Kupi Beungoh
Pulau Ligitan, Sipadan, dan Empat Pulau Singkil: Keadilan yang Terbalik – Bagian 2
Dalam kasus empat pulau yang sebelumnya dikelola oleh Kabupaten Aceh Singkil, negara justru bertindak dengan prinsip yang terbalik dari logika ICJ.
Ini adalah pemutusan ikatan administratif yang tidak berdasarkan fakta lapangan, tapi semata-mata berdasarkan garis kartografis yang ditarik ulang tanpa konsultasi publik.
Pulau-pulau itu--yang dalam kerangka ICJ justru memenuhi semua indikator efektivitas pengelolaan oleh Aceh--dihapus dari peta Aceh begitu saja.
Tidak ada pengadilan, tidak ada forum resmi, tidak ada mediasi daerah.
Hanya satu keputusan sepihak yang mengubah sejarah geografis masyarakat lokal.
Logika dan Keadilan yang Dibalik
Jika kita kehilangan Sipadan dan Ligitan karena gagal menunjukkan pengelolaan, maka kehilangan empat pulau Singkil adalah contoh nyata ketika negara menghukum daerah yang justru aktif mengelola.
Ini adalah keadilan yang dibalik.
Daerah yang tidak hadir diberi, daerah yang hadir dirampas.
Masalah ini bukan hanya soal ego kedaerahan atau klaim identitas.
Ini menyentuh prinsip dasar tata kelola negara: bahwa wilayah adalah amanah yang dijaga melalui kehadiran, pelayanan, dan relasi sosial yang hidup.
Bila prinsip ini diabaikan, maka yang terjadi bukan lagi administrasi, tetapi amputasi.
Aceh Singkil secara sosial dan administratif telah membuktikan kehadirannya di keempat pulau itu.
Negara seharusnya mengakui, bukan menafikan.
Kita bisa menerima keputusan ICJ atas Ligitan dan Sipadan karena prosesnya terbuka, legal, dan memakai standar yang bisa diuji.
Tapi kita tidak bisa menerima proses domestik yang diam-diam, tertutup, dan mengabaikan prinsip keadilan administratif yang sama.
Apakah pemerintah pusat lupa bahwa Aceh adalah bagian dari republik yang pernah dibujuk dengan janji kekhususan dan otonomi?
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.