Kupi Beungoh
Prabowo–Mualem: Otonomi Asimetris dan “Geografi Kebangsaan” - Bagian II
Dengan UUPA, pusat memberi ruang, dan Aceh mengisinya dengan makna dan semangat. Ini adalah bentuk kepercayaan timbal balik
Ia tahu bahwa di tanah ini, sejarah perlawanan dan pengorbanan adalah bagian dari narasi kolektif, bahwa setiap jengkal tanahnya punya cerita dan makna.
Sebagai pemimpin pusat, Prabowo membawa pesan bahwa geografi kekuasaan harus mampu menyesuaikan ritme dan kebutuhan lokal, bahwa otonomi bukanlah kelemahan melainkan sumber kekuatan baru untuk memperkukuh persatuan.
Keduanya harus saling belajar dan saling memberi, agar geografi kebangsaan tumbuh sebagai lanskap baru — tempat di mana Aceh dan Indonesia bisa saling bercermin dan saling melengkapi.
Sungguh, geografi kebangsaan adalah ruang untuk mengimajinasikan ulang kebersamaan.
Ia memberi kita cara untuk melihat perbedaan bukan sebagai garis pemisah, melainkan sebagai warna-warna yang memperkaya.
Dalam ruang itu, otonomi asimetris bukanlah bentuk kelonggaran semata, melainkan pengakuan atas sejarah dan budaya yang harus dirawat dan dirayakan.
Dengan otonomi asimetris, Aceh diberi sayap untuk terbang dalam coraknya sendiri, sementara tubuhnya tetap terikat hangat dalam tubuh besar Indonesia.
Dan Prabowo, bila mau mendengar dan merasakan geografi kepemilikan Aceh melalui kehadiran dan peran Mualem, bisa menjadi Presiden yang mencatat sejarah baru.
Ia akan membuat sejarah di mana kepercayaan, kehormatan, dan keadilan menjadi suluh perjalanan menuju kesejahteraan.
Pada akhirnya, makna otonomi asimetris dan geografi kebangsaan akan diuji bukan hanya dalam pertemuan resmi dan pidato di mimbar, melainkan dalam langkah-langkah konkret di lapangan, dalam perasaan warga bahwa mereka didengar dan dihargai.
Baca juga: Blang Padang: Jalan Tengah untuk Marwah dan Keadilan Sejarah
Geografi kebangsaan akan diuji dalam kemampuan pusat untuk menahan diri agar tak terlalu mencampuri, dan kemampuan daerah untuk mengelola kewenangan secara bijak dan bertanggung jawab.
Geografi kebangsaan akan diuji dalam ketulusan dua pemimpin — Prabowo dan Mualem — untuk saling menopang dan memperkuat, agar geografi kepemilikan Aceh dan geografi kekuasaan pusat bisa tumbuh menjadi geografi kebangsaan yang hangat dan bercahaya.
Seperti samudra Aceh yang selalu bergelombang namun tetap menyatu dalam garis pantainya, begitulah hendaknya geografi kebangsaan tumbuh dan berdenyut dalam setiap nafas Indonesia.
Di sana, kita akan melihat bahwa perbedaan bukan penghalang, melainkan kekayaan; bahwa otonomi asimetris bukan jarak, melainkan jembatan.
Kita akan menyaksikan kedekatan Prabowo dan Mualem adalah contoh nyata bahwa geografi kekuasaan dan geografi kepemilikan bisa berpelukan dalam geografi kebangsaan — dan melahirkan semangat baru untuk membangun Aceh dan Indonesia menuju kesejahteraan dan kemuliaan bersama.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca artikel Kupi Beungoh lainnya di SINI
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Memaknai Kurikulum Cinta dalam Proses Pembelajaran di MTs Harapan Bangsa Aceh Barat |
![]() |
---|
Haul Ke-1 Tu Sop Jeunieb - Warisan Keberanian, Keterbukaan, dan Cinta tak Henti pada Aceh |
![]() |
---|
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik? |
![]() |
---|
Ketika Guru Besar Kedokteran Bersatu untuk Indonesia Sehat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.