Sejarah Aceh
Kerajaan Aceh Punya Dua Istana, Begini Kisah Sultan Mengungsi dari Kraton ke Keumala Dalam
Istana Aceh pindah ke pendalaman Pidie, terjadi pasca direbutnya Istana Kraton Bandar Aceh Darussalam oleh pasukan Belanda pada 1874.
Penulis: Zubir | Editor: Safriadi Syahbuddin
Laporan Zubir | Langsa
SERAMBINEWS.COM, LANGSA - Pusat Kajian Sejarah Universitas Samudra (Unsam), baru-baru ini melakukan penelitian di lokasi istana ibukota kedua Kerajaan Aceh di Keumala Dalam, Blang Paroh Cot Kayee Ija, Gampong Tunong, Kecamatan Keumala, Kabupaten Pidie.
Tim Kajian Sejarah Universitas tersebut diketuai oleh Dr. Usman, M.Pd., dan dibantu Muhd. Zaini, M.Pd., selaku Dosen Sejarah Unigha, dan Tgk. Habibi warga Keumala Dalam Desa Tunong, Pidie.
Dosen Sejarah Unsam, Dr. Usman, M.Pd, kepada Serambinews.com, Selasa (15/7/2025), menjelaskan, berpindahnya lokasi istana Aceh ke pendalaman Pidie, terjadi pasca direbutnya Istana Kraton Bandar Aceh Darussalam oleh pasukan Belanda pada 1874.
Pasukan Belanda itu dibawah Letnan Jendral J Van Swieten pada agresi kedua, dengan kekuatan 389 opsir, 8.156 tentara bawahan, dan 3.280 para pekerja sukarela yang dibawa dari Batavia untuk menaklukkan Aceh, ujung barat Pulau Sumatera.
Tatkala istana/pusat pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam direbut serta dikuasai serdadu Belanda, saat itu Sultan Mahmudsyah terpaksa hijrah ke Pagar Aye.
Baca juga: Misteri Kitab Idharul Haq, Simpan Bukti Kerajaan Peureulak, Bikin Bupati Buat Sayembara Rp 100 Juta
Tiba-tiba beliau mangkat akibat terserang wabah kolora dan diganti oleh putranya bernama Tuanku Muhammad Daud Syah masih usia 7 tahun yang dikukuhkan di Masjid Indrapuri.
Kenaikan tahta itu dengan pengakuan dewan mangkubumi, oleh Tuanku Hasjim Banta Muda sebagai Ketua Dewan Pemangku Kerajaan yang berwenang dan bertindak atas nama sultan serta Teuku Muhd. Daud Panglima Polem Uleebalang Sagi XXII Mukim, pada tanggal 28 Januari 1874.
Karena Aceh Lhee Sagoe kian tidak aman dari pemburuan serdadu Belanda, rombongan Sultan Daud Syah dan pejabat negara kerajaan Aceh, mengungsi dan memilih Pusat Pemerintahan baru di Keumala Dalam.
Alasannya lokasi tersebut masih kondusif serta sangat strategis dan terjamin dari sesuatu bahaya penyerbuan yang mendadak dari pasukan musuh (serdadu Belanda).
Selain itu lokasi pengunsian sultan Daud Syah, masih aman serta tak mampu dijangkau pihak Belanda, karena letaknya jauh ke selatan pendalaman Pidie, untuk mencapai ke Keumala Dalam sekitar 31 Kilometer.
"Lokasi ini (istana kedua Kerajaan Aceh di Keumala Dalam) melalui rute jalan setapak dan masih terhalang oleh hutan belantara," sebut Dr Usaman dalam kajiannya.
Baca juga: VIDEO - Makam Kandang XII Saksi Bisu dari Kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam
Usman menambahkan, dipilihnya Pusat Pemerintahan di Keukamala Dalam, karena lokasinya masih terhalang dari pertahanan Gle Meulinteung.
Sebelum mencapai istana, Sultan Aceh dengan penjagaan ketat dari pos-pos pengawal kerajaan, yang melintasi dari sungai Besar untuk mencapai ke lokasi Istana Sultan yang baru.
Lokasi istana sultan diperketat serta dikawal dari segala penjuru dan terkonsentrasi pusat kerajaan kedua itu, di Blang Paroh yaitu bagian timur berbatasan Kampong Tunong, barat berbatas Cot Kayee Ija.
Serta bagian Utara dengan kampong Pako dan sebelah selatan/tunong berbatasan dengan Gampong Geunie rute, menuju ke arah Tangse dan Gumpang.
Aman dari Serangan Serdadu
Menurut Muhammad Said, sebab dipilihnya Keumala Dalam Pusat Pemerintahan, terutama karena tempat ini strategis dan terjamin dari sesuatu bahaya penyerbuan yang mendadak dari Belanda.
Rakyat sendiri seluruhnya siap sedia, sewaktu-waktu dapat dikerahkan untuk menghadapi Belanda.
Bahkan memilih gampong Keumala Dalam sebagai pusat/ibukota kerajaan Aceh itu, sedikit banyaknya adalah ada pertalian dengan peranan Teuku Bentara Keumangan Pocut Oesman.
Dialah yang menawarkan kepada sultan supaya bersentral di Keumala Dalam, karena Keumala terdiri dari dua mukim.
Usul Keumangan itu, justru diterima dengan baik, dan sultan pun bersedia pindak ke Keumala “Blang Paroh/Cot Kayee Iya”.
Baca juga: Ini Enam Bukti Sejarah Kejayaan Kerajaan Aceh Masa Sultan Iskandar Muda Antara 1607-1636 M
Selama Sulthan Muhammad Daud Syah, bertahta di Keumala Dalam, masih tetap melanjutkan personalia dan angkatan perang sebelumnya.
(1) Tuanku Hasyim Banta Muda, memperkuat Kuta Aneuk Galong, Padang Tiji serta Garot Pidie (ayah Tuanku Mahmud Banta Keucik dan Tuanku Raja Musa).
(2) Panglima Polem Mahmud Cut Banta, dengan wewenangnya menjabat ketua Dewan Pertimbangan Sultan.
(3) Panglima Teuku Muda Cut Latif Meureudu sebagai Panglima Wilayah Asahan-Deli Sumatra Timur.
(4) Teuku Panglima Nyak Makam, ditunjuk sebagai Panglima Wilayah Tamiang-Besitang dan Pangkalan Susu
(5) Teuku Pakeh Mahmud Pidie, menjabat Panglima Wilayah Pidie dan sekitarnya.
(6) Teuku Raja Meukuta Geudong diangkat sebagai Panglima Wilayah Pase
(7) Teuku Nyak Muda Imum Teunom, ditunjuk menjadi Panglima Wilayah Pantai Barat/Selatan Aceh.
Sultan Muhammad Daud selama 20 tahun bertahta di Keumala Dalam, pasukan Belanda giat berpatroli di Aceh Tiga Sagi, Pidie, pantai Utara sampai Timur hingga Barat-Selatan.
Namun perlawanan rakyat masih aktif melakukan sabotase rel kereta api, jembatan serta jalan milik Belanda diganggu oleh pejuang Aceh.
Diantaranya Tokoh Ulama Besar Syekh Saman Tiro aktif, di Aceh Lhee Sagoe, dan selalu merusak jaringan telephon dan rel kereta api Belanda, dengan jihad fisabillah dibawah Chik di Tiro dan Panglima Polem.
Karena jalur transportasi dan jaringan telephon terus dirusak, maka pemerintah Belanda meminta damai serta mengajak berunding.
Tetapi Teungku Chik Di Tiro dan Panglima Polem hanya berkata: “Damai dan perundingan akan kita perlihatkan di ujuang pedang dan rencong Aceh”.
Siasat jahat Belanda, kemudian meracun Chik Di Tiro di wilayah Aceh Lhee Sagoe-Aceh besar 1891.
Para pejabat kerajaan lainya terus diburu, misalnya Teuku Umar ditembak di hutan Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899.
Sewaktu Gubernur J.B. Van Heutsz, di Aceh kedudukan pusat pemerintahan Aceh di Keumala Dalam direbut dan sultan serta pejabat kerajaan mengungsi ke Meureudu 1901, terus ke Samalanga hingga Gayo Lues.
Dari Goa Sekam pendalaman Aceh, juga dijadikan pusat pemerintahan Sementara Kerajaan Aceh, hingga kembali pindah ke Pidie.
Pada tahun 1903, sultan di tawan di Hutan Meuraksa Pasi Lhok, seterusnya dibawah ke Sigli, Kutaraja dan dibuang ke Batavia (Pulau Jawa sekarang).(*)
sejarah Aceh
Kerajaan Aceh
Istana Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh Punya Dua Istana
Istana Kraton
Keumala Dalam
Pidie
Tim Mapesa Temukan Makam Syah Bandar Abad Ke-17 di Aceh Besar, Mizuar Sebut Ini Penemuan Penting |
![]() |
---|
Nisan Tokoh Muslim Era Lamuri di Laweung Digulingkan ke Jurang, Prajurit TNI dan Warga Bereaksi |
![]() |
---|
Hari Ini 15 Tahun Kepergian Hasan Tiro, Deklarator GAM di Gunung Halimon, Ini 10 Fakta dari Sosoknya |
![]() |
---|
Kenali Sultan Ma’ruf Syah, Pahlawan dari Pidie, Aceh yang Melawan Penjajahan Portugis |
![]() |
---|
Mengenang 26 Tahun Tragedi Simpang KKA: Luka Mendalam Sejarah Konflik Aceh |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.