Setya Novanto Bebas Lebih Cepat Usai Hukumannya Disunat dan Dapat Remisi, Rugikan Negara Rp 2,3 T

Setya Novanto terlibat dalam kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP divonis 15 tahun penjara pada 24 April 2018.

Editor: Faisal Zamzami
KOMPAS.com/ABBA GABRILLIN
HUKUMAN DISUNAT - Mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (14/9/2018). Setya Novanto terlibat dalam kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP divonis 15 tahun penjara pada 24 April 2018. 

SERAMBINEWS.COM - Masa hukuman Setya Novanto kembali berkurang.

Mantan Ketua DPR RI ini merugikan negara Rp2,3 Triliun.

Setya Novanto terlibat dalam kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP divonis 15 tahun penjara pada 24 April 2018.

Namun, mantan ketua umum Partai Golkar itu dapat bebas lebih cepat setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Setya Novanto ihwal vonis hukumannya.

Setya Novanto dapat bebas lebih cepat setelah hukuman penjaranya disunat dari 15 tahun penjara menjadi 12 tahun dan 6 bulan penjara oleh MA.

"Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara selama 12 tahun dan 6 (enam) bulan," demikian keterangan dari putusan nomor 32 PK/Pid.Sus/2020 yang dikutip dari laman resmi MA, Rabu (2/7/2025).

Selain masa hukuman penjara, MA juga mengurangi masa pencabutan hak politik atau hak untuk menduduki jabatan publik mantan Ketua DPR Setya Novanto dari 5 tahun menjadi 2 tahun 6 bulan.

 "Pidana tambahan mencabut hak terpidana untuk menduduki jabatan publik selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan terhitung sejak terpidana selesai menjalani masa pemidanaan," demikian keterangan putusan tersebut.

Remisi

Selain putusan MA itu, Setya Novanto bisa bebas lebih cepat setelah ia mendapatkan sejumlah remisi khusus maupun umum.

Pertama, Setya Novanto bersama 270 narapidana kasus korupsi mendapatkan remisi khusus Idul Fitri pada 2023.

Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Barat saat itu, Kusnali mengungkap bahwa Setya Novanto mendapatkan remisi satu bulan.

Remisi kedua terjadi pada Hari Ulang Tahun (HUT) ke-78 Republik Indonesia. Setya Novanto mendapatkan remisi umum selama tiga bulan.

Setelah itu, Setya Novanto kembali mendapatkan remisi Idul Fitri pada 2024 selama 30 hari atau satu bulan. Remisi terakhir diterimanya pada Idul Fitri 2025, yang waktunya berkisar antara 15 hari sampai dua bulan.

Berikut daftar remisi yang diterima Setya Novanto:

2023

-Idul Fitri 1444 H (1 bulan)

-HUT ke-78 Republik Indonesia (3 bulan)

2024

-Idul Fitri 1445 H (1 bulan)

2025

-Idul Fitri 1446 H (15 hari sampai 1 bulan)

Kapan Setya Novanto Bebas?

Jika merujuk vonis 15 tahun penjara pada 24 April 2018, Setya Novanto seharusnya baru bisa bebas pada sekitar tahun 2033.

Adapun jumlah jumlah remisi yang didapatkan Setya Novanto adalah berkisar antara 5 sampai 6 bulan.

Jika ditambah putusan MA yang mengabulkan permohonan pengajuan kembali itu, Setya Novanto setidaknya dapat bebas pada rentang antara 2029 hingga 2031.

Baca juga: Korupsi E-KTP hingg Rugikan Negara Rp 2,3 Triliun, Masa Hukuman Setya Novanto Kini Berkurang Lagi

ICW Sesalkan

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyayangkan putusan Mahkamah Agung (MA) yang memangkas hukuman pidana dan pencabutan hak politik terhadap mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, dalam kasus korupsi proyek e-KTP.

Peneliti ICW, Wana Alamsyah, menilai langkah MA dalam mengabulkan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Setya Novanto mencederai rasa keadilan warga yang terdampak akibat korupsi e-KTP.

“ICW menyesalkan putusan hakim PK yang memotong vonis pidana Setya Novanto dan memangkas hak politiknya. Seharusnya, MA menolak PK yang diajukan oleh Setya Novanto. Karena hakim perlu melihat perbuatan Setya Novanto sebagai aktor yang berperan cukup penting dalam perkara e-KTP sehingga menimbulkan dampak kepada warga terkait administrasi kependudukan di Indonesia," kata Wana kepada Kompas.com, Kamis (3/7/2025).

Menurut ICW, pengurangan hukuman terhadap Novanto mengabaikan dampak luas yang ditimbulkan akibat korupsi proyek e-KTP, khususnya terhadap jutaan warga yang terdampak dalam hal administrasi kependudukan.

"Dipangkasnya pidana Setnov (Setya Novanto) mencerminkan mundurnya upaya pemberantasan korupsi, terutama dalam mengadili dan memberikan efek jera terhadap koruptor," imbuh Wana.

Terlebih, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset hingga kini belum juga disahkan, sehingga vonis pidana badan dan pencabutan hak politik diharapkan menjadi instrumen efek jera.

“Namun ketika keluarnya putusan ini, maka dikhawatirkan pelaku korupsi tidak akan takut dengan konsekuensi hukum karena telah ada preseden dari hakim yang memangkas pidana badan dan hak politik," jelasnya.

Baca juga: Setya Novanto Koruptor Kasus E-KTP Dapat Remisi Khusus Idulfitri, Sudah Dapat Remisi Berkali-kali

ICW: Korupsi Besar Harusnya Hukuman Diperberat

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina menilai, hukuman mantan Ketua DPR-RI Setya Novanto (Setnov) seharusnya tidak disunat, melainkan diperberat.

Hal itu disampaikan Almas menanggapi pengabulan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Setnov terkait vonis hukumannya dalam kasus korupsi KTP elektronik.

"Meski PK adalah hak, tetapi melihat besarnya nilai dan dampak korupsi KTP elektronik, kami menilai setiap orang yang bersalah seharusnya dikenakan hukuman yang berat," kata Almas, melalui pesan singkat, Kamis (3/7/2025).

Terlebih, kata dia, Setnov memainkan peran sentral dalam kasus e-KTP dari tahap penganggaran hingga perencanaan pengadaan.

"Setya Novanto tidak hanya menggunakan pengaruh dan kewenangannya di DPR, tetapi ikut memanipulasi tender proyek," tutur Almas.

 Oleh sebab itu, ICW mempertanyakan apa bukti baru atau alasan hakim menyunat vonis hukuman Setnov.

Dia bahkan khawatir putusan tersebut punya efek negatif terhadap pemberantasan korupsi, khususnya pada aspek menghadirkan penindakan yang berdaya cegah dan menimbulkan efek jera.

"Harusnya dengan korupsi yang bernilai besar, merugikan masyarakat, dan menghambat transformasi sistem administrasi kependudukan, serta bisa dibilang merupakan contoh skandal korupsi politik yang sempurna, ditunjukkan kongkalikong eksekutif, swasta, dan legislatif, hukumannya diperberat," ujar dia.

 

Baca juga: Kisah Pilu Gadis 19 Tahun Diperkosa Ayah Kandung di Banyumas, Kini Korban Hamil Muda

Baca juga: VIDEO - PKB Ambil Posisi Netral soal Penambahan Batalyon di Aceh

Baca juga: Peringati HUT ke-26, Purnawirawan Polri Daerah Aceh Gelar Baksos dan Bakkes 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved