Kupi Beungoh

Aceh Singkil : “Heer van de Kaart”, 1928, dan Iskandar Muda

Tito lupa bahwa pemerintahan pada era itu adalah era perang Belanda dengan rakyat Aceh, sehingga Belanda tak punya otoritas sipil. 

Editor: Zaenal
For Serambinews
Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Ahmad Humam Hamid*)

DALAM dua hari ini, ada berita Menteri Dalam Negeri dengan nada meyakinkan menyatakan bahwa sengketa status empat pulau di perairan Aceh Singkil sudah ada sejak tahun 1928. 

Sebuah tahun yang sangat strategis--bukan karena ada konsensus nasional, melainkan karena Hindia Belanda saat itu, katanya, sudah menggambar peta.

Maka, dengan gaya “Heer van de Kaart” yang elegan dan sedikit sombong, kita diminta percaya bahwa pulau-pulau yang tidak berpenghuni tapi penuh makna itu, telah menjadi sengketa antara “siapa”-dengan “siapa”, bahkan sebelum Indonesia menjadi negara.

Menuruti versi Menteri Tito, bahwa “debat soal empat pulau itu sudah ada sejak 1928”. 

Kalimat itu seolah ingin memberi kedalaman historis, namun justru memperlihatkan betapa dangkalnya pandangan atas sejarah sebagai arena memori dan imajinasi kebangsaan. 

Tahun 1928 itu memang tahun kolonial penuh peta dan catatan. 

Gubernur Jenderal saat itu, De Graeff, dan Asisten Residen Gooszen di Tapanuli mungkin saja pernah menerima laporan samar tentang pulau-pulau sunyi yang sesekali disinggahi nelayan.

Tito lupa bahwa pemerintahan pada era itu adalah era perang Belanda dengan rakyat Aceh, sehingga Belanda tak punya otoritas sipil. 

Tahun yang disebut Tito itu, Aceh masih dibawah otoritas penuh Gubernur Jendral B.C de Graeff d Jakarta, sementara di Tapanuli Selatan berada di bawah residen JAW Gooszen. 

Debat antara de Graeff dengan Gooszen adalah sesuatu karangan khayalan konyol. 

Residen Aceh bentukan kolonial baru lahir baru ada pada 1938, dengan residen pertamanya J.Pauw. 

Dongeng Kolonial

Pada 1928 itu belum ada yang namanya perang peta antara sesama Belanda, karena kawasan yang bernama “Sumut” hari ini sudah “di bawah” Belanda. 

Sementara itu di Aceh masih berlanjut perang panjang yang belum selesai. 

Penguasa perang Belanda masih belum sempat berpikir tentang pęta. 

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved