Kupi Beungoh

INDONESIA, RUDAL, DONO WARKOP DAN RASA LAPAR

Kita sekarang punya presiden yang juga mantan Menteri Pertahanan. Seorang jenderal, yang akrab dengan peta perang daripada brosur gizi anak sekolah.

Editor: Agus Ramadhan
IST
Mustafa Husein Woyla 

(Refleksi Perang Iran–Israel: Kita Punya Apa?)

*) Oleh: Mustafa Husen Woyla 

Negeri ini, yang azannya berkumandang lima kali sehari tapi utangnya bertambah enam kali sehari, sedang menyimpan sebuah ambisi mulia: mandiri dalam pertahanan.

Bukan ambisi yang diumumkan dalam pesta pora politik atau debat Capres yang penuh sorak dan sinisme, tapi di balik laboratorium sunyi yang AC-nya mendengkur seperti gajah pensiun dan komputer tuanya sering ngadat kalau hujan deras.

Ketika Iran dan Israel saling hantam rudal dan drone, kita di sini masih asyik promosi telur rebus gratis dan aplikasi bansos.

Iron Dome kerja lembur, radar saling memburu, sistem pertahanan diuji di langit.

Sementara kita? Lagi sibuk utak-atik daftar penerima beras, yang sebulan kemudian ternyata nama-namanya dobel.

Ini bukan soal ingin ikut-ikutan perang. Kita bukan pengepul konflik. Tapi zaman sedang berubah. Dunia tidak lagi berputar di atas diplomasi manis dan pidato UN yang penuh metafora.

Hari ini, kekuatan bukan soal jumlah pasukan, tapi kecepatan tombol dan akurasi sinyal. Maka pertanyaannya sederhana, tapi mengganggu tidur siang kita: Indonesia punya apa?

Jenderal di Meja Presiden

Kita sekarang punya presiden yang juga mantan Menteri Pertahanan. Seorang jenderal, yang lebih akrab dengan peta perang daripada brosur gizi anak sekolah.

Beliau paham betul isi gudang senjata kita, tahu mana rudal yang tajam dan mana yang cuma pajangan upacara.

Logikanya, bila kita serius ingin bangsa ini tetap merdeka, maka pertahanan adalah tiang utamanya.

Dan dalam dunia yang hobi menjajah lewat sinyal dan satelit, tiang itu bukan lagi bambu runcing atau tank bekas era Perang Dingin, tapi drone, radar, siber, dan sistem serangan presisi.

Maka masuk akal bila ada rakyat kecil berbisik:

"Pak Presiden, program telur rebusnya ditunda dulu. Mari kita beli radar dulu, rudal dulu, drone dulu. Anak kami nanti boleh makan singkong, asal jangan dikuasai Tiongkok, disadap Amerika, atau dijajah oleh sinyal asing.”

Ini bukan pengabaian pada gizi. Tapi soal prioritas. Karena bila negara jebol, tak ada gunanya semua menu sehat itu. Semua akan hanyut bersama peluru yang tak kita punya untuk membalas.

Laboratorium yang Lelah Tapi Setia

Di pojok-pojok negeri, ada secercah harapan yang kerap kita abaikan. PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia, BRIN, semuanya menyimpan potensi, meski kadang lebih sering viral karena telat bayar gaji daripada sukses uji roket.

Tapi jangan salah. Di sanalah sebenarnya fondasi pertahanan Indonesia sedang dibangun. Pelan. Diam. Seperti menanam cabai di tengah musim banjir. Tak mudah, tapi siapa tahu bisa pedas di saat genting.

Kita punya ilmuwan, teknokrat, dan anak-anak muda jenius. Sayangnya, mereka keburu dikalahkan oleh narasi “influencer adalah pekerjaan masa depan.” Negara-negara maju membangun teknokrat militer. Kita malah berlomba-lomba bikin konten prank.

Damar, Rudal, dan Dono Warkop

Lihatlah Damar Canggih Wicaksono. Putra mendiang Dono Warkop ini bukan pelawak, tapi ahli nuklir internasional. Lulus cum laude dari Teknik Nuklir UGM.

S2 dan S3 dengan beasiswa dari pemerintah Swiss di dua kampus elite: EPFL dan ETH Zürich.

Ia meneliti di reaktor nuklir Leibstadt, di Paul Scherrer Institut, hingga menjadi peneliti utama di HZDR, Jerman.

Tahun 2015, ia meraih Best Student Paper Award di Chicago. Semua itu tanpa pernah jadi bintang iklan.

Kalau anak Dono bisa, kenapa negara tidak?

Sudah saatnya kita cetak lebih banyak “Damar-Damar” lain. Miskinkan koruptor. Sita hartanya. Alihkan anggaran seminar ke laboratorium.

Tutup proyek mercusuar. Buka ruang bagi teknokrat. Bangun ulang sekolah teknik militer. Buat generasi ahli drone, nuklir, siber, dan penyusup server.

Kita Pernah Hebat

Negeri ini dulu pernah punya semangat besar. Soekarno membangun roket “Kartika I”, bikin pesawat Nurtanio, bercita-cita punya bom atom, walau baru sempat bikin maketnya.

Tapi semangat itu padam. Diganti oleh budaya “impor lebih mudah”. Bahkan peluru pun kita minta diskon.

Sekaranglah waktunya semangat itu dibangkitkan. Karena teknologi bukan lagi milik segelintir negara. Akses terbuka. Yang diperlukan hanya satu: kemauan politik dan moral elite.

Kita terlalu lama jadi penonton. Sudah saatnya jadi pemain. Karena negara besar tidak dibangun dari belanja, tapi dari produksi.

Saatnya Menghitung Mundur

Hari ini, AK-47 hanya cocok jadi pajangan museum. Tank adalah sasaran empuk drone. Kapal selam bisa dilumpuhkan oleh virus komputer. Perang sudah berubah.

Pertahanan bukan lagi siapa punya peluru paling banyak, tapi siapa bisa menghancurkan pusat komando musuh dari ruang server ber-AC di Cikarang.

Kita tidak boleh kalah oleh algoritma. Tak bisa hanya bersandar pada pidato dan baliho.

Karena nanti, ketika konflik menghampiri wilayah kita dan itu hanya soal waktu yang bisa menyelamatkan bangsa bukan nasi kotak, tapi kemampuan balas menyerang.

Singkong, Drone, dan Kemerdekaan

Rakyat Indonesia bukan rakyat manja. Mereka akan rela makan singkong asal tahu negaranya sedang membangun kekuatan.

Mereka akan ikhlas bayar pajak lebih tinggi asal yakin uangnya dipakai untuk laboratorium, bukan hotel tempat rapat.

Karena yang lebih penting dari kenyang adalah tetap merdeka. Dan yang lebih mengerikan dari rasa lapar adalah rasa kalah di tanah sendiri.

Dan sakit itu seperti Mega Proyek IKN yang sudah dibangun tapi belum ada arah pemanfaatannya. 

Akhir Kata, jika generasi sekarang tidak mulai belajar membuat rudal, generasi berikutnya hanya akan belajar jadi pelayan.

Dan jika kita gagal membangun pertahanan digital, maka anak cucu kita hanya akan menikmati kemerdekaan sebagai narasi, bukan kenyataan.

Negeri ini terlalu luas untuk dibela dengan pistol, terlalu berharga untuk dijaga dengan pidato.

Ia butuh rudal, mata-mata, drone, dan yang paling penting pemimpin yang berani mengubah kenyang menjadi kekuatan.

Maka mari kita tunda dulu telur rebus dan nasi kotak. Karena dalam situasi global seperti sekarang, yang lebih penting dari kenyang adalah tetap punya negara.

 “Lebih baik kita lapar di negeri sendiri, daripada kenyang di bawah kendali orang.” (*)

 

*) PENULIS adalah Pengamat Bumoe Singet dan Pencinta Ahlul Bait

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved