Opini
Otsus, Qanun Jinayat dan Rancangan KUHAP
rakyat Aceh sudah memperjuangkan pelaksanaan syariat Islam di Aceh, sejak tahun-tahun pertama di awal kemerdekaan
Prof Dr Al Yasa` Abubakar MA, Dosen UIN Ar-Raniry dan anggota MPU Aceh
SEBAGAIMANA kita tahu, rakyat Aceh sudah memperjuangkan pelaksanaan syariat Islam di Aceh, sejak tahun-tahun pertama di awal kemerdekaan, antara lain melalui upaya pembentukan Provinsi Aceh. Ketika provinsi ini dihapus, rakyat Aceh menolak dan melakukan pemberontakan pada tahun 1953 yang baru dapat diselesaikan pada tahun 1962.
Di antara hasil perjuangan ini adalah pemberian keistimewaan kepada Aceh dalam tiga bidang: agama, pendidikan dan adat, melalui Keputusan Wakil Perdana Menteri, tahun 1959. Tetapi keistimewaaan ini tidak dapat diisi di lapangan, karena keputusan politik tersebut tidak ditindaklanjuti dengan pengesahan peraturan sebagai dasar hukum pelaksanaannya.Reformasi 1998 membawa perubahan politik penting di Indonesia. Terjadi amandemen UUD yang antara lain mengakui adanya daerah istimewa.
Di tingkat Aceh, DOM yang diterapkan sekitar satu dekade sebelumnya dicabut, dan muncul usul agar kemelut Aceh diselesaikan melalui jalan damai. Anggota DPR asal Aceh mengajukan usul inisiatif agar keistimewaan Aceh ditindaklanjuti dengan pembuatan UU sebagai landasan hukumnya. Pada akhirnya setelah 40 tahun menunggu, disahkan UU 44/99 sebagai landasan bagi pelaksanaan keistimewaan Aceh.
UU ini menetapkan Perda sebagai wadah pelaksanaan keistimewaan. Keadaan ini disyukuri karena apa yang diperjuangkan sejak awal kemerdekaan pada akhirnya diakui negara sebagai sesuatu yang sah. Di pihak lain, kehadiran UU ini belum dapat menutup “luka yang masih menganga” karena izin pelaksanaan keistimewaan melalui Perda menjadikannya tidak punya makna. Isi Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, sehingga Perda yang berisi keistimewaan pun tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Ini berarti, keistimewaan Aceh hanyalah nama, karena isinya tidak lebih banyak dari apa yang menjadi kewenangan daerah lain yang tidak istimewa. Keadaan ini menimbulkan kekecewaan baru di tengah masyarakat, bahwa Pemerintah dan DPR tidak secara sungguh-sungguh ingin memberikan keistimewaan kepada Aceh. Apa yang diberikan setelah empat puluh tahun menunggu hanyalah nama, tidak punyai isi.
Hal ini kelihatannya disadari oleh Pemerintah dan DPR, sehingga atas desakan MPR, pada tahun 2001 disahkan UU 18/01 yang memberikan otonomi khusus (Otsus) kepada Aceh. Dengan demikian, Aceh di samping menjadi daerah istimewa, juga menjadi daerah Otsus. Dalam UU ini Aceh antara lain diberi izin menjadikan syariat sebagai hukum positif, yang akan dijalankan oleh Mahkamah Syar`iyah (MS). UU ini memberi kewenangan yang lebih luas kepada Aceh dibanding UU 44/99. Tetapi mungkin karena terburu-buru dalam merumuskannya (karena diperintahkan oleh MPR), kewenangan luas yang diberikan ini tidak dirumuskan secara jelas sehingga tetap sukar untuk dijalankan.
Namun begitu karena pengawalan anggota DPR dan dorongan Pemerintah Aceh yang relatif sangat kuat, maka UU yang disahkan sesudahnya tetap sejalan bahkan menguatkan Otsus tersebut. Beberapa peraturan untuk pelaksanaannya pun berhasil disusun dan disahkan. UU Kejaksaan (UU 16/04) menguatkan dan mendukung kehadiran UU 18/01. Dalam Pasal 39 disebutkan bahwa jaksa sebagai penuntut umum, akan menangani perkara yang diatur dalam Qanun Aceh.
Revisi UU Kehakiman menetapkan MS berada dalam lingkungan Peradilan Agama. Presiden melalui Peraturan Presiden mengubah Pengadilan Agama yang ada di Aceh menjadi MS. Kewenangan MS ditetapkan meliputi bidang perdata keluarga, perdata kehartabendaan dan pidana. Ketua Mahkamah Agung mengalihkan kewenangan mengadili perkara yang sudah diatur dalam Qanun Aceh dari Pengadilan Negeri ke MS. Pengadilan Agama tidak ada lagi di Aceh. Tugas-tugasnya diserahkan ke MS.
Keadaan berubah lagi setelah MOU Helsinki ditandatangani (2005), yang melahirkan UU 11/06. Dalam UU ini secara jelas disebutkan bahwa syariat menjadi hukum positif di Aceh dalam bidang hukum keluarga, hukum perdata kehartabendaan dan hukum pidana, termasuk hukum acaranya melalui qanun-qanun. Pelaksanaan Syariat melalui qanun dinyatakan sebagai sub sistem dalam sistem peradilan nasional. Adapun pelaksanaan qanun sebagai hukum positif di Aceh tetap dijalankan oleh Pemerintah Pusat.
Untuk Qanun Jinayat, penyidikan dilakukan oleh Kepolisian, penuntutan oleh Kejaksaan, pemeriksaan dan pemutusan perkara oleh MS. Keberadaan Qanun sebagai wadah untuk melaksanakan syariat sebagai hukum positif di Aceh oleh UU 18/01 semakin dikuatkan oleh UU 11/06. Kelihatannya cara ini ditempuh dan disepakati oleh Pemerintah dan DPR karena tidak ada cara lain yang lebih mungkin dan lebih baik untuk menampung keinginan rakyat Aceh menjalankan Syariat sebagai hukum positif untuk mereka.
Setelah ini Pemerintah Aceh menggabungkan dan menyempurnakan beberapa qanun yang sebelumnya sudah berlaku, menjadi Qanun Jinayat (2014) dan Qanun Acara Jinayat (2013). Alhamdulillah qanun ini berjalan dengan baik di tengah masyarakat. Digunakan oleh aparat penegak hukum sebagai hukum positif dalam menangani perkara jinayat, yang sebagiannya berlanjut sampai ke tingkat kasasi.
Tidak ada pengakuan
Pada tahun 2023 yang lalu disahkan KUHP Nasional sebagai pengganti KUHP warisan Belanda. Hanya saja dalam KUHP baru ini tidak disebutkan keberadaan Hukum positif dalam bentuk Qanun berdasar Syariat yang berlaku di Aceh. Keadaan ini menjadi tanda tanya dan bahkan menimbulkan kegundahan di kalangan para tokoh, ulama, cendekiawan dan para pengamat yang peduli. Jangan-jangan KUHP Nasional yang baru ini secara diam-diam akan digunakan pihak yang tidak senang kepada otonomi khusus Aceh untuk menggembosi dan bahkan menghapus keberadaan hukum positif berdasar Syariat yang diberikan kepada Aceh. Kalau sebelumnya UU Kejaksaan menguatkan kehadiran UU 18/01, maka KUHP Nasional sama sekali tidak menyinggungnya.
Sekarang ini (Juli 2025) Pemerintah dan DPR sedang membahas Rancangan KUHAP baru sebagai pengganti KUHAP yang disahkan pada awal 1980-an yang lalu. Dalam naskah yang penulis baca tidak ada pengakuan tentang keberadaan Qanun Jinayat di Aceh. Bahkan dalam Pasal 2 hasil pembahasan rancangan tersebut, dinyatakan Hukum acara pidana mesti ditetapkan melalui undang-undang.
Damai bukan Sekadar Indah, tapi juga Mahal |
![]() |
---|
Kawasan Strategis Regional dan Keterbukaan Ekonomi Aceh |
![]() |
---|
Harapan Kepada 17 Guru Besar UIN Ar-Raniry, Penuntun Cahaya Bagi Umat |
![]() |
---|
Humas dan Media di Era Digital, Ibarat Jembatan dan Jalan Membangun Komunikasi dan Citra Institusi |
![]() |
---|
Ayah, Pulanglah dari Warung Kopi, Semai Cinta di Rumah |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.