Kupi Beungoh

Aceh Singkil : “Heer van de Kaart”, 1928, dan Iskandar Muda

Tito lupa bahwa pemerintahan pada era itu adalah era perang Belanda dengan rakyat Aceh, sehingga Belanda tak punya otoritas sipil. 

Editor: Zaenal
For Serambinews
Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Di sinilah terang bernderang, Tito berpikir “absurd” dan “khayali”.

Maka  cerita Menteri Tito, jika dibacakan di ruang kelas sekolah dasar, mungkin akan menimbulkan senyum geli. 

Ia mempersembahkan sebuah dongeng kolonial baru yang unik. 

Ia tak sadar telah menggambarkan dirinya sebagai pribadi yang terbelah. Tito yang lulusan doktor sebuah kampus terhebat di Asia Tenggara telah kehilangan total kejujuran akademiknya.

Kenapa? karena ia setelah sepuluh tahun menjadi pejabat publik- kepala birokrat yang bertransformasi, dan kemudian sangat gemar dengan warisan peta warisan Belanda dan cara berpikir pejabat kolonial.

Alih-alih posisi yang didudukinya menjadi pemegang akal sehat publik, ia justeru nampaknya lebih nyaman berperan “Heer Van de Kaart”- sang tuan peta yang memandang republik jauh dari Jakarta. 

Baginya laut adalah sekat, bukan ruang hidup.

Tapi apakah memang benar dari arsip-arsip itu, Tito menggali otoritas? 

Alih-alih membaca sejarah sebagai proses berlapis yang ditenun oleh pengalaman rakyat, ia malah merujuk pada coretan peta buatan tuan-tuan Belanda. 

Dan bukan tidak mungkin telah dikarangnya sendiri untuk kebutuhan narasi pemindahan pulau pulau Singkil itu.

Padahal, kalau semangatnya memang mau historis, maksudnya berpegang dengan teguh kepada logika historis kenapa berhenti di 1928? 

Kenapa tidak langsung ke era Sultan Iskandar Muda--yang pada abad ke-17 sudah mengkonsolidasikan kekuasaan Aceh hingga ke pantai barat Sumatera?

Di sana, kekuasaan bukan dipaku dengan patok koordinat, melainkan dengan relasi dagang, bahasa, hukum adat, dan jaringan kesultanan. 

Bukankah narasi Tito  lebih “berkebangsaan” jika yang digunakan adalah “kartografi sosial Iskandar Muda”? 

Dipastikan kartografi raja pribumi itu jauh lebih cair dan bernafas daripada garis-garis kaku buatan kepala pengukuran kolonial. 

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved