Kupi Beungoh

Retaknya Narasi Media Barat

Maka, ketika Amerika menggempur Irak di bawah Saddam Husein, dengan dalih senjata pemusnah massal, dunia digiring untuk percaya.

Editor: Faisal Zamzami
ist
Akhsanul Khalis - Direktur Bidang Politik dan Kebijakan Publik, Lembaga ESGE Study Center 

Kita, yang tak memanggul senjata, justru lebih sering terlibat di medan kedua: kamera ponsel, sorotan video, gambar dan caption.

 Inilah zaman di mana perang tak lagi harus menunggu lagi wartawan berseragam pers untuk menyampaikan berita, stempel redaksi, tak lagi bergantung pada keputusan ruang editorial, kamera ponsel menggantikan kamera profesional.

Era dimana kehancuran perang bisa ditampilkan dari bilik tenda pengungsi di Rafah, seorang remaja mengunggah video di TikTok, atau dari rekaman drone amatir yang bocor ke Twitter.

Kita menyaksikan sendiri, dalam waktu nyata, bagaimana rudal jatuh di permukiman, bagaimana anak-anak menangis di reruntuhan, kondisi seorang ibu menjerit kehilangan keluarganya. 

Jurnalisme warga melampaui agenda setting ruang redaksi. Media sosial, ironi yang tak terelakkan karena diciptakan di jantung kapitalisme digital Amerika, justru menjadi alat melawan propaganda Barat.

Facebook, Instagram, Twitter atau X, YouTube, kecuali TikTok semua adalah produk ekosistem digital Amerika. Namun hari ini, justru menjadi ruang paling vokal menampung jeritan rakyat Gaza, Beirut, Aleppo, Damaskus, atau Kabul. 

Ini bukan kemenangan final. Algoritma media sosial tetap bekerja lewat sensor tak terlihat. Mereka menyaring, membatasi jangkauan, dan mengarahkan arus empati publik sesuai logika pasar.

Foto dan video yang tak sesuai dengan kepentingan geopolitik Barat. Narasi yang mendukung perlawanan Palestina, gambar dan video korban serangan Israel  bisa tenggelam. 

Kendati sensor masih dilakukan, dan algoritma tetap dikendalikan, postingan warga sipil, meski diturunkan, bisa muncul kembali di kanal lain. Kebenaran tak lagi bisa dibungkam hanya dengan satu klik.

Tentu, ini bukan dunia utopis. Disinformasi juga menyebar cepat. Propaganda digital tetap menjadi senjata. Tapi setidaknya, ruang untuk bertanya kini lebih luas, tembok sensor tidak lagi setebal dahulu.

 Kita bisa menguji, membandingkan, dan menolak untuk percaya begitu saja. Kita tak lagi hanya mendengar suara dari Washington, Tel Aviv, atau London. Kita juga mendengar dari Rafah, lebanon, San’a dan Aleppo.

Kekuatan viral media sosial, saat ini justru menjadi satu-satunya harapan untuk mereka yang tak punya suara.

 Palestina, yang dahulu hanya disebut sambil lalu di meja diplomasi, kini menjadi percakapan global, menggerakan kemarahan warga Eropa dan Amerika berkat video amatir dan testimoni korban perang.

 Keadilan, yang dahulu bergantung pada keberpihakan media Barat, kini bisa diperjuangkan dari kolom komentar dan tren tagar.

Baca juga: Warga Iran Khawatir Netanyahu Ingin Jadikan Iran Seperti Libya, Irak dan Afghanistan

Persepsi Kemanusian. 

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved