Kupi Beungoh
Retaknya Narasi Media Barat
Maka, ketika Amerika menggempur Irak di bawah Saddam Husein, dengan dalih senjata pemusnah massal, dunia digiring untuk percaya.
Oleh: Akhsanul Khalis*)
Perang Israel-Iran atau apapun nama dan wajahnya hari ini, bukan sekadar baku hantam antar negara, perang udara antar misil dan drone, tetapi juga bentrokan sengit di dunia algoritma. Ada perang narasi yang membentuk persepsi. Ini bukan hanya kisah siapa yang menyerang duluan, tetapi siapa yang lebih dahulu mendapat simpati netizen
Inilah realitas baru yang dulu tak dikenal, misalnya ketika Amerika menginvasi Irak tahun 2003. Saat itu, narasi perang dimonopoli oleh raksasa-raksasa media seperti CNN, BBC, Fox News, atau The New York Times, yang diam-diam, berdiri tegak di bawah bayang-bayang sang negara.
Noam Chomsky, ilmuwan keturunan Yahudi Amerika, sosok paling vokal yang mengkritik kebijakan global Gedung Putih dan Zionisme, dalam How the World Works dan Manufacturing Consent, telah lama membongkar struktur propaganda yang menyelimuti media Barat. Media, menurutnya, tidak netral. Ia adalah alat kuasa yang menyaring informasi sesuai kepentingan geopolitik, ekonomi-politik elite.
Maka, ketika Amerika menggempur Irak di bawah Saddam Husein, dengan dalih senjata pemusnah massal, dunia digiring untuk percaya. Warga Amerika, alih-alih menentang, justru mendukung sepenuh hati.
Kamera wartawan tak hanya merekam mayat sipil atau pasar yang luluh lantak. Yang mereka sajikan juga adalah narasi patriotik: Amerika sebagai penyelamat dunia.
Perbedaan diksi adalah perbedaan legitimasi moral. Inilah yang dikritik juga oleh akademisi seperti Edward Said dalam Covering Islam, bahwa dunia Timur seringkali direduksi menjadi barbar, emosional, dan tidak rasional, sedangkan Barat adalah pembawa damai dan rasionalitas.
Kritik senada juga dilontarkan, Ziauddin Sardar, dalam berbagai tulisannya mengenai orientalisme modern dan budaya media, menegaskan bahwa Barat tidak hanya memberitakan dunia Timur, tetapi juga membentuk dan membingkainya sesuai selera kekuasaan.
Timur, kata Sardar, selalu diletakkan dalam posisi "yang lain": irasional, kekerasan, dan tidak stabil. Maka tak heran jika pemberitaan media Barat tentang Timur Tengah penuh dengan asumsi bias. Kekerasan yang dilakukan Israel disebut pertahanan diri. Kekerasan yang dilakukan perlawanan Palestina disebut terorisme.
Media Barat punya sejarah panjang dalam membentuk opini yang bias, bersikap standar ganda. Ketika Israel mengebom Gaza, framingnya adalah "Israel responds to Hamas". Tapi ketika Hamas menyerang, frasanya menjadi "Hamas attacks Israel". Respons adalah kata yang penuh legitimasi. Serangan, sebaliknya, adalah simbol agresi.
Ketika warga Israel terluka dan jadi sandera, media Barat menampilkan wajah-wajah mereka dalam close-up, lengkap dengan latar keluarga dan kisah personal. Tetapi ketika warga Palestina tewas, mereka menjadi angka: "10 orang tewas, termasuk perempuan dan anak-anak." Tak ada nama, tak ada cerita. Hanya statistik.
Baca juga: Perang Global dan Ketahanan Lokal Aceh
Era Medsos
Kini, kedigdayaan media mainstream Barat itu mulai goyah. Tembok narasinya mulai retak pelan-pelan, bukan karena media Barat berubah, tetapi karena publik mengambil alih panggung.
Narasi itu mulai dibongkar dari bawah. Bukan oleh elite, tapi oleh rakyat biasa. Dunia mulai melihat bahwa ada versi lain dari kebenaran, yang selama ini disembunyikan oleh narasi media Barat.
Dalam perang, selalu ada dua medan: satu di daratan, satu lagi di layar.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.