Kupi Beungoh

Prabowo–Mualem: Otonomi Asimetris dan “Geografi Kebangsaan” - Bagian II

Dengan UUPA, pusat memberi ruang, dan Aceh mengisinya dengan makna dan semangat. Ini adalah bentuk kepercayaan timbal balik

|
Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Di lain pihak, Mualem harus mampu membuktikan bahwa kepercayaan pusat kepada Aceh adalah modal untuk melahirkan pembangunan bermakna, bukan alasan untuk berjarak dan menyepi. 

Di sinilah geografi kebangsaan lahir — bukan sebagai konsep kaku dalam teori, melainkan sebagai denyut yang terasa di jalanan, di pematang sawah, di tepian pantai, dan di setiap ruang perjumpaan warga.

Geografi kebangsaan adalah sintesis geografi kekuasaan dan geografi kepemilikan. Ia melampaui sekadar pembagian administratif dan melintasi garis-garis formal di atas peta. 

Ini adalah geografi ruang makna, ruang di mana rakyat bisa merasa bahwa mereka bagian dari sesuatu yang lebih besar, bahwa mereka dihormati sekaligus diberi kesempatan untuk merawat tanah dan sejarah mereka sendiri. 

Di dalam geografi kebangsaan, pusat dan daerah tak berdiri berhadap-hadapan, tetapi saling bertopang dan saling menguatkan. 

Di dalamnya, perbedaan dihayati sebagai kekayaan, bukan sebagai ancaman.

UUPA adalah salah satu instrumen formal menuju geografi kebangsaan itu. 

Baca juga: Haji Uma: Bukti Sejarah Tanah Blang Padang Wakaf Kesultanan Aceh Untuk Kemakmuran Masjid Raya

Ia menjembatani geografi kekuasaan pusat — tempat hukum dan kewenangan nasional ditegakkan — dan geografi kepemilikan Aceh, di mana identitas dan aspirasi lokal bersemi. 

Dengan UUPA, pusat memberi ruang, dan Aceh mengisinya dengan makna dan semangat. Ini adalah bentuk kepercayaan timbal balik.

Bahwa pusat yakin Aceh akan tetap teguh dalam komitmen kebangsaan, dan bahwa Aceh yakin pusat akan mendengar dan menghargai kekhasan mereka.

Dalam semangat itu, Prabowo dan Mualem mesti menjadi contoh teladan. Jika mereka mampu menunjukkan bahwa kedekatan personal bisa menjelma menjadi kepercayaan politik, bahwa pertemuan dua geografi bisa melahirkan geografi baru yang inklusif dan berwawasan jauh ke depan. 

Mereka bukan hanya melayani Aceh dan Indonesia hari ini, tetapi juga generasi yang akan datang. Kepercayaan harus menjadi kata kunci. 

Kepercayaan bahwa pemerintah pusat bukan penguasa yang berjarak, melainkan mitra yang ingin melihat Aceh tumbuh dan sejahtera. 

Kepercayaan bahwa Aceh bukan hanya daerah perbatasan yang acuh, melainkan bagian inti dari rumah besar bernama Indonesia.

Baca juga: Kodam Iskandar Muda Tunggu Arahan Pusat Terkait Kepemilikan Tanah Blang Padang Banda Aceh

Sebagai putra Aceh, Mualem membawa pesan bahwa geografi kepemilikan Aceh mesti dihayati dan dihormati.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved