Opini

Model Pendidikan Aceh

Saat dunia pendidikan nasional sibuk mengejar standar kurikulum merdeka dan integrasi teknologi digital, Aceh justru memiliki peluang emas untuk memba

Editor: mufti
IST
Rektor Uniki Bireuen, Prof Dr Apridar 

Prof Dr Apridar SE MSi, Ketua Komisi B Dewan Profesor USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh

ACEH memiliki keistimewaan dalam pelaksanaan syariat Islam yang tidak dimiliki oleh provinsi lain di Indonesia. Keistimewaan ini bukan sekadar simbol hukum, tetapi juga menjadi landasan moral dan spiritual dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dunia pendidikan.

Saat dunia pendidikan nasional sibuk mengejar standar kurikulum merdeka dan integrasi teknologi digital, Aceh justru memiliki peluang emas untuk membangun sistem pendidikan jangka panjang yang berpijak pada identitasnya: Islam, ilmu pengetahuan, dan akhlak mulia.

Tiga pilar utama dalam konsep pendidikan Aceh jangka panjang adalah tauhid (keimanan), akhlak mulia, dan ilmu yang bermanfaat. Ketiga pilar ini menjadi fondasi strategis untuk mencetak insan kamil, yaitu generasi paripurna yang tidak hanya menguasai pengetahuan dunia, tetapi juga berkomitmen pada nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Inilah misi besar pendidikan Aceh untuk abad 21.

Pendidikan Aceh harus bertumpu pada pondasi keimanan yang kokoh. Tauhid bukan sekadar pelajaran agama dalam jam pelajaran tertentu, tetapi menjadi inti dari seluruh kegiatan pembelajaran. Data BPS Aceh tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 98 persen penduduk Aceh beragama Islam. Namun, tingginya persentase ini harus diiringi dengan kualitas keimanan yang tercermin dalam perilaku sehari-hari, termasuk di lingkungan pendidikan.

Dalam konteks pendidikan, kurikulum di Aceh perlu mengintegrasikan pelajaran tauhid secara kontekstual. Setiap mata pelajaran mulai dari matematika hingga sains, dapat diarahkan untuk menumbuhkan kesadaran tentang kebesaran Allah swt dan peran manusia sebagai khalifah di bumi. Pendekatan ini telah diterapkan di beberapa pesantren modern dan sekolah Islam terpadu, seperti Dayah Insan Qurani di Aceh Besar yang berhasil menggabungkan pembelajaran akademik dan keagamaan secara seimbang.

Dalam Islam, keberhasilan pendidikan tidak hanya diukur dari aspek kognitif, tetapi juga dari akhlak peserta didik. Rasulullah saw diutus bukan hanya membawa wahyu, tetapi juga untuk menyempurnakan akhlak umat manusia. Maka, dalam konteks Aceh, pendidikan akhlak harus menjadi ruh dalam setiap jenjang pendidikan, mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi.

Survei yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UIN Ar-Raniry pada 2022 menyebutkan bahwa lebih dari 65 persen guru di Aceh mengeluhkan tantangan dalam membina akhlak siswa di era digital. Ini adalah alarm yang mengingatkan kita bahwa kemajuan teknologi tanpa fondasi akhlak bisa menjadi bumerang. Pendidikan karakter islami perlu diwujudkan melalui keteladanan guru, program mentoring rohani, serta penegakan disiplin yang berbasis syariat, seperti pelaksanaan shalat berjamaah, kode etik berpakaian, dan penghormatan kepada guru.

Integrasi ilmu

Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang tidak hanya dikuasai secara teoritis, tetapi juga memberi kontribusi nyata bagi masyarakat. Aceh memerlukan generasi yang menguasai teknologi, ekonomi, sains, dan berbagai ilmu modern, namun tetap teguh dalam prinsip Islam. Dalam laporan indeks literasi digital Kominfo tahun 2023, Aceh berada di peringkat menengah secara nasional. Ini menjadi tantangan sekaligus peluang untuk meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan yang terintegrasi dengan nilai-nilai syariat.

Integrasi ilmu umum dan agama harus tercermin dalam struktur kurikulum. Di beberapa SMA berbasis Islam di Aceh, sudah mulai diterapkan mata pelajaran integratif seperti "sains dalam Al-Qur’an" atau "etika bisnis Islami." Di perguruan tinggi, Universitas Syiah Kuala, UIN Ar-Raniry, dan Universitas Islam Kebangsaan Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi pelopor dalam mencetak sarjana yang tidak hanya unggul dalam keilmuan, tetapi juga visioner secara spiritual.

Mewujudkan model pendidikan berbasis tiga pilar yaitu; tauhid, akhlak, dan ilmu, tentu tidak bisa hanya mengandalkan kurikulum. Peran guru sangat vital. Aceh perlu melatih para pendidik tidak hanya secara profesional, tetapi juga spiritual. Pelatihan berkelanjutan yang menggabungkan pedagogi dan fiqh pendidikan Islam perlu diperluas. Pemerintah Aceh melalui Dinas Pendidikan dan MPU dapat bersinergi dalam membuat modul pelatihan guru yang mencerminkan nilai-nilai spiritual dan global.

Lingkungan pendidikan juga harus islami secara nyata, bukan hanya dalam simbol. Sekolah dan kampus sebaiknya dilengkapi dengan mushala yang aktif, perpustakaan dengan literatur keislaman, serta program harian seperti tilawah, zikir pagi, dan majelis ilmu. Kegiatan ekstrakurikuler seperti tahfiz, hadrah, dan debat Islami bisa menjadi media pengembangan karakter.

Implementasi pendidikan berbasis syariat memerlukan keberpihakan kebijakan. Pemerintah Aceh perlu mengadopsi model pendidikan berbasis tiga pilar penting tersebut dalam dokumen strategis jangka panjang seperti RPJMD atau Qanun Pendidikan Aceh. Tidak cukup hanya menetapkan status Aceh sebagai daerah syariat, tetapi harus dibarengi dengan langkah nyata dalam membentuk kurikulum, sistem evaluasi, dan pengawasan berbasis nilai Islam.

Selain itu, masyarakat juga perlu diberdayakan. Peran orang tua sangat penting. Program parenting islami dan penguatan peran komite sekolah berbasis masyarakat dapat menjadi penguat dari dalam. Di beberapa daerah seperti Lhokseumawe, Bireuen dan Pidie, sejumlah masjid sudah mulai menjadi pusat pembinaan remaja. Ini bisa direplikasi di kabupaten lain.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved