Kriteria Pengibaran Bendera One Piece di 17-an yang Melanggar Hukum, Awas Bisa Kena Denda Rp500 Juta
Pemerintah mengingatkan bahwa meskipun ekspresi budaya pop diperbolehkan, namun hal itu memiliki batasan hukum yang tegas.
Penulis: Yeni Hardika | Editor: Eddy Fitriadi
SERAMBINEWS.COM - Fenomena pengibaran bendera bajak laut dari anime populer, One Piece, telah menciptakan kehebohan di tengah masyarakat.
Pengibaran bendera One Piece tersebut mulai muncul jelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia (HUT ke-80 RI) pada 17 Agustus mendatan.
Bendera dengan gambar tengkorak topi jerami ini tak hanya terpasang di berbagai sudut kota, tetapi juga membanjiri lini masa media sosial sebagai bentuk ekspresi dan kritik.
Reaksi masyarakat pun terbelah.
Ada yang melihatnya sebagai bentuk kreativitas dan cara baru berekspresi, namun banyak juga yang menganggapnya mengganggu kesakralan Hari Kemerdekaan.
Fenomena ini akhirnya memantik respons dari berbagai kalangan.
Pemerintah sendiri juga ikut menanggapi aksi tersebut.
Pemerintah mengingatkan bahwa meskipun ekspresi budaya pop diperbolehkan, namun hal itu memiliki batasan hukum yang tegas.
Ada beberapa kriteria dari aksi pengibaran bendera One Piece yang akan dianggap melanggar hukum dan berujung pada sanksi berat hingga denda hingga Rp500 juta.
Lantas, apa saja kriterianya?
Baca juga: Bendera One Piece Dulu Pernah Dibentangkan Anies dan Digunakan Gibran, Kenapa Sekarang Dilarang?
Kriteria pengibaran bendera One Piece yang dianggap langgar hukum
Ada tiga kriteria utama yang bisa dianggap melanggar hukum, merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan:
1. Mengganti atau menggeser posisi Bendera Merah Putih
Pengibaran bendera One Piece akan dinilai melanggar hukum jika digunakan untuk menggiring masyarakat agar tidak mengibarkan Bendera Merah Putih.
Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, Bendera Merah Putih adalah simbol negara yang sakral, terutama saat perayaan hari kemerdekaan.
Karena itu, seluruh masyarakat Indonesia diharapkan dapat memahami dan menghormati nilai tersebut.
"Merah Putih itu sakral. Kita ini semua bagian dari bangsa Indonesia. Saya yakin teman-teman juga akan merasa terusik jika simbol negara digantikan atau disepelekan," kata Prasetyo di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, dikutip dari Antara, Senin (4/8/2025).
Ia menjelaskan, bahwa pemerintah akan mempertimbangkan penindakan hukum apabila bendera One Piece digunakan untuk mengajak masyarakat agar tidak mengibarkan Bendera Merah Putih.
"Kalau pun ada penindakan, itu yang tadi saya jelaskan berkali-kali, kalau ada pihak-pihak yang menggeser makna dari ekspresi itu, misalnya, dengan mengimbau supaya lebih baik mengibarkan ini," kata Prasetyo.
2. Diposisikan lebih rendah dari bendera lain
Dalam konteks pengibaran bersama, Bendera Merah Putih tidak boleh lebih rendah dari bendera lainnya, termasuk bendera One Piece.
Menko Polkam, Budi Gunawan mengatakan, larangan ini telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 24 ayat (1).
"Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 24 ayat (1) menyebutkan 'Setiap orang dilarang mengibarkan Bendera Negara di bawah bendera atau lambang apa pun',"
"Ini adalah upaya kita untuk melindungi martabat dan simbol negara,” jelas Budi dalam siaran pers resmi yang diterima di Jakarta, Jumat (1/8/2025), dikutip dari Kompas.com (1/8/2025).
Baca juga: Bendera One Piece Bikin Heboh Jelang HUT RI, Ternyata Pernah Dipakai Wapres Gibran
Ia menambahkan, setiap orang dilarang mengibarkan bendera negara di bawah bendera atau lambang apa pun.
Menurut dia, ada konsekuensi hukum bagi mereka yang mengibarkan bendera merah putih di bawah lambang apa pun.
Oleh karena itu, ia berharap masyarakat bisa menghargai dan menghormati, serta tidak merendahkan bendera merah putih yang telah menjadi simbol dan identitas negara.
Beberapa pakar hukum yang ikut bersuara terhadap fenomena tersebut juga menekankan, bahwa Bendera Merah Putih harus memiliki posisi tertinggi dan ukuran terbesar.
3. Diperlakukan dengan cara yang merendahkan Bendera Merah Putih
Pengibaran bendera One Piece juga bisa dikategorikan melanggar hukum jika dilakukan dengan cara yang merendahkan martabat Bendera Merah Putih, seperti membakar, menginjak, atau mencoretnya.
Hal ini sebagaimana tertera dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Dilansir dari Kompas.com, Jumat (/8/2025), Peneliti Kebijakan Publik, Riko Noviantoro, menjelaskan, meski tak ada larangan spesifik terhadap pengibaran bendera budaya pop atau fiksi, namun UU No. 24 Tahun 2009 telah memuat aturan teknis mengenai tata letak dan perlakuan terhadap bendera negara.
Misalnya, jika bendera lain dikibarkan berdampingan dengan Merah Putih, maka bendera Merah Putih harus memiliki posisi tertinggi dan ukuran terbesar.
Pada pasal 21 UU tersebut, dikatakan bahwa bendera negara tidak boleh dikalahkan secara visual oleh simbol, panji, atau bendera lainnya.
Sementara pada Pasal 24 mengatur larangan merusak, menginjak, membakar, mencetak gambar, maupun memperlakukan Merah Putih secara tidak hormat.
Sanksi hukum bagi yang melanggar
Riko Noviantoro mengingatkan, masyarakat perlu memahami betul batasan hukum ini, terutama terkait pelecehan terhadap Bendera Merah Putih.
Jika pengibaran bendera One Piece melanggar kriteria di atas, pelakunya bisa dikenai sanksi berat.
Mengacu pada Pasal 66 UU Nomor 24 Tahun 2009, siapa pun yang terbukti menodai atau menghina Bendera Negara secara sengaja bisa dikenakan pidana penjara hingga lima tahun atau denda sebesar Rp500 juta.
Baca juga: Usman Hamid: Pengibaran Bendera One Piece Bukan Makar, Ekspresi yang Dilindungi Undang-undang
Pemerintah perlu utamakan dialog, masyarakat jaga etika
Sementara itu, Pakar hukum tata negara dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Sunny Ummul Firdaus, mengingatkan bahwa fenomena ini bukanlah tanda memudarnya nasionalisme, melainkan perubahan cara generasi muda mengekspresikannya.
"Yang harus dipahami adalah ini bukan soal memudarnya nasionalisme, tapi perubahan cara generasi muda mengekspresikannya. Nasionalisme tidak harus seragam, tapi bisa beragam dalam bentuk,” jelasnya, dikutip dari Kompas.com.
Menurut Sunny, menjaga kehormatan Bendera Merah Putih tidak berarti menutup ruang ekspresi budaya populer.
Sebaliknya, hal itu adalah upaya menjembatani relevansi simbol negara dengan semangat zaman.
Ia menyarankan dialog sebagai pendekatan paling tepat untuk menyikapi isu ini, sejalan dengan nilai Pancasila yang mengedepankan musyawarah.
"Karena dengan dialog, maka akan diketahui apa sebenarnya yang disampaikan oleh masyarakat," ujarnya.
Meskipun secara umum pengibaran bendera fiksi tidak dianggap pelanggaran, Sunny menekankan pentingnya kesadaran hukum dan etika.
Ia merujuk pada Pasal 24 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 yang melarang tindakan merendahkan martabat Bendera Negara, seperti membakar, menginjak, atau mencoretnya.
Namun, ia menegaskan bahwa undang-undang tersebut tidak secara eksplisit melarang penggunaan bendera non-negara, selama tidak melanggar simbol kehormatan negara.
(Serambinews.com/Yeni Hardika)
BACA BERITA LAINNYA DI SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.