Kupi Beungoh
Pemuda dan Aceh Utara Bangkit
Kita harus mengakui, pemuda Aceh Utara hari ini berada pada persimpangan jalan yang rumit. Di satu sisi, potensi mereka sungguh besar
Oleh Rifki Ismail, S.Ag., MPd*)
Slogan “Aceh Utara Bangkit” yang diusung sebagai visi-misi Pemerintah Aceh Utara periode 2025–2030 bukanlah sekadar barisan kata-kata indah yang terpajang di baliho atau terpampang di dokumen resmi.
Ia adalah sebuah janji politik yang menuntut jawaban moral dan kerja keras nyata.
Namun di balik gegap gempitanya, muncul pertanyaan mendasar yang wajib dijawab dengan jujur: “Bangkit untuk siapa, dan bagaimana caranya?”
Sebagai bagian dari generasi muda Aceh Utara, kita tidak boleh terjebak pada euforia kosong atau retorika palsu. Kita harus berani memaknai kata “bangkit” dengan jujur, dalam, dan kontekstual.
Bangkit bukan hanya berarti membangun jalan, pasar, atau kantor pemerintahan megah.
Bangkit harus berarti menegakkan kembali martabat rakyat, memulihkan ekonomi, memberdayakan masyarakat miskin, melahirkan generasi cerdas, menegakkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin, melestarikan adat budaya, dan membangun kesadaran kolektif untuk menjaga lingkungan, warisan leluhur, serta kebersamaan dalam keluarga dan gampong.
Baca juga: Deklarasi Aceh Utara Bebas Narkoba 2030: Gaungkan Kolaborasi Warga, Pemerintah dan Penegak Hukum
Kita harus mengakui, pemuda Aceh Utara hari ini berada pada persimpangan jalan yang rumit. Di satu sisi, potensi mereka sungguh besar.
Mereka adalah generasi yang lebih terdidik, melek teknologi, memiliki semangat religius, dan pewaris budaya kaya seperti rapai Pasee, seudati, peusijuek, serta tradisi hikayat yang indah.
Namun di sisi lain, berbagai problematika sosial dan kultural sedang menggerogoti akar kekuatan itu.
Maraknya pergaulan bebas, seks pranikah, bahkan kasus aborsi terselubung adalah luka sosial yang tidak bisa diabaikan.
Sering kita mendengar berita tentang geng motor yang membuat resah masyarakat, narkoba yang menghancurkan masa depan pemuda, judi daring yang merajalela diam-diam bahkan di kampung-kampung.
Banyak anak muda terjebak di warung kopi, menghabiskan waktu tanpa arah yang jelas, sementara himpitan ekonomi memaksa sebagian mereka mengambil jalan pintas yang salah.
Selain itu, pengangguran menjadi momok menakutkan. Banyak lulusan sekolah menengah dan bahkan sarjana yang tidak mendapat pekerjaan layak atau sekadar menjadi pekerja informal dengan upah murah.
Frustrasi sosial tumbuh, membuat mereka rentan pada rayuan narkoba, judi, atau aktivitas kriminal lainnya.
Kesenjangan kualitas pendidikan juga sangat nyata: sekolah-sekolah di pedalaman kekurangan guru berkualitas, fasilitas seadanya, akses internet minim, membuat lulusan desa kesulitan bersaing dengan yang dari kota.
Hal yang tak kalah serius adalah degradasi budaya lokal. Generasi muda semakin asing dengan bahasa Aceh halus, rapai Pasee, seudati, peusijuek, dan hikayat.
Media sosial dan budaya global tanpa filter membuat anak muda lebih fasih meniru budaya luar daripada menjaga warisan sendiri.
Baca juga: Mualem Berdialog Dengan Duta Besar dan Investor Timur Tengah, Oktober Dijadwalkan ke Aceh
Sementara itu, banyak kebijakan pembangunan masih bersifat top down menganggap pemuda hanya sebagai objek, bukan subjek pembangunan.
Ruang diskusi, organisasi kepemudaan, dan forum kebudayaan kadang hanya formalitas seremonial tanpa daya hidup.
Dalam kondisi seperti ini, kita harus bertanya dengan jujur: bagaimana mungkin Aceh Utara bisa “bangkit” jika generasi mudanya patah sayap bahkan sebelum terbang? Karena itulah makna “Aceh Utara Bangkit” harus kita perjelas dan perlu kita kayakan peran dan fungsinya.
Bangkit bukan hanya berarti memacu pertumbuhan ekonomi makro, melainkan membangun ekonomi kerakyatan. Kita perlu memberdayakan UMKM lokal menjadi rujukan provinsi dan nasional.
Kerajinan tradisional, kuliner khas Aceh Utara, kopi, keripik, kain tenun perlu dipoles dan dipromosikan dengan strategi modern berbasis digital.
Pemerintah perlu menyediakan pelatihan manajemen, akses modal murah, hingga kanal pemasaran online.
Anak muda harus didorong bukan hanya menjadi pekerja, tapi wirausahawan kreatif yang membuka lapangan kerja.
Selain itu, sektor pariwisata daerah harus dijadikan mesin kemakmuran. Aceh Utara memiliki potensi wisata alam, sejarah, religi, dan budaya.
Pantai, gunung, situs bersejarah, festival adat bisa dihidupkan dengan pengelolaan profesional. Pemuda dapat menjadi pemandu wisata, pemilik homestay, kreator konten promosi.
Pemerintah harus serius menata infrastruktur pendukung dan mempermudah perizinan usaha pariwisata. Strategi ekonomi kreatif juga wajib menjadi fokus.
Generasi muda yang melek digital bisa menjadi desainer, fotografer, penulis, atau penjual online untuk memasarkan produk lokal.
Baca juga: Bupati Aceh Utara Lobi Pemerintah Pusat, Desak Intervensi Sosial untuk Rakyat Miskin
Di sektor pertanian dan perikanan, kita perlu modernisasi. Aceh Utara kaya lahan pertanian dan sumber daya laut.
Anak muda jangan malu menjadi petani atau nelayan. Dengan teknologi organik, sistem irigasi hemat air, budidaya ikan air tawar, dan pemasaran digital, sektor ini bisa menjadi pilar kemakmuran.
Namun semua itu tak akan berarti tanpa revolusi pendidikan. Kita harus membangun generasi unggul yang cerdas, santun, dan berakhlak.
Pemerintah wajib memeratakan guru berkualitas ke seluruh desa, menyediakan beasiswa untuk anak kurang mampu, dan membangun fasilitas sekolah layak.
Putus sekolah harus dibasmi dengan program belajar gratis minimal hingga SMA. Pendidikan agama juga perlu dikuatkan dengan pendekatan yang inklusif dan kontekstual.
Masjid dan dayah harus dijadikan pusat pendidikan masyarakat, bukan sekadar tempat ibadah formal.
Masjid bisa mengadakan kelas mengaji, diskusi ilmiah, pelatihan wirausaha kecil, bahkan pelatihan teknologi digital untuk anak muda.
Dayah perlu dikelola profesional agar tetap setia pada tradisi tetapi juga terbuka pada kemajuan zaman, seperti mengajarkan literasi digital, kewirausahaan syariah, dan ilmu terapan.
Penegakan syariat Islam juga harus dikedepankan tanpa menakut-nakuti. Dakwah harus kultural, santun, tetapi tegas pada kejahatan.
Pemerintah dan aparat wajib memberantas narkoba, judi, prostitusi, dan miras dengan serius. Gampong harus menghidupkan kembali pengawasan sosial berbasis adat dan agama.
Penguatan sektor kepemudaan dan kebudayaan juga tak kalah penting. Pemuda perlu didukung untuk berorganisasi, belajar kepemimpinan, dan merancang program pembangunan di kampung.
Pemerintah harus mendukung festival seni, lomba rapai Pasee, seudati, sastra Aceh. Kita perlu membangun pusat kebudayaan di setiap kecamatan sebagai rumah kreativitas pemuda.
Terakhir, kita perlu mengkampanyekan gerakan “jaga sadar” jaga alam, aset, keluarga, dan lingkungan.
Pemuda harus menjadi pelopor kebersihan kampung, pengelolaan sampah, penghijauan, dan menolak tambang ilegal yang merusak lingkungan.
Baca juga: Bermodus Mengaku Polisi, Pria di Aceh Utara Tipu 24 Warga dan Raup Rp 402 Juta
Warisan budaya seperti bahasa Aceh halus, situs sejarah, dan tradisi adat harus dilestarikan.
Kesadaran membangun keluarga harmonis, anti kekerasan rumah tangga, saling peduli tetangga juga menjadi bagian penting “Aceh Utara Bangkit.”
Pada akhirnya, kebangkitan tidak diwariskan, melainkan diperjuangkan. Aceh Utara tidak akan bangkit hanya karena visi-misi yang bagus di atas kertas. Ia butuh pemuda yang mau bekerja keras, belajar, berinovasi, dan berbakti pada kampung halaman. Kita semua harus berani bersumpah dalam hati:
“Aku akan berbuat untuk Aceh Utara, untuk agamaku, untuk bangsaku.”
Karena hanya dengan itulah slogan “Aceh Utara Bangkit” bisa menjelma menjadi kenyataan. Semoga Allah SWT memberi kita kekuatan, keikhlasan, dan keberkahan untuk mewujudkannya.
*) PENULIS adalah Ketua Umum Ikatan Pemuda Aceh Utara (IPAU) Banda Aceh, ASN Kanwil Kemenag Aceh
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.