Jurnalisme Warga

Hikayat Aceh Nyaris Tak Dikenal Masyarakat Aceh, Mengapa?

Hikayat Aceh, sebuah karya tulis berkelas tinggi, hanya jadi bahan bacaan kaum elite di Kerajaan Aceh Darussalam, sejak para sultan, para menteri (waz

Editor: mufti
SERAMBINEWS/tambeh.wordpress.com
T.A. SAKTI, mantan dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala, melaporkan dari Gampong Tanjung Selamat, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar 

T.A. SAKTI, mantan dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala, melaporkan dari Gampong Tanjung Selamat, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar

UNESCO, sebuah badan Perserikatan  Bangsa-Bangsa (PBB),  sudah dua  tahun lebih (18 Mei 2023–18 Mei 2025)  mengakui Hikayat Aceh sebagai Memory  Of  The World (MoW), yaitu Warisan Budaya Dunia.  Penganugerahan itu secara umum diberikan kepada Negara Republik Indonesia dan secara khusus  kepada Provinsi Aceh.
Namun, apa yang terjadi? Sedikit pun tak tampak sambutan dari pihak yang mendapat  "anugerah”  tersebut, baik di tingkat nasional maupun daerah.

Mengapa? Hal inilah yang hendak saya lacak, walaupun belum akurat 100 persen. Segala tanggapan atau sanggahan tentu sangat saya perlukan!

Di era kerajaan

Hikayat Aceh, sebuah karya tulis berkelas tinggi, hanya jadi bahan bacaan kaum elite di Kerajaan Aceh Darussalam, sejak para sultan, para menteri (wazir, termasuk Menteri Pertahanan), panglima perang, bintara, dan hulubalang (uleebalang) di seluruh Aceh.  

Saya sengaja tidak memasukkan keuchik (kepala kampung), sebab masih ragu saya. Berpedoman pada karya Tajussalatin (Mahkota Raja-Raja, 1603) yang beredar  hanya sebatas uleebalang saja.

Empat pejabat  disebut terakhir, mulai dari Menteri Pertahanan adalah jabatan militer mulai dari pusat sampai ke daerah.  Keempat para pejabat ini  sangat penting menguasai  isi Hikayat Aceh dalam upaya menyugesti, yaitu menyebarkan semangat juang kepada para prajurit mereka.

Dalam perkembangan awal Kerajaan Aceh Darussalam (1514 M) hingga Sultan Iskandar Muda (1607–1636 M), kebijakan utama para sultan Aceh adalah memerangi penjajah Portugis yang hendak menjajah kerajaan-kerajaan di Nusantara (Asia Tenggara).

Denys Lombard, sejarawan kawakan asal Prancis, dalam disertasinya yang telah diterjemahkan menulis, Kerajaan Aceh--Zaman Sultan Iskandar Muda (1607–1636) dimuat daftar penyerangan Aceh ke Malaka (sekarang:   di Malaysia), yang sudah dijajah Portugis (1511), yaitu  tahun 1537, 1547, 1568, 1573, 1575, 1582, 1587, 1606, dan 1629 M (halaman 131).  Dalam buku Sejarah Aceh, peristiwa itu disebut “Perang 120 tahun Aceh– Portugis”.

Hanya 15 tahun (1589-1604), masa Pemerintahan Sultan Alaiddin Saidil Mukammil, kakek Sultan Iskandar Muda, hubungan Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Portugis dalam kondisi bersahabat dan harmonis.
Jadi, dapat disimpulkan  bahwa Hikayat Aceh memang buku bacaan para petinggi Kerajaan Aceh Darussalam, bukan bacaan rakyat awam di seluruh Aceh.

Sumber kajian 

Para orientalis (pakar ilmu dunia Timur) dan ilmuwan  telah banyak mengkaji Hikayat Aceh. Mayoritas mereka warga negara  Belanda. Tujuan penelitian  mereka  bermacam-macam, misalnya untuk kepentingan misionaris atau untuk kehebatan  negerinya  sendiri.  

Semula semua karya tulis berbahasa Melayu, termasuk Hikayat Aceh  yang berada di Perpustakaan Kerajaan Belanda. Kemudian, tahun  1871  dipindahkan ke Perpustakaan Universitas Leiden untuk keperluan  pendidikan bagi pegawai-pegawai yang bakal dikirim ke Hindia Belanda (Indonesia).

Awal mula dijumpai Hikayat Aceh dalam catatan bangsa Belanda adalah dalam kumpulan buku  Isaak de St. Martin, seorang anggota Dewan Hindia tahun 1696. Kemudia,  koleksi  ini dipelajari Dr. F. De Haan, yang menghasilkan “Tijdschrift Bataviasch Genootschap”(Majalah Perkumpulan Batavia), jilid 42.

Dalam daftar itu pada nomor 15 halaman 299  tercantum, “Sebuah kronika Melayu mengenai raja-raja Aceh  dua kali. Tahun 1675, seorang  Belanda bernama Leydecker, ditugaskan ke Hindia Belanda. Tugasnya adalah menerjemahkan Injil ke dalam  bahasa Melayu dan menyusun sebuah Kamus   Bahasa Melayu.
Tugas Leydecker tidak selesai karena ia meninggal tahun 1701. Tahun 1723 G.H. Werndly ditugaskan Pemerintah Belanda untuk menuntaskan tugas Leydecker.

Empat puluh tahun kemudian, yaitu tahun 1763 terbitlah  di Amsterdam  hasil kerja  G.H. Werndly  yang berjudul “Maleische Spraakkunst, uit de eigen schriften der maleiers opgemaakt" (Pelajaran Bahasa Melayu, Disusun Berdasarkan Karangan-Karangan Orang Melayu).

Dalam buku ini  dicantumkan  sebuah daftar buku Melayu mengenai buku-buku yang ditulis orang Melayu.  Pada halaman 344 di bawah nomor 4 disebutkan karya-karya asal Aceh, yaitu Bustanus Salatin (Taman Raja-Raja). Di halaman 346 di bawah nomor 15 disebut Hikayat Aceh, yaitu kisah raja-raja di Aceh.
Tak lama kemudian,  semakin banyak peneliti  Belanda  yang mengutip Hikayat Aceh untuk memperkuat hujjah/alasan bagi disertasi mereka. Misalnya, Juynboll telah mengutip Hikayat Aceh untuk beberapa bagian karya ilmiahnya.

Orientalis  Van der Linden juga  menulis tentang Hikayat Aceh dalam disertasi yang berjudul “Pengaruh Eropa dalam Literatur Melayu”. Dia dengan mendalam menulis tentang kedatangan utusan-utusan Portugis ke Aceh yang disinggung  dalam Hikayat Aceh.

Setelah Perang Dunia II usai, terbit pula disertasi Van Nieuwenhujze   dengan judul “Samsu’l Din van Pasai” (Syamsuddin dari Pasai”. Dalam disertasi itu dicantumkan satu bab penuh isi Hikayat Aceh.

Peneliti pribumi  yang pernah meneliti dengan cermat Hikayat Aceh adalah Husein Djajadiningrat dan Teuku Iskandar.  Husein Djajadiningrat masih buat kepentingan Belanda, karena ia asisten Snouck Hurgronje.  
Hasil karyanya yang bersumberkan  Hikayat Aceh dan karya berbahasa Melayu lainnya berjudul “Critisch Overzisct  van de in Maleische  Werken vervatte Gegevens over de Geschiedenis van het Soeltanaat van Atjeh” (Tinjauan Kritis  Sejarah Kesultanan Aceh Berdasarkan Sumber-Sumber Melayu).

Dalam karya ini Husein Djajadiningrat  menumpahkan perhatian khusus kepada Hikayat Aceh. 
Sesudahnya, makin bertambah  penulis lain yang mengkaji Hikayat Aceh, misalnya penulis Mees yang pendahuluan  kajiannya banyak mengutip  Hikayat Aceh untuk disertasinya yang berjudul “De Kroniek van Koetai” tahun 1935.

(Lihat: Seri Penerbitan Museum Aceh Nomor 17 yang berjudul “Hikayat Aceh ” (Kisah Kepahlawanan Sultan Iskandarmuda), yang merupakan disertasi Teuku Iskandar di Universitas Leiden, Belanda, yang telah diterjemahkan oleh  Aboe Bakar Bsf, 1986, halaman 2 dan 5).
Menelisik kebangsaan para orientalis dan ilmuwan yang  meneliti Hikayat Aceh adalah sebagai berikut:

1) Anthony Johns (Australia);
2) Theodor  Willem Juynboll  (Belanda);
3) Christiaan  Antonie Olivier van Nieuwenhujze (Belanda);
4) Van der Linden (Belanda);
5) Husein Djajadiningrat (pribumi, tapi demi Belanda);
6) Teuku Iskandar (Indonesia-Aceh);
7) Hans Penth (Jerman);
8) Vladimir Braginsky (Rusia);
9) Dll.

Ternyata, mayoritas mereka bukan bangsa Indonesia (Aceh), melainkan  berkewargaan asing. Sebagaimana dimaklumi bahwa hasil penelitian yang dimaksudkan untuk disertasi, penyebarannya tidaklah meluas. Paling-paling hanya dimiliki sang peneliti sendiri yang sudah bergelar “doktor” dan dua buah disertasi lagi disimpan di perpustakaan fakultas dan universitas tempat kuliah sang doktor tadi.

Nah, itulah sebabnya Hikayat Aceh nyaris tak dikenal masyarakat Aceh. Demikianlah sebab musababnya!
Namun, bila ada kepedulian pasti banyak jalan keluarnya. Antara lain dengan menerbitkan buku-buku yang tersebut di dalam reportase ini. Akan tetapi, pihak mana yang bertanggung jawab? Tentulah pihak Pemerintah Aceh yang mengelola dana otonomi khusus (otsus) yang “siems” alias banyak sekali itu!

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved