Pojok Humam Hamid
Zohran Mamdani: Sisi Kelam Demokrasi Amerika
Zohran Mamdani adalah seorang wakil takyat negara bagian New York yang mewakili distrik Astoria di Queens—sebuah wilayah padat dan kosmopolit
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
AMERIKA Serikat telah lama memposisikan dirinya sebagai mercusuar demokrasi.
Dari pidato-pidato pemimpin di Gedung Putih hingga doktrin-doktrin luar negeri yang dikirim dengan senjata dan sanksi, Amerika ingin dunia percaya bahwa ia adalah penjaga hak asasi manusia.
Amerika juga senang disebut sebagai benteng terakhir kebebasan individu, dan tanah impian di mana semua orang, dari mana pun asalnya, punya peluang yang sama untuk bersuara dan dihargai.
Namun di balik kemilau mitos itu, berdenyut realitas yang getir.
Demokrasi yang mereka banggakan ternyata punya celah tua, retak oleh ketakutan, ketidakjujuran, dan kebencian yang diwariskan secara turun-temurun.
Zohran Mamdani berdiri tepat di retakan itu.
Zohran adalah seorang wakil takyat negara bagian New York yang mewakili distrik Astoria di Queens--sebuah wilayah padat dan kosmopolit, rumah bagi komunitas imigran dari Mesir, Bangladesh, Yunani, Dominika, Filipina, hingga Palestina.
Ia adalah anak dari Mahmood Mamdani dan ibunya adalah Mira Nair.
Kedua orang tuanya lahir di India, bermigrasi ke Uganda, untuk kemudian pindah dan menetap di Amerika.
Ibunya berkarir sebagai sutradara film dokumenter, sementara ayahnya adalah Profesor ilmu politik dan Antropologi di Universitas Columbia.
Mamdani lahir di Kampala-Uganda, tumbuh besar di New York City, menyerap kerasnya hidup sebagai bagian dari minoritas kulit berwarna Muslim di tengah kota yang katanya paling liberal di Amerika.
Dari semua kenyataan itu, lahirlah politiknya, politik yang berbicara bukan untuk menyenangkan, tapi untuk menantang.
Sebagai anggota parlemen, Mamdani dikenal dengan keberpihakannya pada isu-isu kelas pekerja.
Keadilan perumahan, penghapusan utang pendidikan, dan reformasi sistem transportasi adalah fokusnya.
Tapi satu isu yang membuatnya menjadi sorotan nasional dan sasaran serangan adalah, sikapnya terhadap Palestina.
Zohran bukan hanya bersuara menentang penjajahan Israel atas tanah Palestina, ia juga terang-terangan menolak pengiriman dana militer Amerika ke negara tersebut.
Ia menyebut apa yang terjadi di Gaza sebagai “apartheid dan genosida”.
Di negeri yang lobi proIsraelnya adalah salah satu yang paling kuat dan tak tersentuh di dunia, ini bukan hanya dianggap kontroversial.
Bahkan, sikap seperti itu dianggap pengkhianatan.
Baca juga: Sosok Zohran Mamdani, Muslim Pertama jadi Calon Wali Kota New York, Pro Palestina dan Dibenci Trump
Ini Soal Identitas
Zohran tidak menyerang siapa pun secara pribadi.
Ia tidak menyebar kebencian, tidak mengusung kebijakan sektarian.
Ia hanya menanyakan satu hal.
Mengapa uang pajak rakyat Amerika digunakan untuk mendukung pemboman rumah sakit, sekolah, dan kamp pengungsi di Gaza?
Mengapa nyawa anak-anak Palestina tidak memiliki nilai di mata kebijakan luar negeri Amerika?
Namun dalam sistem politik Amerika, bukan jawaban yang datang padanya, melainkan tuduhan.
Di media sosial, ia disebut ekstremis.
Di ruang-ruang debat, ia dituduh menyimpan agenda tersembunyi.
Di antara rekan-rekannya sendiri di Partai Demokrat, banyak yang memilih menjaga jarak, takut terseret dalam gelombang stigma yang dilayangkan padanya.
Serangan itu bukan lagi soal kebijakan.
Ini soal identitas.
Ia diserang bukan karena apa yang ia katakan, tapi karena siapa dia, seorang Muslim, kulit berwarna, imigran, dan progresif.
Tucker Carlson, mantan penyiar Fox News yang dikenal karena retorika anti-imigran dan nasionalisme kulit putih, bahkan menyebut Mamdani sebagai “satu-satunya politisi yang jujur” karena menolak meninggalkan negaranya untuk urusan luar negeri.
Tapi pujian itu bertafsir seperti pedang bermata dua.
Carlson memuji dengan nada sinis.
Pujian itu menyiratkan bahwa Zohran adalah pengecualian yang tidak berbahaya, setidaknya untuk saat ini.
Seolah-olah Carlson berkata, “Lihat, bahkan dari kelompok itu, ada satu yang masih bisa kita toleransi--asal tidak terlalu lantang.”
Sementara itu, Rudy Giuliani, mantan wali kota New York yang dulu dielu-elukan karena “menjinakkan” New York pasca-9/11, kini menjadi pemandu paranoia yang melihat hantu di balik nama Timur Tengah.
Dalam setiap komentar tentang Zohran, Giuliani selalu menyinggung asal-usulnya--sebuah pengingat halus namun keji bahwa Amerika, bagi banyak orang, masih dibagi menjadi “kita”-- warga putih dań sedikit hitam, dan “mereka”-- migran dari berbagai kawasan di dunia, utamanya yang kulit berwarna.
Marjorie Taylor Greene, anggota Kongres partai Republikdari Georgia, ikut menyerang.
Bukan pada substansi, tapi pada latar belakang etnis dan agama Mamdani.
Brandon Gill dan Charlie Kirk--dua wajah muda sayap kanan ekstrim Amerika--bahkan menertawakan caranya makan dengan tangan.
Di titik ini, jelas. Apa yang mereka serang bukan ide, tapi warisan.
Bukan kebijakan, tapi identitas.
Di tangan mereka, simbol-simbol budaya dijadikan peluru untuk membungkam orang seperti Zohran.
Lalu Donald Trump.
Sosok yang tak bisa dihindari dalam pusaran ini.
Presiden yang membawa kebencian dari pinggiran masuk ke pusat. Ia adalah suara dari Amerika yang gelap, Amerika yang marah dan takut.
Ketika Trump menyebut negara-negara seperti Haiti dan negara-negara Afrika sebagai “shithole countries”,-istilah paling rasis, ia tidak hanya mencaci geografi--ia menghapus kemanusiaan orang-orang yang berasal dari sana.
Istilah Trump itu memasukkan Mamdani, yang lahir di Uganda dan membawa darah India dalam tubuhnya.
Di masa kepemimpinannya, larangan terhadap negara-negara Muslim diberlakukan Trump juga menyerang, Ilhan Omar dan Rashida Tlaib-- keduanya muslim, anggota Kongres AS- dijadikan sasaran nasional.
Sepertinya apa yang dulu disebut prasangka kini berubah menjadi kebijakan negara.
Solidaritas untuk Zohran Mamdani
Namun di balik gelapnya langit, muncul juga cahaya.
Solidaritas terhadap Zohran tumbuh di jalan-jalan, di ruang-ruang komunitas, di forum-forum rakyat.
Pemuda-pemuda kulit hitam, komunitas Yahudi progresif, organisasi buruh, bahkan gereja-gereja liberal di Brooklyn, menyuarakan dukungan untuk Zohran.
Jewish Voice for Peace dan IfNotNow--dua kelompok Yahudi Amerika yang menolak zionisme politik dan mendukung hak rakyat Palestina--secara terbuka membela Zohran.
Mereka tahu, menolak genosida bukanlah pengkhianatan terhadap identitas Yahudi, tapi justru bentuk tertinggi dari kesetiaan terhadap kemanusiaan dan sejarah panjang penderitaan mereka sendiri.
New York City, kota tempat Mamdani dipilih oleh puluhan ribu warga Queens, adalah miniatur dunia.
Delapan juta manusia dari segala latar belakang hidup berdampingan di sini. Di sinilah seharusnya demokrasi menemukan bentuknya yang paling tulus.
Namun justru di kota yang katanya paling toleran ini, kebencian paling halus bersembunyi.
Cukup banyak bukti culas seperti pemetaan ulang distrik untuk melemahkan kandidat, tekanan sponsor dan lobi terhadap partai, dan penghilangan suara-suara yang tak sesuai dengan kepentingan elite.
Targetnya jelas, Zohran Mamdani.
Distrik yang diwakili Zohran adalah cerminan kontradiksi itu.
Di satu sisi, komunitas Yahudi konservatif dan zionis ortodoks mengorganisir tekanan untuk menjatuhkannya, karena kritik terhadap Israel dianggap serangan terhadap seluruh komunitas Yahudi.
Tapi di sisi lain, suara-suara Yahudi muda dan progresif di Brooklyn dan Queens justru melihat Zohran sebagai harapan.
Bagi Yahudi progresif, melawan apartheid bukanlah dosa, melainkan kewajiban moral.
Benturan inilah yang menjadikan Zohran lebih dari sekadar politisi lokal.
Ia adalah simbol pertarungan nurani di jantung kota yang konon paling kosmopolit di dunia.
Apakah Amerika akan Mendengar?
Kini pertanyaan yang lebih besar bergema.
Masihkah Amerika punya ruang bagi suara-suara seperti Zohran?
Masihkah demokrasi mampu menampung perbedaan yang nyata, bukan hanya yang dekoratif?
Zohran tidak sempurna.
Ia tidak tanpa cela.
Tapi dalam sistem yang menghukum keberanian dan menghargai kepatuhan, keberaniannya adalah bentuk tertinggi dari patriotisme.
Zohran menolak untuk diam, bahkan ketika diam bisa menyelamatkan kariernya.
Ia tetap berdiri, bahkan ketika yang lain mundur.
Ia tetap bersuara, meski yang didapat adalah fitnah dan ancaman.
Jika Amerika ingin tetap disebut rumah demokrasi, maka ia harus memulai dari mendengarkan mereka yang selama ini dibungkam.
Demokrasi bukan hanya tentang siapa yang bicara paling keras, tapi siapa yang diizinkan bicara.
Dan hari ini, suara Zohran Mamdani adalah ujian itu sendiri.
Dunia menyimak.
Dunia mendengar.
Pertanyaannya adalah, apakah Amerika juga akan mendengar?
Ataukah Amerika akan terus menutupi telinganya, dan membiarkan demokrasi itu sendiri mati pelan-pelan, dibunuh bukan oleh musuh dari luar, tapi oleh kebencian yang tumbuh dari dalam?
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
Setiap artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.
Zohran Mamdani
Wali Kota New York
Amerika Serikat
humam hamid aceh
sisi kelam demokrasi amerika
Serambinews
20 Tahun Aceh Damai: Gen Z, Egepe, Pesimisme Konstruktif, dan Imajinasi Tragis |
![]() |
---|
Netanyahu dan Gaza City: Ketika Jalan Pulang dan Jalan Keluar Terkunci |
![]() |
---|
MSAKA21: Jejak Panjang yang Sunyi, Aceh Sebelum Hindu–Buddha- Bagian VI |
![]() |
---|
Kasus Pati, Sri Mulyani, dan “Kabeh Ka Pike”? |
![]() |
---|
Indonesia 80 Tahun: Di Ambang Kejayaan atau Terperosok ke Stagnasi? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.