Liputan Eksklusif

Teumeunak di Media Sosial Bisa Bikin Murtad

Padahal, kebiasaan berkata kasar di media sosial dapat menimbulkan dampak serius, baik secara pribadi maupun sosial. 

Editor: mufti
COVER KORAN SERAMBI INDONESIA
HEADLINE SERAMBI INDONESIA EDISI RABU 20250723 

 

Berbicara dengan tidak sopan dan berbicara melampaui batas itu berpotensi keluar dari Islam atau murtad. Faisal Ali, Ketua MPU

Kita sangat mengharapkan pemerintah membentuk satgas penegak etika media sosial melalui Ingub. Karena qanun tahun depan baru bisa kita bahas. Kalau tidak maka ‘teumeunak’ akan semakin parah terus.Teuku Zulfadli, Anggota Komisi VI DPRA

SERAMBNEWS.COM, BANDA ACEH - Media sosial, khususnya TikTok dan Facebook, kini marak dihiasi konten berbicara kasar atau "teumeunak", baik saat siaran langsung maupun dalam unggahan pribadi. Di Aceh, fenomena ini menjadi sorotan karena kerap dipublikasikan untuk menarik respons pengguna. Bahkan, tidak sedikit konten sengaja dibuat dengan bahasa kasar, hingga yang terparah, berbau pornografi.

Padahal, kebiasaan berkata kasar di media sosial dapat menimbulkan dampak serius, baik secara pribadi maupun sosial. 

Menyikapi hal tersebut, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk Faisal Ali yang kerap disapa Abu Sibreh mengatakan, terkait cara berkomunikasi anak muda dan masyarakat di media sosial saat ini memang sedikit meresahkan.

Ada sebagian dari mereka berkomunikasi atau membuat konten tanpa memperhatikan nilai-nilai agama dan juga adat istiadat di Aceh. “Semestinya itu tidak terjadi. Sejahat-jahat kita jangan sampai mempublikasikan kejahatan kepada masyarakat lain,” kata Abu Sibreh kepada Serambi, Selasa (22/7/2025). Menurutnya, mencaci-maki atau berkata kasar (teumeunak) di media sosial sama dengan mencaci maki di luar media.  

Ia menegaskan, perbuatan tersebut haram dan tergolong perbuatan yang diharamkan oleh Allah SWT. “Menghasut, memfitnah, meng-ghibah dan mencaci maka sama hukumnya. Baik itu di medsos maupun di luar medsos,” jelasnya. Dikatakan, bahwa Islam secara tegas melarang hal tersebut. Bahkan perilaku 'teumeunak' dapat merusak aqidah, jika perilaku-perilaku tersebut sudah sampai pada tingkat menghalalkan sesuatu yang haram. Atau menghalalkan sesuatu yang haram, bisa dikatakan ia keluar dari Islam dan dalam bahasa lain disebut murtad.  “Berbicara dengan tidak sopan dan berbicara melampaui batas itu berpotensi keluar dari Islam atau murtad,” katanya. “Karena kadang-kadang kita berbicara tidak tahu sampai kepada halal itu atau tidak,” ungkapnya. Semestinya ia berharap agar masyarakat untuk lebih bijak dalam bermain medsos. Bermain medsos atau TikTok itu sendiri bukanlah suatu masalah. 

Akan tetapi, dalam bermedsos jangan sampai dengan sengaja membuat konten 'teumeunak' atau mengumpat orang lain. “Yang sifatnya privat, jangan kita membuka aib kita, aurat kita, pergaulan ke hal-hal yang sifatnya publik,” ajaknya.

Walaupun semua orang bukanlah manusia yang terbaik, namun jangan sampai menyiarkan perbuatan pornografi. Karena itu haram dan dilarang dalam agama. Perbuatan itu juga tidak sesuai dengan adat orang Aceh. “Sayang orang tua kita, sayang keluarga, sayang tetangga yang sudah mengenal kita. 

Padahal kita sudah terjerumus ke dalam perilaku yang tidak terpuji itu sendiri,” ungkapnya. Ketua MPU Aceh itu menyebut, mendapat penghasilan dari konten tak Sesuai Mu’amalah Syariah adalah haram.

Tgk Faisal Ali mengatakan bahwa MPU Aceh juga sudah mengeluarkan fatwa nomor 1 tahun 2022 tentang penghasilan melalui aplikasi media sosial. Dimana dalam peraturan tersebut diatur tentang bagaimana mendapatkan penghasilan yang menerapkan prinsip mu’amalah syariah.  Dalam tausiah itu, MPU Aceh berharap Pemerintah Aceh untuk membuat regulasi terkait penyebaran konten yang sesuai syariat dan kearifan lokal. 

Pemerintah Aceh juga diminta untuk mengawasi dan menindak konten-konten yang bertentangan dengan syariat. Masyarakat juga diminta untuk arif dan bijaksana dalam membuat dan menyebarkan konten-konten di medsos.  Pengguna medsos juga diminta untuk lebih selektif dalam memilih konten. 

“Diharapkan orang tua dan guru untuk mengawasi anak-anak dalam menggunakan medsos,” kata Lem Faisal saat menjelaskan poin tausiah tersebut.

Dalam fatwa MPU dijelaskan bahwa transaksi menggunakan aplikasi media sosial adalah sah selama memenuhi prinsip-prinsip mu’amalah syariah. Kemudian penghasilan yang diperoleh dari mengunggah konten di medsos selama memenuhi prinsip-prinsip mu’amalah adalah halal. “Poin Kelima: Penghasilan yang diperoleh dari medsos ketika tidak memenuhi prinsip mu’amalah syariah adalah haram,” pungkasnya.(iw)

 

Waled Landeng Usul Pembentukan Satgas Etika Medsos

Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Teuku Zulfadli alias Waled Landeng, mengkritisi lambannya respons Pemerintah Aceh dalam menyikapi etika bermedia sosial masyarakat yang belakangan ini kian meresahkan. 

Menurutnya, usulan pembentukan Satgas Penegak Etika Media (Medsos) Sosial yang sebelumnya pernah disampaikan hingga kini belum mendapat reaksi apa pun dari Pemerintah Aceh. Padahal, fenomena saling mencaci (teumeunak) dan tindakan porno aksi di Medsos sudah semakin parah. 

“Hingga saat ini saya lihat belum ada reaksi dari pemerintah. Boleh dikatakan belum ada wacana apa-apa dari pemerintah terkait kedua hal tersebut,” kata Waled Landeng kepada Serambi, Selasa (22/7/2025). 

Politisi Partai Adil Sejahtera (PAS) itu mengungkap, untuk saat ini wacana pembentukan satgas ini tidak bisa diusulkan lagi dalam qanun karena tahapan rancangan pembentukan qanun sudah ditutup dan baru bisa diusulkan di tahun selanjutnya.

Akan tetapi, kata dia, walaupun di tahun ini sudah tidak bisa diusulkan dalam qanun, minimal Pemerintah Aceh dapat membentuk Satgas Penegak Etika Media Sosial melalui Instruksi Gubernur atau Surat Edaran Dinas Syariat Islam Aceh. 

“Karena pembentukan Satgas tidak mesti adanya qanun. Kita sangat mengharapkan pemerintah membentuk satgas penegak etika media sosial melalui Ingub. Karena qanun tahun depan baru bisa kita bahas. Kalau tidak maka ‘teumeunak’ akan semakin parah terus,” tegasnya. 

Waled Landeng menilai, tanpa adanya langkah konkret dari Pemerintah Aceh, maka pembiaran terhadap perilaku negatif di media sosial (teumeunak dan porno aksi) akan merusak tatanan sosial dan melemahkan nilai-nilai etika masyarakat Aceh, yang dikenal kental akan pemahaman agama. 

“Karena kita tahu pelanggaran syariat sebetulnya dari zaman dulu sudah ada, tapi sekarang sudah beralih ke sosial media dan ini perlu tindakan pemerintah,” tuturnya. 

Waled Landeng kembali menekankan bahwa tujuan usulan pembentukan Satgas Penegak Etika Bermedia Sosial ini yakni untuk menindak masyarakat Aceh yang kerap berkata kotor dan melakuan porno aksi di media sosial

Penindakannya dilakukan dalam konteks memberi efek jera berupa hukuman sosial agar membuat pelaku malu terhadap tindakan yang dilakukan, sehingga tidak mengulanginya kembali.

“Karena tujuan kita bukan dalam konteks memberi efek jera pada fisik. Tapi efek jera akhlak dan pembinaan. Jadi dengan ada Satgas ini, maka ada pihak yang menjemput ke rumah jika ada orang yang berkata-kata kotor atau melakukan porno aksi di media sosial, biar ada syok terapi bagi mereka dan nama-namanya akan dipublikasi,” ungkapnya. 

“Karena selama ini mereka ‘teumeunak’ itu cuma untuk konten biar banyak followers. Padahal kalau memang mau melakukan kritik kepada pemerintah atau DPR bisa lewat cara lain, karena jalur kritiknya sangat terbuka,” pungkasnya.(ra)

 

Sebabkan Stres hingga Potensi Kegilaan pada Anak

Jangan lihat konten ini. Langsung scroll. Ini akan membuat algoritma konten negatif tidak naik, sehingga mengurangi motivasi untuk membuat konten serupa. Hetti Zuliani, Psikolog dan Profesional Konselor dari USK

Psikolog dan Profesional Konselor dari Universitas Syiah Kuala (USK), Hetti Zuliani, PhD, menjelaskan dampak negatif dari kebiasaan berbicara kasar, atau yang dikenal sebagai teumeunak dalam bahasa Aceh, di media sosial. Fenomena ini menjadi sorotan di Aceh karena maraknya keluhan masyarakat terhadap tingginya kasus teumeunak, terutama di platform seperti TikTok dan Facebook, baik dalam bentuk narasi maupun teks. Bahkan, ada usulan pembentukan Satgas Penegak Etika Media Sosial untuk menegur, membina, hingga memberikan sanksi kepada pelaku teumeunak.

Menurut Hetti, kebiasaan bertutur kasar, baik secara lisan maupun tulisan, dapat menyebabkan stres, kecemasan, hingga potensi gangguan jiwa, terutama pada anak-anak yang berada di lingkungan orang tua yang membudayakan teumeunak. “Perilaku agresi verbal seperti ini berpotensi menyebabkan gangguan kecemasan, stres, bahkan depresi pada anak. Dalam kasus ekstrem, anak bisa terisolasi dan mendekati kondisi seperti skizofrenia atau gangguan jiwa,” ungkap Hetti saat dihubungi pada Selasa (22/7/2025).

Hetti menjelaskan bahwa kebiasaan ‘teumeunak’ sering kali dipicu oleh krisis identitas di kalangan masyarakat. Kekhawatiran tidak mendapatkan perhatian di media sosial, atau yang dikenal sebagai Fear of Missing Out (FOMO), mendorong sebagian orang memilih menjadi kreator konten negatif dengan menggunakan bahasa kasar untuk menarik perhatian. “Banyak yang meragukan identitas diri mereka dan berpikir bahwa tanpa kata-kata kasar, konten mereka tidak akan viral,” ujarnya. Padahal, menurut Hetti, menjadi positif atau negatif sama-sama berpotensi viral jika dilakukan secara konsisten.

Namun, kebiasaan ini tidak hanya berdampak pada audiens, tetapi juga pada pelaku itu sendiri. “Jiwa kita sebenarnya tidak siap menerima perkataan buruk seperti itu. Ketika pelaku merasa tidak mendapat perhatian meski sudah menggunakan kata-kata kasar, mereka cenderung meningkatkan agresi verbalnya untuk menarik perhatian lebih,” jelas Hetti.

Dampak teumeunak sangat signifikan terhadap anak-anak. Orang tua yang sering menggunakan bahasa kasar berpotensi membentuk persepsi negatif pada anak-anak mereka. “Anak-anak yang tumbuh dengan branding negatif dari orang tua cenderung meniru perilaku agresi verbal dan mengalami gangguan sosial, yang dapat berujung pada depresi atau bahkan skizofrenia,” tambah Hetti.

Untuk mengatasi fenomena ini, Hetti menyarankan agar masyarakat menemukan nilai positif dalam diri mereka dan menonjolkannya secara konsisten di media sosial. Ia juga mengimbau masyarakat untuk tidak melihat konten berbau teumeunak, bahkan sekilas pun. “Jangan lihat konten ini. Langsung scroll. Ini akan membuat algoritma konten negatif tidak naik, sehingga mengurangi motivasi untuk membuat konten serupa,” katanya.

Selain itu, Hetti menekankan pentingnya peran pemerintah dalam mengintervensi perilaku kasar di media sosial melalui kebijakan yang tegas. Menurutnya, para pelaku media sosial seperti TikToker atau selebgram memiliki pengaruh besar, dan anak-anak menjadi korban utama dari konten negatif. “Tanpa intervensi pemerintah, akan sulit memfilter atau mencegah menjamurnya bahasa kasar di media sosial,” pungkas Hetti.(rn)

 

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved