Pojok Humam Hamid

Indonesia dan BRICS: Posisi Bebas Aktif dan Ketidaksenangan AS

Di tengah semua itu, bendera Merah Putih Indonesia berkibar. Bukan di pinggir lapangan, tapi di tengah gelanggang BRICS.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

BRICS, jika dimainkan dengan cerdas, bisa menjadi jaringan versi modern, bukan dengan layar dan dayung, tapi dengan diplomasi dan perjanjian dagang.

Namun, masuk BRICS juga berarti masuk gelanggang penuh persaingan kepentingan. 

Di sana ada Cina dan India yang saling curiga, Rusia yang berkonflik dengan Barat, Brasil dengan politik domestik yang labil. 

Indonesia harus memastikan, datang ke meja itu dengan agenda sendiri, bukan sebagai penumpang di kapal orang lain.

Ancaman tarif Trump justru menjadi pengingat bahwa di dunia sekarang, keamanan ekonomi tidak cukup dijaga dengan hubungan bilateral yang hangat. 

Ia butuh kaki cadangan, pasar alternatif, jalur pasokan diversifikasi, dan kekuatan domestik yang sanggup menyerap guncangan.

Diplomasi, dalam arti ini, adalah seni mengatur jarak.

Probowo-Indonesia, harus cukup dekat dengan Washington untuk tetap berdagang, tapi cukup jauh untuk tidak terseret ke dalam orbit perintah tunggal.

Sama halnya, Indonesia harus cukup aktif di BRICS untuk memetik manfaatnya, tapi cukup bebas untuk tidak ikut terbawa ambisi yang bukan milik kita.

Bayangkan sebuah pohon yang tumbuh di perbatasan gurun dan hutan. 

Dari satu sisi, matahari memberi energi dan peluang.

Dari sisi lain, angin panas membawa badai kecurigaan dari kawan lama. 

Pohon itu hanya akan bertahan jika akarnya menghujam dalam, ke tanah ekonomi domestik yang kuat, pasar ekspor yang terdiversifikasi, dan politik luar negeri yang konsisten pada kompas bebas aktif.

Bebas aktif bukan artefak museum.

Ia adalah mekanisme bertahan yang lahir dari sejarah panjang kita, dari KTT Non Blok-Asia Afrika, Bandung 1955.

Pertemuan yang digagas Sukarno itu menantang dua blok besar, hingga manuver Orde Baru yang menyeimbangkan Barat dan Timur.

Ini adalah pengingat bahwa di dunia yang makin bising, suara yang tenang justru bisa memegang kendali.

Belajar menari di antara dua matahari

Trump mungkin berharap ancamannya akan membuat Indonesia ragu. 

Tapi sejarah sering berpihak pada mereka yang mengubah tekanan menjadi peluang. 

Jika dimainkan dengan tepat, tarif itu bisa menjadi katalis untuk mempercepat diversifikasi ekonomi dan memperkuat aliansi baru.

Ketika arsip sejarah abad ke-21 nanti dibuka, mungkin orang akan melihat 2025 bukan sebagai tahun Indonesia tunduk pada satu kutub, tapi sebagai tahun kita belajar menari di antara dua matahari. 

Indonesia tetap harus mampu menjaga jarak agar tidak terbakar, tapi cukup dekat untuk menyerap panasnya. 

Sebuah langkah yang tidak hanya menjaga kita tetap hidup di panggung dunia, tapi membuat kita relevan di drama besar sejarah yang sedang berlangsung.

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.

Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved