KUPI BEUNGOH
Dua Dekade Damai, Rakyat Masih Menanti Keadilan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Dua dekade damai Aceh, rakyat masih menanti keadilan pengelolaan sumber daya alam dan realisasi.
Oleh : Delky Nofrizal Qutni *)
SUDAH puluh tahun sejak kesepakatan damai ditandatangani di Helsinki. Tapi harapan rakyat Aceh untuk sejahtera dari kekayaan alamnya sendiri masih menggantung di langit janji.
Provinsi yang pernah diguncang konflik selama puluhan tahun itu memang berhasil menghentikan senjata, tetapi belum mampu mengakhiri derita sosial dan ketimpangan ekonomi yang mencekik.
Alih-alih tumbuh sejahtera, Aceh justru menjadi provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Sumatera.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025 mencatat angka kemiskinan Aceh sebesar 12,33 persen, sedikit menurun dari 12,64 persen pada September 2024. Posisi Aceh masih di puncak daftar sebagai daerah termiskin di pulau yang kaya ini.
Ironisnya, kondisi ini terjadi di tengah guyuran dana otonomi khusus (otsus) yang nilainya sangat besar.
Sejak 2008 hingga 2024, Aceh sudah menerima lebih dari Rp 100 triliun dana otsus. Tahun 2025 saja, Aceh kembali diguyur Rp 4,46 triliun, dengan total APBD mencapai Rp 11,07 triliun.
Tapi dana yang begitu besar itu belum mampu mengentaskan kemiskinan atau memperbaiki kualitas hidup rakyat secara signifikan.
Baca juga: Usulan Tambah Dana Parpol Disetujui, Partai Aceh Dapat Rp 6,7 Miliar, Berikut Rinciannya per Partai
Baca juga: Lima Alumni SMAIT Al-Arabiyah Lolos Akmil, Akpol, Poltekim, dan TNI
Pertanyaannya sederhana namun menggetarkan, kemana semua uang itu mengalir?
Pengamat dan masyarakat sipil sudah lama menyuarakan bahwa distribusi dana otsus kerap tak menyentuh akar masalah.
Anggaran terserap untuk infrastruktur yang tidak menjawab kebutuhan rakyat, atau habis dalam birokrasi yang gemuk dan kurang transparan.
Bantuan sosial pun, meski dibagikan, tidak menjamin keberlanjutan hidup.
Di berbagai daerah, masih banyak anak muda yang terjerumus ke dalam narkoba, pengangguran yang membengkak, dan desa-desa yang kehilangan harapan karena tidak tersentuh pembangunan yang berarti.
Sumber Daya Dikeruk, Rakyat Hanya Menonton
Salah satu potret nyata kegagalan pembangunan pasca-damai adalah pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang belum berpihak pada rakyat.
Aceh memiliki kekhususan berdasarkan MoU Helsinki dan UU Pemerintahan Aceh untuk mengatur sendiri tata kelola pertambangan dan sumber daya lainnya.
Hal itu secara jelas diatur di dalam UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2015 tentang Kewenangan Pemerintah yang bersifat Nasional di Aceh.
Tapi dalam praktiknya, kekhususan ini hanya menjadi jargon politik tanpa keberanian regulasi.
Baca juga: Dua Pria di Aceh Utara Ditangkap Polisi Saat Jual HP Mahasiswi Medan yang Baru Siap Mereka Jambret
Baca juga: Isi Rekening Rp 66 Juta Raib Kena Tipu Aplikasi Palsu KTP Digital
Fakta menunjukkan, bahwa sampai saat ini, tidak ada satu pun Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang ditetapkan di seluruh Aceh.
Padahal, regulasi nasional seperti UU Nomor 3 Tahun 2020 dan turunannya memberi ruang besar bagi pemerintah daerah untuk menetapkan wilayah yang bisa digarap secara legal oleh masyarakat melalui skema Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
Namun di Aceh, rakyat yang ingin menambang emas atau mineral lainnya malah dianggap pelaku pertambangan ilegal (PETI).
Mereka dikejar, ditangkap, bahkan kadang diseret ke pengadilan, sementara korporasi-korporasi besar dengan modal dan koneksi bebas beroperasi.
Di balik ketiadaan WPR ini terdapat berbagai hambatan yang belum dibongkar serius oleh pemerintah daerah.
Mulai dari lemahnya pemetaan potensi mineral, buruknya koordinasi lintas instansi, hingga belum adanya regulasi khusus di tingkat qanun yang secara teknis mengatur mekanisme IPR.
Selain itu, konflik kepentingan antara elite politik dan perusahaan tambang membuat upaya rakyat untuk mendapatkan keadilan sumber daya selalu kandas.
Padahal, jika WPR benar-benar diwujudkan, itu akan menjadi terobosan penting untuk meningkatkan ekonomi rakyat dan mengurangi praktik tambang ilegal yang merusak lingkungan.
Baca juga: Sosok Fairuz Khalishah, Gadis Berusia 16 Tahun Jadi Mahasiswa Termuda Universitas Negeri Yogyakarta
Baca juga: AKP Donna Jabat Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh, Sertijab Sama Sejumlah Pejabat, Ini Nama-namanya
Rakyat bisa menambang secara legal, aman, dan di bawah bimbingan teknis yang ramah lingkungan. Namun sampai kini, semua itu masih mimpi panjang.
Mualem dan Mandat yang Masih Ditunggu
Muzakir Manaf atau Mualem, tokoh kunci dalam perdamaian Aceh dan mantan Panglima GAM, berkali-kali menyuarakan komitmen untuk memihak rakyat dalam pengelolaan tambang.
Ia pernah menjanjikan akan membuka ruang bagi tambang rakyat dan memperjuangkan pengesahan WPR di seluruh Aceh.
Namun janji tinggal janji. Rakyat masih menunggu realisasi konkret di lapangan.
Kini, dua dekade perdamaian telah berlalu. Mualem dan para elite lokal lainnya harus menjawab amanat sejarah.
Apakah perdamaian hanya untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi bagi segelintir orang, atau benar-benar menjadi jalan keadilan sosial untuk seluruh rakyat Aceh?
Damai bukan sekadar tiadanya senjata, tapi hadirnya rasa adil dan kesempatan yang merata.
Rakyat Aceh sudah menunggu terlalu lama. Waktunya rakyat Aceh tak lagi sekadar jadi penonton dari kekayaan bumi yang mereka pijak sejak lahir.(*)
*) PENULIS adalah Ketua DPC Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Kabupaten Aceh Selatan.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca juga: Profil Komjen Wahyu Widada, Dari Bareskrim Kini Jabat Irwasum Polri, Mantan Kapolda Aceh
Baca juga: Daftar Mutasi Polri Terbaru: Ada Wakapolri hingga 7 Kapolda Diganti,
Delky Nofrizal Qutni
Opini Kupi Beungoh
Dana otsus Aceh dan kemiskinan
Konflik tambang ilegal di Aceh
Peran Mualem dalam tambang rakyat
Izin Pertambangan Rakyat (IPR) di Aceh
Hambatan regulasi tambang rakyat Aceh
Kapal Hampir Oleng, Panglima |
![]() |
---|
Menjaga Semangat Helsinki, Menjamin Keadilan OTSUS Aceh |
![]() |
---|
Dari Aceh Untuk Indonesia dan Dunia: Ajarkan Sejarah Aceh Dalam Muatan Lokal di Sekolah |
![]() |
---|
Kolegium Kesehatan Antara Regulasi dan Independensi |
![]() |
---|
Revisi UUPA, Pengkhianatan di Balik Meja Legislatif yang Menjajah Hak Rakyat Aceh |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.