Breaking News

Jurnalisme Warga

Berita Duka dan Stiker WA: Empati Tak Bisa Instan

Saya pun mulai memikirkan fenomena ini dengan lebih dalam, coba memahami apakah hal seperti ini adalah konsekuensi dari zaman atau

Editor: mufti
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS.COM
ASRINALDI, Dosen Desain Komunikasi Visual Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh, melaporkan dari Jantho, Aceh Besar 

Di balik kalimat yang diketik sendiri, ada waktu dan perhatian yang sengaja diberikan, dan itu yang membuatnya lebih bermakna.

Nilai lokal Aceh

Aceh dikenal dengan budaya sosial yang menjunjung tinggi nilai ‘peumulia jamee’ (memuliakan tamu) dan ‘meusapat’ (musyawarah). Ini adalah nilai-nilai yang menempatkan hubungan manusia dalam kehangatan sosial dan empati yang tinggi. Dalam budaya Aceh, jika ada warga yang berduka, biasanya orang-orang berdatangan langsung ke rumah, mengantar makanan, atau duduk sebentar menyampaikan belasungkawa.

Kehadiran fisik seperti itu membawa energi yang berbeda; sebuah ungkapan rasa yang tidak bisa digantikan oleh media digital.

Kini, saat komunikasi beralih ke ruang digital, semangat itu seakan mulai luntur. Bahkan di grup-grup WA komunitas Aceh sendiri, mulai terlihat gejala respons-respons instan yang tidak lagi mencerminkan empati sosial yang dulu begitu kuat. Apakah teknologi membuat kita lupa akar budaya kita sendiri?

Jika ya, kita perlu waspada agar jangan sampai nilai luhur yang diwariskan nenek moyang hilang hanya karena kita terlalu sibuk mengikuti arus perkembangan zaman.

Maka dari itu, ketika masyarakat Aceh, yang dikenal dengan nilai-nilai kesantunan, empati, dan solidaritasnya, mulai terbiasa menggunakan media visual seperti stiker untuk menyampaikan belasungkawa tanpa usaha yang berarti, hal ini patut direnungkan ulang. Kita perlu bertanya: apakah budaya digital yang kita bangun hari ini masih sejalan dengan akar nilai lokal yang kita junjung?

Pertanyaan ini penting bukan hanya untuk dijawab, tetapi juga untuk dijadikan bahan refleksi dalam setiap interaksi digital kita sehari-hari. Sudah saatnya kita sebagai masyarakat, khususnya di Aceh, membangun budaya komunikasi digital yang tetap berakar pada nilai-nilai lokal. Kita tidak anti teknologi, tapi kita tidak boleh hanyut dalam arus instan yang secara perlahan mengikis sisi kemanusiaan.

Membangun kesadaran bersama bisa jadi kunci agar teknologi menjadi alat untuk memperkuat relasi, bukan merenggangkannya.

Soal rasa

Empati bukanlah sesuatu yang otomatis. Ia memerlukan waktu, perhatian, dan kesediaan untuk hadir membawa “rasa” meski hanya dalam bentuk pesan teks yang ditulis sendiri. Sebagai pesan juga pada diri saya sendiri dan rekan-rekan, mari kita tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga penggagas budaya komunikasi yang lebih bermakna dan sejalan dengan akar budaya tempat kita berpijak. Karena, ruang komunikasi digital bukanlah dunia yang terpisah, melainkan sudah menjadi bagian hidup dan kehidupan dalam bermasyarakat.

Kita semua punya peran dalam memastikan ruang digital tidak menjadi ruang yang dingin dan “kering".

Stiker WA maupun simbol-simbol komunikasi visual yang hadir di tengah kita begitu beragam. Ada keilmuan khusus yang membahas tentang hal itu, yang disebut dengan Desain Komunikasi Visual. Keilmuan tersebut mengajarkan kita bahwa visual bukan hanya soal bentuk, melainkan juga soal rasa (empati). Maka, mari kita bawa kembali rasa ke dalam layar agar komunikasi kita tidak hanya cepat, tapi juga hangat dan manusiawi. Sebab, di balik setiap layar, masih ada hati yang bisa disentuh, ada air mata yang bisa kita usap, dan ada pilu yang bisa kita tenangkan dengan pelukan, asal kita mau.

Jika kita mau meluangkan sedikit waktu dan perhatian, maka teknologi yang semula dingin bisa berubah menjadi sarana untuk menyampaikan kehangatan hati.

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved