Batalyon Baru di Aceh

Penambahan Batalyon Baru di Aceh, Presma UIN Ar-Raniry Minta Menhan dan Panglima TNI Buka Dialog

Menurutnya, keputusan besar yang menyangkut pertahanan dan keamanan di Aceh tidak boleh diambil secara sepihak dan tertutup.

Editor: Agus Ramadhan
Serambinews.com/Rauzatul Jannah
Presiden Mahasiswa (Presma) Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry 2025, Teuku Raja Aulia Habibie. 

Penambahan Batalyon Baru di Aceh, Presma UIN Ar-Raniry Minta Menhan dan Panglima TNI Buka Dialog

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Presiden Mahasiswa UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Tengku Raja Aulia Habibie, meminta Menteri Pertahanan (Menhan) dan Panglima TNI  melakukan pengkajian ulang secara menyeluruh terhadap urgensi, pendekatan, serta dampak sosial-historis yang mungkin ditimbulkan.

“Kami menuntut agar proyek ini dikaji ulang secara terbuka dan menyeluruh. Buka ruang dialog terlebih dahulu bersama rakyat Aceh, pemerintah Aceh, akademisi, ulama, dan tokoh adat. Ini bukan perkara teknis, ini soal sejarah panjang dan masa depan perdamaian Aceh,” ujar Habibi, Kamis (4/7/2025)

Ia mendesak Menteri Pertahanan untuk segera datang ke Aceh dan membuka ruang diskusi terbuka bersama masyarakat Aceh dan Pemerintah Aceh. 

Menurutnya, keputusan besar yang menyangkut pertahanan dan keamanan di Aceh tidak boleh diambil secara sepihak dan tertutup dari aspirasi masyarakat lokal.

Baca juga: Pembangunan Enam Batalyon TNI AD di Aceh Untuk Pertahanan Negara

Rencana pemerintah pusat melalui Kementerian Pertahanan untuk mendirikan empat batalyon militer baru di wilayah Aceh telah memicu kekhawatiran luas. 

Habibie menilai kebijakan ini sebagai bentuk pengingkaran terhadap semangat perdamaian yang dibangun melalui MoU Helsinki tahun 2005 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

“Pendirian empat batalyon baru di Aceh bukan hanya keliru secara hukum dan politik, tetapi juga secara moral. Ini seperti menusuk luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Kami menolak secara tegas rencana tersebut karena bertentangan dengan semangat rekonsiliasi yang dibangun sejak 2005,” ucapnya.

Dalam kesepakatan MoU Helsinki, disebutkan bahwa militer Indonesia hanya diperbolehkan memiliki kekuatan terbatas di Aceh untuk fungsi pertahanan eksternal, sedangkan urusan keamanan dalam negeri diserahkan kepada Kepolisian. 

Hal ini diperkuat dalam pasal-pasal di UUPA. Karena itu, lanjut Habibie, pembangunan batalyon baru di Aceh justru berpotensi melanggar kerangka hukum yang telah disepakati bersama.

Lebih jauh, ia menyebut bahwa pendekatan militer tanpa dialog hanya akan memperlebar jarak antara rakyat Aceh dengan pemerintah pusat. 

Baca juga: Soal Pembangunan Batalyon Baru di Aceh, PKB Ambil Posisi Netral, Dony: Kita Ikuti Suara Masyarakat

Aceh, yang pernah menjadi wilayah Daerah Operasi Militer (DOM), hingga kini masih menyimpan trauma kolektif akibat konflik bersenjata dan pelanggaran HAM.

“Kami bukan anti negara, tapi kami menolak segala bentuk pendekatan yang mengabaikan pengalaman sejarah rakyat kami. Jangan ulangi lagi pola-pola lama yang penuh represi,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa pembangunan militer ini tidak boleh dilakukan secara diam-diam tanpa sosialisasi. Jika keterbukaan tidak diutamakan, maka proyek ini hanya akan memperbesar ketegangan.

“Jangan sekali-kali proyek ini dijalankan secara senyap. Rakyat Aceh bukan penonton. Kami tahu dan kami akan bersuara. Jika tetap dipaksakan, maka perlawanan moral akan terus kami galang,” ujarnya.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved