Opini

Tol Sibanceh dan Napak Tilas Tuanku Hasyem Banta Muda

jauh lebih dalam; jejak langkah seorang panglima besar yang pernah menapaki rute ini dalam perjuangan menyelamatkan kelangsungan Kesultanan Aceh Daru

Editor: mufti
IST
Jam’an Gade, Pecinta Sejarah dan Kebudayaan Aceh 

Jam’an Gade, Pecinta Sejarah dan Kebudayaan Aceh

MASYARAKAT Aceh, khususnya yang berdomisili di Aceh Besar dan Pidie, patut berbangga dengan kehadiran Jalan Tol Sigli-Banda Aceh, yang juga dikenal sebagai Tol Sibanceh. Infrastruktur modern ini bukan sekadar proyek transportasi, melainkan simbol kemajuan yang secara nyata mempersingkat waktu tempuh dari Banda Aceh ke Padang Tiji, kota kecamatan yang menjadi pintu masuk Kabupaten Pidie dari arah Medan.

Sebelum tol ini hadir, perjalanan dari Padang Tiji ke Banda Aceh bisa memakan waktu hingga dua jam melalui jalan nasional yang berliku dan mendaki. Kini, dengan jarak sekitar 70 kilometer dari pintu tol Lambada Lhok hingga Padang Tiji, perjalanan hanya memakan waktu sekitar 70 menit saja. Kecepatan dan kenyamanan ini tidak hanya membawa manfaat logistik dan ekonomi, tetapi juga membuka kembali lorong-lorong sejarah Aceh yang nyaris terlupakan.

Di antara gema mesin dan deru kendaraan di atas jalan tol yang baru, terdapat gema lain yang lebih halus namun jauh lebih dalam; jejak langkah seorang panglima besar yang pernah menapaki rute ini dalam perjuangan menyelamatkan kelangsungan Kesultanan Aceh Darussalam. Dialah Tuanku Hasyem Banta Muda, seorang tokoh sentral dalam sejarah Aceh yang peran dan pengorbanannya layak dikenang sepanjang masa.

Tuanku Hasyem Banta Muda lahir pada tahun 1834 di Gampong Lambada Lhok, yang kini berada dalam wilayah Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar. Beliau adalah anak sulung dari tiga bersaudara, berasal dari garis keturunan bangsawan dan pejuang. Ayahnya, Laksamana Tuanku Abdul Kadir, wafat saat bertugas di Pulau Kampai pada tahun 1850.

Tidak lama kemudian, Sultan Alaiddin Ibrahim Mansyur Syah mengangkat Hasyem menggantikan ayahnya sebagai wali nagroe wilayah Sumatera Timur, mencakup Tamiang, Langkat, Serdang, dan Deli. Kepemimpinannya yang bijak dan tegas dalam menghadapi infiltrasi Belanda membuatnya kemudian diangkat menjadi Panglima Besar Aceh pada tahun 1853.

Beliau tak hanya ahli dalam peperangan, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan rakyat. Usaha penanaman lada dan tembakau dikembangkan secara besar-besaran demi meningkatkan pendapatan masyarakat serta memperkuat devisa kerajaan. Para pedagang Aceh bahkan menempatkan agen perwakilan dagang di Pulau Pinang, yang dulunya merupakan bagian dari kekuasaan Kesultanan Aceh.

Pada tahun 1870, ketika Sultan Alaiddin Ibrahim Mansyur Syah wafat dan putra mahkota Mahmud Syah masih dianggap terlalu muda, kekosongan kekuasaan mengancam stabilitas kerajaan. Di tengah krisis tersebut, tekanan eksternal pun datang. Perjanjian Sumatera Treaty antara Inggris dan Belanda menggugurkan jaminan kedaulatan Aceh yang sebelumnya tertuang dalam London Treaty 1824. Situasi ini membuka jalan bagi Belanda untuk melancarkan agresi militer ke Aceh.

Para pembesar dan ulama Aceh lalu bermusyawarah dan menunjuk Tuanku Hasyem untuk naik tahta. Namun, beliau dengan tegas menolak. Dalam pandangannya, lebih mulia menjadi pelindung yang setia daripada raja yang duduk di singgasana. Beliau tetap memegang peran sebagai Panglima Besar, dan Mahmud Syah dinobatkan sebagai Sultan.

Agresi pertama Belanda ke Aceh pada Maret 1873 di bawah komando Jenderal Kohler berakhir tragis. Kohler tewas ditembak pejuang Aceh di pelataran Masjid Raya Baiturrahman. Meski Belanda kemudian datang lagi dalam agresi kedua awal 1874 dan berhasil menduduki ibu kota, mereka menemukan istana kosong. Tuanku Hasyem telah lebih dahulu menyelamatkan Sultan Mahmud Syah ke Leung Bata. Sayangnya, tak lama setelah itu sang Sultan wafat karena kolera yang disinyalir disebar oleh Belanda sebagai senjata biologis.

Untuk kedua kalinya, para pemuka negeri meminta Hasyem menjadi Sultan, namun beliau kembali menolak. Sebagai gantinya, beliau mengangkat cucu Sultan terdahulu, Muhammad Daud Syah, yang saat itu baru berusia tujuh tahun. Penobatan berlangsung pada 26 Desember 1878 di Masjid Indrapuri. Sejak saat itu, Tuanku Hasyem bertindak sebagai wali negara dan pembimbing Sultan cilik itu.

Pasca-penobatan, dalam sebuah ekspedisi yang penuh risiko, Tuanku Hasyem membawa Sultan dan rombongan melewati belantara Seulawah, dari Indrapuri menuju Padang Tiji, hingga akhirnya tiba di Keumala Dalam, Pidie. Rute yang mereka tempuh selama tiga hari dan tiga malam melintasi jalur yang kini hampir sejajar dengan jalur Tol Banda Aceh–Sigli. Napak tilas ini bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan perjalanan menyelamatkan eksistensi bangsa.

Saksi sunyi perjuangan

Perjuangan Tuanku Hasyem tidak berhenti di situ. Tahun 1891 menjadi tahun duka bagi Aceh setelah wafatnya dua tokoh penting, Teungku Chik di Tiro dan Panglima Polem. Melihat peluang tersebut, Belanda mencoba menawarkan perdamaian melalui utusan dari Johor dan Selangor. Namun, dengan penuh martabat dan kecerdasan diplomasi, Tuanku Hasyem menolak. “Bagaimana mungkin dua kerajaan yang telah tunduk kepada Inggris menengahi dua kerajaan yang masih merdeka?” katanya. Jawaban itu mencerminkan ketegasan prinsip beliau terhadap kedaulatan.

Ketika Sultan Muhammad Daud Syah memasuki usia dewasa pada tahun 1894, tampuk kekuasaan pun diserahkan sepenuhnya kepada sang Sultan. Tuanku Hasyem lalu mengundurkan diri dan menetap di Padang Tiji, mengisi hari-harinya dengan mengajar agama serta terus menyusun strategi perlawanan. Beliau wafat pada 22 Januari 1897 dan dimakamkan di sebelah selatan Masjid Tuha Padang Tiji, tempat yang kini menjadi saksi sunyi semangat perjuangannya.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved