Kupi Beungoh

Ketika Kebenaran Dikalahkan oleh Keviralan

Tapi hari ini, seseorang bisa bangun tidur, buka media sosial, tulis cuitan nyinyir, dan dalam hitungan menit, dianggap “sumber terpercaya”

Editor: Agus Ramadhan
FOR SERAMBINEWS.COM
Pengurus Ikatan Sarjana Alumni Dayah Aceh, Tgk. Alwy Akbar Al Khalidi, SH., MH 

Oleh: Alwy Akbar Al Khalidi, SH, MH

DALAM dunia yang terhubung nyaris tanpa sekat, informasi berlimpah bukan lagi jaminan meningkatnya kualitas pengetahuan.

Justru sebaliknya: kita menyaksikan ironi yang menyakitkan—di tengah kemudahan mengakses sumber primer, masyarakat malah menenggelamkan diri dalam kabut opini amatiran.

Tom Nichols menyebut ini sebagai “kematian keahlian.” Saya menyebutnya: krisis intelektual dengan wajah ramah.

Dahulu, menjadi ahli adalah puncak dari dedikasi intelektual. Ia memerlukan waktu, disiplin, dan pertanggungjawaban akademik.

Tapi hari ini, seseorang bisa bangun tidur, buka media sosial, tulis cuitan nyinyir, dan dalam hitungan menit, dianggap “sumber terpercaya” oleh ribuan pengikutnya.

Kredibilitas bukan lagi diukur dari kapabilitas, tapi dari jumlah “like” dan “share”.

Lantas siapa yang salah? Apakah masyarakat yang malas berpikir kritis, atau para ahli yang terlalu sibuk bicara dalam bahasa menara gading—tak lagi mampu menjangkau publik yang gelisah?

Fenomena ini tak terjadi dalam ruang hampa. Ada kejenuhan terhadap elitisme yang terlalu sering merasa paling tahu, tapi tak pernah mau turun dari mimbar.

Namun lebih dari itu, ada kegagalan kolektif kita dalam membangun budaya berpikir yang sehat.

Masyarakat kita lebih menikmati afirmasi ketimbang konfirmasi. Kita lebih ingin diyakinkan bahwa kita benar, ketimbang diberi tahu bahwa kita belum sepenuhnya mengerti.

Inilah zaman di mana popularitas mengalahkan validitas. Sebuah video TikTok berdurasi 30 detik bisa menenggelamkan jurnal ilmiah yang ditulis selama bertahun-tahun.

Dalam pusaran ini, suara lantang lebih berharga daripada isi.

Padahal, suara yang paling keras tidak selalu membawa kebenaran—kadang hanya membawa kebencian yang dibungkus percaya diri.

Mengabaikan ahli bukan sekadar menolak pendapat orang pintar.

Itu berarti kita menutup pintu pada sejarah panjang pencarian pengetahuan yang jujur dan bertanggung jawab.

Jika ini dibiarkan, maka kita sedang menyambut generasi yang sangat mudah dipengaruhi tapi sangat sulit dipimpin.

Dalam situasi seperti ini, para ahli tidak boleh diam. Mereka harus kembali menjadi pendidik publik, bukan hanya penghuni jurnal akademik.

Mereka harus belajar berbicara dalam bahasa yang bisa dimengerti tanpa kehilangan kedalaman makna.

Karena jika para ahli enggan turun gunung, maka para pendaki gadungan akan mengaku pemandu.

Ilmu pengetahuan memang tidak sempurna. Tapi ia satu-satunya jalan yang membuat manusia bisa belajar dari kesalahan, bukan mengulanginya dalam versi yang lebih berisik.

Mungkin inilah saatnya kita bertanya ulang: apakah kita masih menghargai kebenaran, atau hanya mencari pembenaran?

Kalau kita terus begini, jangan salahkan masa depan jika kelak ia tak lagi mengenal perbedaan antara guru dan pengikut, antara fakta dan fiksi, antara kebenaran dan kenyamanan. (*)

*) Penulis adalah Mahasiswa Doktoral Studi Islam UAD Yogyakarta, Pengurus Ikatan Sarjana Alumni Dayah Aceh, Wasekjend Ittihadul Muballighin Nanggroe Aceh Darussalam, Pengajar Sosiologi Hukum dan Pemikiran Hukum Islam.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved