Opini

Kala Dana Otsus Redup, Revisi UUPA Hilang Arah

ACEH saat ini berada di persimpangan sejarah yang menentukan. Dalam senyap yang tidak banyak disadari publik, satu per satu penopang utama anggaran pe

|
Editor: mufti
zoom-inlihat foto Kala Dana Otsus Redup,  Revisi UUPA Hilang Arah
FOR SERAMBINEWS.COM
Elly Sufriadi, Dosen FMIPA Universitas Syiah Kuala

Elly Sufriadi, Dosen FMIPA Universitas Syiah Kuala

ACEH saat ini berada di persimpangan sejarah yang menentukan. Dalam senyap yang tidak banyak disadari publik, satu per satu penopang utama anggaran pembangunan daerah sedang menyusut. Dana Otonomi Khusus (Otsus)—yang sejak 2008 menjadi denyut fiskal utama Pemerintah Aceh—akan resmi berakhir pada tahun 2027, sebagaimana diatur dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Dalam ketentuan tersebut, sejak tahun pertama hingga tahun kelima belas (2008–2022), besaran dana dialokasikan sebesar 2 persen dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional. Namun sejak 2023 hingga 2027, angka itu menurun drastis menjadi hanya 1 persen . Kini kita telah berada di titik tengah periode terakhir, sementara revisi regulasi yang seharusnya menjadi prioritas justru tampak terbengkalai.

Melenceng dari haluan

Rapat paripurna DPRA pada 21 Mei 2025 seharusnya menjadi momentum penentu arah masa depan fiskal Aceh. Namun alih-alih menetapkan Pasal 183 sebagai poros pembahasan, forum tersebut justru melebar ke sejumlah pasal lain yang lebih bersifat simbolik ketimbang substansial dalam konteks keberlangsungan anggaran.

Di antara pasal-pasal yang diajukan untuk direvisi antara lain Pasal 7 (kewenangan Pemerintah Pusat), Pasal 11 (pengaturan NSPK oleh Qanun Aceh), serta Pasal 160, 165, 192, 235, dan 270 yang menyentuh pada isu-isu sektoral seperti migas, ekspor-impor, zakat, hingga mekanisme pengesahan qanun. Tentu saja, penyempurnaan regulasi adalah keniscayaan dalam tata kelola daerah otonom. Namun ketika hanya tersisa waktu singkat sebelum Dana Otsus berakhir dan beban fiskal semakin berat, maka pertanyaan besarnya adalah: mengapa yang utama justru diabaikan?

Bukankah memperjuangkan keberlanjutan Dana Otsus merupakan prioritas mutlak yang mendesak? Alih-alih memperkuat posisi Aceh dalam peta fiskal nasional, pembahasan yang tersebar dan multitafsir itu justru melemahkan peluang Aceh untuk memperjuangkan aspirasi krusialnya. Sebab tanpa arah yang jelas dan fokus yang tepat, usulan revisi UUPA akan sulit menembus daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas, yang secara kuota sangat terbatas setiap tahunnya.

Menurut catatan resmi DPR RI, dalam satu tahun, parlemen pusat hanya mampu membahas dan mengesahkan sekitar 45 Rancangan Undang-Undang. Sementara itu, revisi UUPA saat ini baru tercatat dalam daftar panjang Prolegnas, belum menjadi bagian dari prioritas. Jika tidak ada langkah signifikan yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh maupun DPRA dalam waktu dekat, maka secara realistis, pembahasan revisi tersebut baru mungkin dilakukan pada tahun 2028—satu tahun setelah dana Otsus berakhir.

Situasi ini bukan sekadar risiko teknis legislasi, melainkan ancaman langsung terhadap daya tahan fiskal dan kesejahteraan masyarakat Aceh. Hilangnya Dana Otsus tanpa pengganti atau perpanjangan akan membuat Aceh menghadapi tantangan serius dalam pembiayaan program strategis seperti pengurangan kemiskinan, pembangunan infrastruktur dasar, pemberdayaan ekonomi lokal, dan layanan sosial lainnya.

Lebih dari itu, perpanjangan Dana Otsus adalah janji politik yang secara terbuka dikampanyekan oleh pasangan kepala daerah terpilih saat Pilkada terakhir. Artinya, kegagalan dalam mengamankan kelanjutan Otsus bukan hanya kegagalan kelembagaan, tetapi juga pengkhianatan terhadap mandat rakyat.

Ketergantungan APBA

Dalam konteks ini, penting untuk melihat lebih dekat bagaimana Dana Otsus menjadi tulang punggung utama struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Berdasarkan Penelaahan Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh oleh Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI, selama periode 2008–2019, rata-rata kontribusi dana Otsus terhadap total APBA mencapai 51,58 persen .

Bahkan pada tahun 2016, proporsinya menyentuh hampir 60 % . Artinya, separuh lebih pembangunan Aceh selama lebih dari satu dekade bergantung pada satu sumber pendanaan yang kini berada di ambang akhir.

Ketergantungan ini tidak hanya mencerminkan kebergantungan teknokratis, tetapi juga memperlihatkan kerapuhan daya tahan fiskal Aceh secara struktural. Tanpa Dana Otsus, belanja pembangunan akan menyusut drastis, dan celah fiskal yang muncul tidak akan mudah diisi oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang kontribusinya relatif kecil. Dalam kondisi ini, mempertahankan keberlanjutan dana Otsus seharusnya menjadi panggilan utama seluruh pemangku kepentingan di Aceh. Sebab jika tidak, maka Aceh akan mengalami fiscal cliff—jurang fiskal—yang menyulitkan proses pembangunan dan memperluas kesenjangan kesejahteraan sosial.

Maka tidak ada pilihan lain selain memperjelas haluan perjuangan. Pemerintah Aceh bersama DPRA harus kembali ke substansi awal: memperjuangkan revisi Pasal 183 sebagai prioritas tunggal dan mendesak. Ini bukan sekadar soal memperpanjang dana, tetapi menyangkut jantung fiskal Aceh. Di sisi lain, organisasi masyarakat sipil, akademisi, mahasiswa, dan seluruh elemen warga Aceh harus berperan aktif dalam membangun tekanan moral dan politik.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved