sumatera Utara dan Keputusan Kemendagri jelas telah mengangkangi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang dicetuskan dari adanya konflik antara Aceh dengan Indonesia. Dalam UUPA dicantumkan batas wilayah Aceh. Dan Aceh sebagai provinsi, adalah daerah otonomi status khusus yang diakui secara hukum. Dalam hirarki perundang-undangan, keputusan Menteri harus tunduk pada aturan yang lebih tinggi. Jika SK Kemendagri melanggar UUPA, maka secara hukum, keputusan tersebut otomatis batal. Kalau ini terus dibiarkan, bisa menjadi preseden buruk: Hari ini empat pulau, besok mungkin lebih banyak wilayah Aceh yang hilang.

Empat pulau ini bukan hanya soal batas administratif, tetapi juga soal kedaulatan dan ekonomi. Pulau-pulau ini memiliki potensi perikanan, kelautan, dan ekowisata yang besar. Jika dikelola dengan baik, kawasan ini bisa menjadi pusat ekonomi maritim yang menggerakkan roda perekonomian masyarakat Aceh. Lebih dari itu, Aceh punya sejarah panjang dalam mempertahankan kedaulatan. Jika pulau-pulau ini lepas, bukan hanya batas wilayah yang terganggu, tetapi juga marwah Aceh yang dipertaruhkan.

Dengan fakta sejarah, fakta hukum dan administratif yang begitu kuat serta untuk menjaga kestabilan teritorial kelautan ditambah untuk menjaga Marwah Aceh klaim-klaim sepihak seperti ini tidak patut dan wajar. Demi manfaat lebih besar dan alasan-alasan yang kuat, Menteri Dalam Negeri RI harus merevisi surat keputusannya dan mengembalikan empat pulau kepada Aceh.

Jika Kemendagri belum berbesar hati dan tidak legowo mengembalikan empat pulau “sengketa”, Gubernur Aceh dan jajarannya harus berjuang. Perjuangan ini tak bisa hanya berhenti di retorika dan wacana belaka. Dibutuhkan langkah konkret dan strategis untuk merebut kembali keempat pulau tersebut. Untuk mewujudkan ini, Gubernur Aceh harus memperkuat lobi politik ke pusat, melibatkan anggota DPR RI dan DPD RI asal Aceh untuk menekan pemerintah agar segera merevisi keputusan Kemendagri.

Muzakir Manaf selaku Gubernur Aceh, harus melakukan konsolidasi di semua level, mulai dari keuchik, bupati, DPRK, gubernur, hingga DPRA, agar perjuangan ini memiliki kekuatan politik yang solid. Selain itu, komunikasi intensif dengan tokoh-tokoh nasional yang memiliki pengaruh di Kemendagri harus dibangun. Tanpa strategi yang jelas, perjuangan ini hanya akan menjadi wacana kosong tanpa hasil nyata.

Setelah keempat pulau ini kembali, Aceh tidak boleh berdiam diri dan terlena. Pemerintah Aceh harus segera membangun sektor ekonomi maritim, mengembangkan perikanan, ekowisata, dan sektor kelautan agar wilayah ini lebih produktif. Infrastruktur harus dibangun dan ditingkatkan, baik dalam akses transportasi maupun komunikasi, agar potensi di pulau-pulau tersebut dapat dimanfaatkan dengan optimal. Tidak terkesan ditelantarkan.

Selain itu, regulasi khusus harus disiapkan untuk memastikan identitas masyarakat Aceh di wilayah ini tetap terjaga dan tidak tergerus oleh kepentingan luar. Masyarakat Aceh, terutama di Kemukiman Gosong Telaga, Singkil Utara, Aceh Singkil, tidak butuh janji-janji kosong dan wacana politik belaka. Mereka butuh aksi nyata.
Sejarah sudah mencatat: Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang adalah bagian dari Aceh. Bukti otentik sejarah kepemilikan pulau, secara hukum dan bukti-bukti fisik bangunan, dan pengakuan warga telah ada. Sekarang, tinggal bagaimana kita memilih: berjuang merebut kembali atau membiarkan sejarah terhapus dan marwah jatuh, atau UUPA hanya pepesan kosong.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved