Kupi Beungoh

Pulau Ligitan, Sipadan, dan Empat Pulau Singkil: Keadilan yang Terbalik – Bagian 2

Dalam kasus empat pulau yang sebelumnya dikelola oleh Kabupaten Aceh Singkil, negara justru bertindak dengan prinsip yang terbalik dari logika ICJ.

|
Editor: Zaenal
YouTube Serambinews
Ahmad Humam Hamid, sosiolog dan guru besar Universitas Syiah Kuala. 

Sementara Indonesia, meski lebih dekat dan merasa memiliki, tidak mampu menunjukkan kehadiran administratif yang kuat dan berkelanjutan.

Kedua, ICJ menyatakan bahwa kedekatan geografis dan sejarah tidak otomatis menjadi dasar hak kedaulatan, jika tidak dibarengi dengan pengelolaan yang sah dan aktif. 

Klaim tidak cukup. Harus ada tindakan nyata.

Logika itu--yang kita terima dan hormati sebagai keputusan final--seharusnya menjadi cermin dalam pengelolaan wilayah di dalam negeri. 

Namun, dalam kasus empat pulau yang sebelumnya dikelola oleh Kabupaten Aceh Singkil, negara justru bertindak dengan prinsip yang terbalik dari logika ICJ.

De Facto dan De Jure

Empat pulau ini—Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang—secara de facto dan de jure telah menjadi bagian integral dari wilayah administratif, sosial, dan budaya Aceh Singkil. 

Keempat pulau itu masuk dalam struktur pemerintahan desa dan kecamatan di Aceh Singkil, yang telah aktif selama bertahun-tahun di bawah sistem pemerintahan Aceh.

Jika menggunakan prinsip kehadiran administratif, Aceh Singkil punya legitimasi kuat atas pulau-pulau tersebut. 

Pemerintah daerah hadir, dengan membangun mushalla dan tugu berlambang Pemerintah Aceh.

Dede Rosadi, Wartawan Serambi Indonesia di Singkil yang beberapa kali berkunjung ke pulau-pulau itu bersama aparatur Pemerintahan Aceh Singkil mengatakan, nelayan Tapanuli yang dia temui sedang beristirahat di Pulau Panjang, beberapa tahun lalu, juga mengakui bahwa tanah di pulau itu dikuasai oleh orang Aceh, sejak lama.

Dalam video yang ditayangkan di kanal Youtube Serambinews.com itu, Dede Rosadi juga memaparkan adanya dokumen kepemilikan tanah di Pulau Panjang yang dikeluarkan oleh Agraria Aceh tahun 1965.

Kesaksian warga dan nelayan sekitar, adanya dokumen lama (Surat Agraria Aceh tahun 1965 dan surat kesepakatan Gubernur Aceh dan Sumatera Utara tahun 1991), serta adanya mushalla dan tugu berlambang Pemerintah Aceh di Pulau Panjang, menunjukkan bahwa keempat pulau itu memang milik Aceh.

Baca juga: Azhari Cage Bantah Pernyataan Dirjen Bina Adwil Soal Surat Tanah di Pulau Sengketa Aceh dengan Sumut

Apalagi yang dibutuhkan?

Historinya jelas, undang-undangnya jelas, administrasinya juga jelas bahwa itu milik Aceh.

Namun tiba-tiba, lewat proses verifikasi internal kementerian, dan revisi peta administratif, keempat pulau itu berpindah ke provinsi tetangga, seolah-olah mereka selama ini tidak memiliki siapa pun yang mengelola atau merawatnya.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved