Berita Banda Aceh

MaTA Kritisi Skema Pinjaman Kopdes Merah Putih, Berpotensi Rugikan Desa

“Aturan ini memang mengusung misi mulia, yaitu memperkuat ekonomi desa melalui koperasi. Namun, di balik niat baiknya aturan ini menyimpan...

Penulis: Rianza Alfandi | Editor: Nurul Hayati
SERAMBINEWS.COM/RIANZA ALFANDI
MATA KRITISI PMK – Koordinator MaTA, Alfian, mengkritisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 49 Tahun 2025 yang mengatur skema pinjaman bagi Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP/KKMP), Senin (28/7/2025). 

“Aturan ini memang mengusung misi mulia, yaitu memperkuat ekonomi desa melalui koperasi. Namun, di balik niat baiknya aturan ini menyimpan sejumlah bom waktu kebijakan yang mengancam kemandirian desa dan berpotensi membebani keuangan negara,” kata Koordinator MaTA, Alfian, kepada Serambinews.com, Senin (28/7/2025).

Laporan Rianza Alfandi | Banda Aceh 

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mengkritisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 49 Tahun 2025 yang mengatur skema pinjaman bagi Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP/KKMP). 

Menurut MaTA, kebijakan yang dimaksudkan untuk memperkuat ekonomi desa justru menyimpan potensi risiko besar yang bisa merugikan desa dan membebani keuangan negara.

“Aturan ini memang mengusung misi mulia, yaitu memperkuat ekonomi desa melalui koperasi. Namun, di balik niat baiknya aturan ini menyimpan sejumlah bom waktu kebijakan yang mengancam kemandirian desa dan berpotensi membebani keuangan negara,” kata Koordinator MaTA, Alfian, kepada Serambinews.com, Senin (28/7/2025).

Alfian menyebutkan, bahwa sejumlah ketentuan dalam aturan itu berpotensi menimbulkan masalah.

Salah satunya adalah Pasal 11, yang memungkinkan penggunaan Dana Desa atau Dana Alokasi Umum (DAU)/Dana Bagi Hasil (DBH) untuk menutupi tunggakan koperasi yang gagal membayar pinjaman. 

Sebab, kata Alfian, dana publik, digunakan menjadi semacam “jaminan otomatis” jika terjadi gagal bayar.

“Mekanisme ini mendorong moral hazard (perilaku ketidakjujuran). Baik koperasi maupun bank bisa menjadi abai terhadap manajemen risiko karena merasa ada jaminan dari dana publik,” ujarnya.

MaTA juga menilai, pendekatan ini bertentangan dengan semangat kemandirian desa sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Dana Desa, yang seharusnya digunakan untuk pembangunan, berisiko dialihkan untuk menutupi utang koperasi.

Baca juga: Rampung 100 Persen, 172 Kopdes Merah Putih di Aceh Jaya Miliki Badan Hukum

Potensi Penyalahgunaan

Selain itu, kata Alfian, kewenangan kepala desa dan bupati dalam menyetujui dan menandatangani perjanjian pinjaman (Pasal 7 dan Pasal 8 ayat 8c) juga dianggap membuka celah konflik kepentingan dan potensi penyalahgunaan kekuasaan.

“Musyawarah desa bisa jadi formalitas ,jika tak ada aturan transparansi perjanjian utang,” ujar Alfian.

MaTA juga mempertanyakan kelayakan plafon pinjaman yang ditetapkan hingga Rp 3 miliar per koperasi, sementara alokasi dana desa rata-rata hanya Rp1–1,5 miliar per tahun. 

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved