Wellness
Apa Itu Smiling Depression? Mengenal Gejala dan Cara Mengatasinya untuk Kesehatan Mental
Tapi tahukah kamu? Orang yang tampak paling ceria, paling aktif, dan paling banyak tertawa, bisa jadi orang yang paling hancur di dalam dirinya.
Penulis: Gina Zahrina | Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS.COM - Pernahkah kamu melihat seseorang yang tampak ceria, aktif, dan seolah tidak memiliki masalah? Bisa jadi, mereka sedang menyembunyikan luka batin yang dalam.
Di dunia yang serba cepat dan penuh tekanan ini, banyak orang merasa dituntut untuk terus terlihat kuat dan bahagia.
Dan secara tidak sadar, kita diajarkan untuk “tetap tersenyum” bahkan saat hati sedang tidak karuan.
Tak heran, banyak yang akhirnya memilih menyembunyikan perasaannya dan inilah yang dikenal sebagai smiling depression.
Smiling depression atau depresi tersenyum adalah kondisi mental di mana seseorang mengalami gejala depresi, tapi tetap terlihat bahagia dan berfungsi normal di depan orang lain.
Mereka juga tetap bekerja, bersosialisasi, dan bahkan bisa membuat orang lain tertawa. Namun di balik semua itu, ada perasaan sedih, hampa, atau bahkan putus asa yang mereka sembunyikan dengan rapat.
Baca juga: Jangan Diabaikan! Ini Bahaya Mimpi Buruk untuk Kesehatan Mental dan Fisik
Banyak penderita smiling depression tidak menyadari bahwa mereka sedang mengalami depresi, karena mereka masih mampu “berfungsi” dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka bangun pagi, berangkat kerja, bercanda di grup WhatsApp, atau mengunggah foto tersenyum di media sosial.
Tapi saat malam tiba, ketika semua topeng itu dilepas, mereka sendirian dengan pikiran yang gelap.
Apa Itu Smiling Depression? Ketika Senyum Menyembunyikan Perjuangan
Smiling depression, atau depresi tersenyum, adalah kondisi di mana seseorang tampak bahagia dan beraktivitas seperti biasa, padahal sebenarnya sedang berjuang dengan perasaan sedih, cemas, atau putus asa.
Melansir dari laman Central Health, kondisi ini juga dikenal sebagai depresi berfungsi tinggi karena penderitanya tetap bisa bekerja, bersosialisasi, dan terlihat produktif di luar, meski hatinya sedang terluka.
Sayangnya, depresi jenis ini sering tersembunyi karena penderita berusaha menutupi gejalanya agar tidak terlihat lemah.
Baca juga: Kenapa Banyak Gen Z Quiet Quitting Stop Lembur? Begini Cara Menjaga Kesehatan Mental di Tempat Kerja
Tekanan sosial dan budaya memperparah kondisi ini, terutama dalam komunitas yang masih menganggap masalah kesehatan mental sebagai aib atau kelemahan.
Asim Shah, MD, profesor dan wakil ketua Departemen Psikiatri Menninger di Baylor, menyebutkan bahwa banyak orang dari komunitas Asia-Amerika dan Kepulauan Pasifik (AAPI) enggan mencari bantuan karena takut dinilai negatif oleh lingkungan sekitar.
Mereka memilih menyimpan perjuangan mentalnya sendiri demi menjaga citra dan rasa hormat.
Tekanan Sosial dan Media Sosial Perburuk Kondisi
Banyak orang merasa harus terus tampil bahagia, terutama di era media sosial. Unggahan kehidupan orang lain yang tampak sempurna bisa membuat seseorang merasa kurang, gagal, atau tidak cukup baik.
Kristen Eccleston, pakar kesehatan mental, menjelaskan, “Media Sosial dapat berdampak signifikan pada depresi, karena menciptakan disonansi antara apa yang sebenarnya dirasakan seseorang dengan apa yang mereka tunjukkan kepada dunia.” Kata Kristen Eccleston yang dikutip dari Kompas.
Dalam beberapa budaya, termasuk komunitas Asia, membicarakan kesehatan mental masih dianggap tabu. Banyak yang memilih diam karena takut dipandang lemah atau membuat keluarga malu.
Baca juga: Menganggur Tak Berarti Gagal: 8 Cara Jaga Kesehatan Mental Saat Belum Dapat Pekerjaan dari Psikolog
Bukan Sekadar Sedih Biasa
Smiling depression bukan hanya soal merasa sedih sesekali. Ini adalah kondisi serius yang melibatkan berbagai gejala seperti:
- Perasaan hampa atau kehilangan makna hidup
- Kelelahan emosional yang terus-menerus
- Sulit tidur atau tidur berlebihan
- Kehilangan minat pada hal-hal yang dulunya disukai
- Menarik diri diam-diam, meskipun di depan umum tampak aktif
- Merasa bersalah karena "tidak seharusnya merasa seperti ini"
Perbedaannya dengan depresi klasik adalah penampilan luar mereka yang tetap terlihat “normal” bahkan bahagia.
Mengapa Orang Menyembunyikannya?
Banyak faktor yang membuat seseorang memilih menutupi depresinya. Di antaranya:
- Stigma sosial: Depresi masih dianggap sebagai kelemahan oleh sebagian besar masyarakat.
- Tuntutan untuk selalu terlihat kuat: Terutama pada mereka yang memiliki peran penting di keluarga, pekerjaan, atau komunitas.
- Media sosial: Membandingkan hidup dengan orang lain bisa menciptakan tekanan untuk selalu tampil sempurna.
- Budaya: Beberapa budaya tidak mendorong untuk mengekspresikan emosi secara terbuka, dan menganggap curhat sebagai hal yang memalukan.
Menurut Asim Shah, MD, profesor psikiatri dari Baylor College of Medicine, banyak orang dalam komunitas Asia-Amerika dan Kepulauan Pasifik (AAPI) tidak mencari bantuan karena takut dinilai negatif oleh lingkungan mereka.
Baca juga: Sering Pakai Headset atau Earphone? Kenali Gejala Awal Gangguan Pendengaran hingga Kesehatan Mental
Siapa yang Rentan?
Siapa saja bisa mengalami smiling depression. Namun, beberapa kelompok lebih rentan, antara lain:
- Perfeksionis, yang selalu ingin tampil sempurna
- Orang yang takut mengecewakan orang lain, atau disebut people pleaser
- Mereka dengan trauma masa lalu atau tekanan keluarga
- Individu dengan tanggung jawab besar, seperti pemimpin, orang tua tunggal, atau pekerja profesional
Apa yang Bisa Dilakukan?
Jika Anda merasa mengalami gejala smiling depression, langkah pertama adalah mengakui perasaan itu. Anda tidak harus terus terlihat kuat. Mencari bantuan bukan tanda kelemahan, tapi keberanian.
Penanganan bisa meliputi:
- Terapi psikologis (seperti CBT atau konseling emosional)
- Aktivitas yang menenangkan seperti menulis jurnal, berjalan di alam, atau meditasi
- Mengurangi konsumsi media sosial
- Tidur cukup, makan sehat, dan rutin berolahraga
- Membangun koneksi yang sehat dengan orang-orang yang dipercaya
Baca juga: Pentingnya Memahami Kesehatan Mental
Untuk orang terdekat, hadirlah tanpa menghakimi. Kadang, satu kalimat sederhana seperti “Aku di sini kalau kamu butuh teman cerita” bisa menyelamatkan seseorang dari jurang kesepian.
Yang bisa dipetik dari Smiling depression adalah jangan nilai seseorang hanya dari apa yang terlihat di permukaan. Senyum bisa menutupi banyak hal yang tak pernah kita bayangkan.
Jika kamu merasa lelah terus berpura-pura bahagia, ingatlah bahwa kamu tidak sendiri, dan kamu tidak harus menghadapi semuanya sendirian.
(Serambinews.com/Gina Zahrina)
Smiling Depression
kesehatan mental
Apa Itu Smiling Depression
cara cegah depresi
depresi
Depresi Tersenyum
gangguan mental
media sosial
mental health
Serambinews
Lebih Pilih Curhat ke ChatGPT Daripada Manusia? Ini Alasan Remaja Jauh dari Orang Terdekat |
![]() |
---|
Jangan Diabaikan! Ini Bahaya Mimpi Buruk untuk Kesehatan Mental dan Fisik |
![]() |
---|
Apa yang Terjadi Jika Kamu Duduk Lebih dari 10 Jam Sehari? Ini Jawaban Mengejutkan Dari Para Ahli! |
![]() |
---|
Sering Pakai Headset atau Earphone? Kenali Gejala Awal Gangguan Pendengaran hingga Kesehatan Mental |
![]() |
---|
Apa Itu Manusia Tikus di China? Psikolog Jelaskan Fenomena Baru Cara Gen Z Melawan Kesehatan Mental |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.