Pojok Humam Hamid

Zohran Mamdani Dalam Arus Ideologi Politik Amerika Serikat

Zohran Mamdani adalah anak imigran asal India, lahir di Uganda, dan besar dalam budaya diaspora di New York, AS.

Editor: Zaenal
Kolase Serambinews.com/Instagram zohrankmamdani
KOLASE foto calon wali kota New York Zohran Mamdani dan Guru Besar USK Prof Ahmad Humam Hamid. 

Oleh: Ahmad Humam Hamid*) 

Di Amerika Serikat, politik sering kali dianggap seperti pertandingan dua kesebelasan bola kaki.

Partai Republik di satu sisi, dan Partai Demokrat di sisi lain.

Tapi di balik dua nama besar ini, ada banyak tokoh muda yang mulai mengguncang sistem. 

Salah satu yang paling menarik dan paling berbeda adalah Zohran Mamdani.

Ia adalah seorang Muslim, anggota parlemen negara bagian New York yang masih muda, berani, dan berbicara dengan cara yang jarang ditemukan di kalangan politisi Amerika.

Mamdani bukan berasal dari keluarga politik elite.

Ia anak imigran asal India, lahir di Uganda, dan besar dalam budaya diaspora di New York, AS.

Ia adalah produk gabungan, pengalaman sebagai minoritas kulit berwarna, anak Muslim, serta anak kelas menengah bawah di New York. 

Tapi justru karena latar belakang itu, ia berbicara dengan cara yang lebih jujur dan berani.

Ia menyebut dirinya sebagai demokrat sosialis, sebuah istilah yang di Amerika masih dianggap “berbahaya” oleh banyak orang, terutama oleh politisi dari Partai Republik.

Apa maksudnya menjadi demokrat sosialis?

Mamdani percaya bahwa negara harus hadir secara nyata dalam kehidupan rakyat kecil.

Negara harus memberikan rumah yang layak, pendidikan gratis, layanan kesehatan untuk semua, dan melindungi pekerja dari kerakusan perusahaan besar.

Ia juga menolak sistem politik yang terlalu bergantung pada uang dari para kapitalis-orang kaya, dan korporasi.

Dalam sistem dua partai Amerika yang kaku, suara seperti Mamdani sangat langka.

Ia tidak hanya melawan ide-ide konservatif dari Partai Republik, tapi juga menantang kemapanan dan kompromi dari dalam Partai Demokrat, partai ia sendiri. 

Dalam banyak hal, Mamdani lebih radikal dari anggota kongres progresif terkenal asal Puerto Rico, Alexandria Ocasio-Cortez.

Jika Cortez masih bermain dalam batas-batas sistem, Mamdani justru ingin menggoyang sistem itu dari dasarnya.

Karena ia seperti, maka ia bukan  hanya dianggap kiri, tetapi “kiri habis”.

Apa Artinya “Kiri” dalam Politik Amerika?

Untuk memahami posisi Zohran Mamdani, penting bagi kita mengenali makna “kiri” dalam politik Amerika.

Istilah ini mengacu pada gagasan dan gerakan yang memperjuangkan keadilan sosial dan ekonomi, khususnya bagi rakyat biasa, kaum miskin, dan kelompok minoritas.

Ia tidak hanya kiri biasa, bahkan dalam pandangan pembencinya batasnya sangat tipis dengan ideologi komunis, Trump tak segan menjulukinya komunis.

Politisi kiri biasanya menolak kekuasaan besar korporasi, mendorong pajak yang lebih tinggi bagi orang kaya, serta mendukung layanan publik seperti kesehatan gratis, perumahan terjangkau, dan perlindungan lingkungan hidup.

Mereka percaya bahwa negara harus hadir secara aktif, bukan hanya membiarkan pasar bebas menentukan segalanya.

Namun “kiri” di Amerika bukan satu warna.

Ada yang disebut liberal, yang cenderung moderat dan masih setia pada sistem kapitalis, tapi menginginkan reformasi.

Ada juga progresif, yang lebih kritis terhadap sistem dan ingin perubahan lebih dalam. 

Lalu ada demokrat sosialis seperti Zohran Mamdani, yang melihat ketimpangan dan penindasan sebagai bagian dari sistem yang memang dibangun untuk menjaga kekuasaan segelintir elite. 

Dalam konteks ini, Mamdani bukan hanya melawan Partai Republik yang konservatif, tapi juga menantang kenyamanan yang selama ini dirawat dalam tubuh Partai Demokrat.

Salah satu isu paling kontroversial yang Mamdani perjuangkan adalah dukungannya terhadap Palestina.

Ia secara terbuka menyebut Israel sebagai “negara apartheid,” ia mendukung gerakan BDS -Boycott, Divestment, and Sanctions- dan menolak pendanaan militer Amerika untuk pemerintah Israel.

Dalam konteks politik luar negeri Amerika Serikat dan solidaritas terhadap Palestina, istilah BDS merujuk pada strategi damai untuk menekan Israel agar menghentikan pendudukan dan diskriminasi terhadap rakyat Palestina. 

Boycott berarti menolak membeli produk atau bekerja sama dengan lembaga yang terlibat dalam penjajahan- dalam hal ini Palestina 

Divestment artinya mencabut investasi dari perusahaan yang dianggap mendukung penindasan. 

Sedangkan Sanctions adalah sanksi resmi seperti larangan ekspor senjata atau kerja sama militer. 

BDS menjadi cara masyarakat sipil global menunjukkan bahwa keadilan bisa diperjuangkan tanpa kekerasan, lewat tekanan ekonomi dan moral,dan Mamdani adalah salah satu kampiunnya.

Baca juga: Zohran Mamdani: Sisi Kelam Demokrasi Amerika

Ini Soal Moral dan Keadilan

Posisi BDS Mamdani sangat tidak populer di kalangan elite politik Amerika, termasuk dalam Partai Demokrat sendiri.

Banyak tokoh Demokrat takut kehilangan dukungan dari kelompok pro-Israel yang punya pengaruh besar dalam pendanaan kampanye.

Namun Mamdani tetap bersuara.

Baginya, mendukung Palestina bukan hanya soal geopolitik, tapi soal moral dan keadilan.

Ia melihat penderitaan warga sipil di Gaza dan Tepi Barat sebagai akibat dari kekuasaan yang tidak adil dan kekerasan negara. 

Dalam pidato dan tulisannya, Mamdani sering mengingatkan bahwa Amerika tidak bisa bicara soal hak asasi manusia sambil terus mengirim senjata ke rezim yang menindas rakyat.

Tentu saja, posisi ini membuatnya menjadi musuh bagi banyak tokoh dari Partai Republik, yang sangat pro-Israel dan nasionalis.

Tapi yang lebih menarik, ia juga membuat gusar sebagian besar tokoh senior dari Partai Demokrat, yang ingin menjaga citra moderat dan tidak mau mengambil risiko kehilangan dukungan dari donor besar yang sering berasosiasi dengan Yahudi.

Namun isu Palestina hanya satu dari sekian banyak medan perjuangan Mamdani.

Ia juga aktif memperjuangkan reformasi kepolisian, penghapusan utang mahasiswa, perumahan yang adil, dan keadilan lingkungan.

Ia tidak ragu menyebut bahwa sistem Amerika saat ini terlalu berpihak pada orang kaya dan terlalu keras dan culas pada orang miskin.

Di tengah kampanye nasional yang sering dipenuhi iklan mahal dan janji-janji kosong, Mamdani justru mengandalkan pertemuan dengan warga, relawan akar rumput, dan media sosial sebagai sarana utama komunikasinya. 

Ia sering terlihat berjalan kaki di daerah pemilihannya di Queens, berbicara langsung dengan warga tentang masalah sehari-hari seperti sewa rumah yang naik, gaji yang tidak cukup, atau diskriminasi dalam pelayanan publik.

Bagi sebagian orang, gaya Mamdani dianggap terlalu tajam atau bahkan “terlalu kiri.”

Tapi bagi banyak anak muda dan warga pekerja, ia adalah suara yang mewakili mereka--suara yang selama ini tidak punya tempat di ruang kekuasaan.

Posisi Mamdani dalam Partai Demokrat sangat rumit.

Ia memang anggota partai, tapi banyak kebijakannya justru menyerang fondasi partai itu sendiri.

Ia sering menyebut “Demokrat yang munafik”--yakni mereka yang berbicara soal keadilan tapi tetap menerima uang dari perusahaan real estate atau industri militer.

Sayap progresif dalam partai, seperti Ilhan Omar, dan Rashida Tlaib, dua perempuan muslim anggota Kongres AS, memang mendukung Mamdani secara umum.

Tapi mereka pun harus berhati-hati.

Kedua mereka sering ditekan oleh kepemimpinan partai agar “tidak terlalu vokal,” apalagi dalam hal isu Palestina.

Sementara itu, sayap moderat dan konservatif dari Partai Demokrat--mereka yang dekat dengan dunia usaha dan lembaga finansial besar--melihat Mamdani sebagai ancaman. 

Bukan karena ia akan memenangkan kursi presiden, tapi karena ia bisa mengubah arah perdebatan publik.

Mamdani bukan sekadar aktivis--ia legislator resmi, punya platform, punya legitimasi, dan sangat pandai berpidato.

Dan itu membuat sistem lama merasa tidak nyaman.

Yang menarik, Mamdani juga punya kesamaan tertentu--secara bentuk, bukan isi--dengan politisi Partai Republik seperti J.D. Vance, senator dari Ohio dan kini menjadi wakil Presiden AS.

Keduanya adalah populis.

Mereka bicara langsung pada rakyat, mereka sama-sama tidak percaya pada elite, dan sama-sama ingin perubahan besar.

Bedanya, Vance ingin “mengembalikan” Amerika ke masa lalu yang katanya lebih baik--Amerika kulit putih, Kristen, maskulin.

Sementara itu, Mamdani ingin membongkar narasi itu sepenuhnya--ia bicara soal keadilan rasial, solidaritas antar-imigran, feminisme, dan pembebasan ekonomi.

Kedua mereka mempunyai arah dan fokus  yang sangat berbeda, tapi lahir dari krisis yang sama,  ketidakpercayaan terhadap sistem yang ada.

Dalam konteks global, sosok seperti Mamdani mengingatkan kita bahwa politik kiri belum mati.

Meski selama bertahun-tahun Amerika dikuasai oleh neoliberalisme dan kapitalisme ekstrem, kini mulai muncul generasi baru yang melihat bahwa sistem itu telah gagal.

Dalam pandangan kelompok kiri, AS telah gagal menyelamatkan lingkungan, gagal melindungi rakyat dari utang dan kemiskinan, dan gagal memberikan harapan akan masa depan yang adil.

Dan di tengah suara gaduh politik Amerika, suara seperti Zohran Mamdani mungkin masih minoritas.

Tapi ia adalah tanda zaman.

Zohran seakan mengirim pesan kepada partai Republik, bahkan partainya sendiri--Partai Demokrat, dan kepada publik AS, bahwa gelombang ide besar bisa lahir dari pinggiran—dan suatu saat bisa menggulung arus utama.(*)

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved