Berita Langsa

Markas Besar Marsose di Tangse Dihuni Pasukan Khusus dan Kejam, Tim Unsam Ungkap Hasil Penelitian

Pusat Kajian Sejarah Unsam kembali melakukan penelitian dan mencari lokasi Markas Serdadu Marsose Belanda di Tangse Pendalaman Pidie

Penulis: Zubir | Editor: Muhammad Hadi
Dok Foto Dr Usman
MARKAS MARSOSE BELANDA - Tim Kajian Sejarah Unsam Langsa saat berada di salah satu sisa bangunaN Pusat Markas Marsose Belanda, di Tangse, Pidie. 

 Laporan Zubir | Langsa

SERAMBINEWS.COM, LANGSA - Pusat Kajian Sejarah Universitas Samudra (Unsam) kembali melakukan penelitian dan mencari lokasi Markas Serdadu Marsose Belanda di Tangse Pendalaman Pidie.

Yaitu paska ditemukan lokasi Istana kerajaan Aceh kedua, pada masa Sultan Muhammad Daud Syah yang bertahan selama 20 tahun (1883-1903) di Keumala Dalam.

Pusat Kajian Sejarah Unsam itu diketuai oleh Dr. Usman, M.Pd., dan dibantu Usman, S.Pd., M.Pd., Husni Azhahir, M.Pd serta Muhd. Zaini, M.Pd., sebagai pendamping dari Dosen Sejarah Unigha dan Syaibaini Yusuf, warga Tangse.

Penelitian Markas Serdadu Marsose Belanda dilakukan Dosen Unsam ini pada tanggal 5 Agustus 2025 lalu, yang hasilnya dikirimkan kepada Serambinews.com, Minggu (10/8/2025).

Menurut Dr. Usman, setelah direbutnya Istana Keumala Dalam, Serdadu Marsose terus merayap merebut markas-markas gerilyawan Muslimin Aceh kala itu.

Terutama wilayah sekitar pendalaman hutan Pidie, yaitu dengan melakukan ekspedisi operasi militer besar-besaran sekaligus dengan upaya membuka rute penggunungan hingga tembus ke Tangse, mulai dari Lamlo.

Kemudian terus Belanda membelah Glee Meulinteung, pendakian melalui Keumala Dalam Pidie, dengan menggunakan kendaraan Gajah.

Baca juga: Kisah Abi Nyak Jali Diburu Marsose Belanda

Serdadu Marsose di bawah kendali Johannes Benedictus van Heutsz, bergerak cepat menjelajahi seluruh titik-titik objek penting di hutan yang sekarang disebut Kawasan Ulu Masen, kawasan hutan tropis pendalaman Tangse Pidie.

Aksi serdadu Marsose pimpinan Joannes Benedictus Van Heutsz, terus mengejar gerilyawan Aceh ke pendalaman Pidie, Tangse hingga Geumpang.

Pimpinan Ulama Tiro, yaitu Chik Mahyiddin dan Chik Ma’ad Muda (keduanya putra Chik Muhammad Amin, keturunan Chik Muhammad Saman Tiro).

Bahkan Habib Teupin Wan, asal Tangse salah satu tokoh paling gigih dalam Perang Aceh melawan serdadu marsose di hutan pendalaman Pidie.

Pihak pasukan marsose, selain mengejar gerilyawan juga giat merintis pusat markas pertahanan Serdadu Marsose di Tangse sekitar 58 km, hingga pendalaman Pidie melewati rute kaki Gunung Halimon, berhawa dingin dan berawan kabut.

Dengan susah payah dan penuh rintangan telah dilalui oleh serdadu Marsose Belanda di Tangse, untuk menaklukan negeri di awan sejuk ini. 

Baca juga: Perlawanan terahadap Marsose Belanda di Gampong Bucue

Tentu saja, serdadu marsose Belanda tidak sekedar datang, singgah dan membangun markas serdadu begitu saja. 

Pastinya, mereka telah melakukan survei dan penelitian potensi alam dataran tinggi Keumala Dalam dan Tangse kala itu. 

Sebab disekitar kaki Gunung Halimon itu dianggap istimewa bagi bangsa Eropa (Belanda) ketika itu.

Bagi mereka sangat mungkin wilayah Tangse yang dijuluki “Kutaraja yang kedua” bagi Hindia Belanda, berada di wilayah pendalaman Aceh Pidie, dengan kondisi udaranya sejuk seperti dinginnya di Eropa. 

Sekalipun rute menuju ke Tangse pendalaman Pidie itu sangat berat dan penuh rintangan dan tantangan, maka Belanda selain menggunakan kendaraan Gajah.

Marsose juga merekrut jasa/tenaga orang-orang di luar Aceh (Ambon dan Sulawesi) yang “dibayar” dengan menjadi tentara khusus dari satuan militer Marsose.

Mereka dijadikan sebagai pasukan kontra-gerilya yang terlatih untuk menghadapi perlawanan rakyat.

Pasukan mersose bayaran itu dibentuk oleh (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) dari satuan militer Hindia Belanda untuk menghadapi perlawanan aksi gerilya para pejuang sejati Kerajaan Aceh Darussalam.

Yang telah hijrah kepedalaman Tangse, di bawah para Ulama Tiro, mulai Chik Saman Tiro hingga sampai Chik Ma’ad, putra terakhir dari Chik Muhd. Amin Tiro.

Baca juga: Pocut Baren, Pemimpin Pasukan Gerilya dan Penyair di Masa Perang Aceh

Berkisar dari hal di atas, peneliti mencari jejak atau lokasi Asrama Serdadu Marsose Belanda di Hutan Rimba Tangse Pidie, yaitu bagian dari Kutaraja di pengasingan pendalaman Pidie

Hasrat peneliti, yaitu meninjau langsung ke bekas lokasi asrama/barak serdadu Belanda.

Tatkala peneliti ke lokasi Markas tersebut, mula-mula menyaksikan bahwa bekas areal asrama serdadu kolonial Belanda itu sangatlah strategis letak geografisnya.

Yaitu keberadaan pembangunan Asrama Militer Kolonial Belanda di pegunungan yang nyaman serta strategis di Tangse, pendalaman Pidie

Areal keberadaan lokasi itu sangatlah strategi dan nyaman dari posisi letaknya.

Disekitarnya dikelilingi oleh perbukitan/penggunungan Tangse hawa dingin, dan berhadapan dengan gunung Halimon bagian utaranya. 

Keberadaan atau letak asrama serdadu Marsose itu masing-masing adalah, sebelah Barat dengan Cot Sidom Apui, sebelah Timur berbatasan dengan Gunong Singgah Mata.

Lalu pada bagian selatan berbatas dengan Gunong Ulee Gunong/Cot Lombo atau bahasa Belanda "Landbouw" yang berarti tanah pertanian, dan bagian utara berbatas dengan Gampong Krueng Meriam dan Krueng Seuke.

Menurut keterangan tokoh di Tangse, Syarbaini Yusuf (54), dijelaskan bahwa keberadaan Markas Serdadu Marsose Belanda di Tangse dengan posisinya yaitu sebelah Utara Gampong Krueng Meurindu.

Baca juga: Ancaman Bom Sisa Perang Aceh

Selain itu, saat melakukan penelitian, Tim Peneliti Sejarah Unsam ini juga menemukan bukti-bukti situs historis dari bekas tinggalan/aset Asrama Serdadu Marsose Belanda di pendalaman Penggunungan Tangse.

Yaitu 2 unit kolam renang Belanda yang sekarang dijadikan sawah, 1 unit lapangan bola voli, 3 unit salinan permandian, 1 kuburan Belanda, 1 unit bekas perumahan Belanda/bekas asrama Belanda dan 1 unit WC.

Juga terdapat 1 bangunan mess tempat tinggal sementara untuk serdadu/tentara atau anggota serdadu marsose, 1 unit lokasi benteng pertahanan atau tempat berlindung.

Lalu, 1 lapangan latihan serdadu yang sekarang difungsikan sebagai aktivitas lapangan upacara HUT RI setiap tahun di Kecamatan Tangse.

Termasuk bekas asrama serdadu Marsose Belanda yang sekarang bekas asrama Belanda dihuni oleh anggota TNI. 

Selain itu bahwa keberadaan markas terbesar kedua di pendalaman Tangse Pidie pendalaman Aceh adalah yang terbesar kedua, setelah markas besar serdadu Belanda di Kutaraja kala itu.

Markas itu adalah sebagai upaya pertahanan kolonial Belanda di Aceh dalam menahan/menangkal aksi dari gerakan Gerilyawan Chik Mahyeddin dan Chik Ma’ad Tiro kala itu. 

Bahkan di daerah pendalaman dimaksud merupakan salah satu markas yang dianggap sangat efektif dan strategis serta memiliki pengaruh besar di Aceh.

Baca juga: Makmeugang: Tradisi Bansos ala Sultan Aceh

Terutama dalam konteks perencanaan atau tindakan untuk mencapai keberhasilan dalam tindakan mengantisipasi aksi-aksi gerilyawan atau pejuang Muslimin Aceh kala itu. 

Konon dari hal tersebut, diantara beberapa perwira Marsose yang berperan penting dalam operasi di wilayah Pidie sebagai antisipasi aksi gerilyawan Aceh ini, adalah Letnan Darlang dan Letnan Jenee. 

Pasukan khusus

Sementara Komandan Operasi Lapangan Serdadu Marsose dipimpin oleh Kapten J.J. Schmidt di wilayah Tangse dan Geumpang Pidie yang sangat kejam. 

Serdadu Marsose Belanda tidak hanya sekedar membangun tangsi atau asrama di Tangse.

Namun juga rumah perwira dengan fasilitas kolam bertingkat di sekitar alur Krueng Muko, Keude Tangse

Pasukan ini dikenal sebagai pasukan khusus yang terlatih untuk perang gerilya.

Sering kali digambarkan sebagai pasukan yang kejam dan brutal dalam penumpasan perlawanan rakyat Aceh. 

Baca juga: Kerajaan Aceh Punya Dua Istana, Begini Kisah Sultan Mengungsi dari Kraton ke Keumala Dalam

Jejak-jejak atau bukti pasukan Marsose Belanda selama operasi militer di pendalaman Pidie, antara lain di Gampong Blang Malo, Tangse, Aceh.

Yaitu sebuah bangunan tempat duduk serdadu Belanda, yang terbuat dari beton disebut “Panteu Marsose” yang dibangun sekitar tahun 1925,

Saat ini area itu sudah menjadi kebun milik Zakaria Saman atau Apa Karya, mantan tokoh pejuang GAM, yang berada di Dusun Kuala Panteu, yaitu jelang pendakian ke lembah penggunungan Tangse

Di buku-buku tentang sejarah Aceh, baik karangan H.C. Zentraaff dan Muhammad Said, dilihat bukti-bukti serdadu Marsose Belanda menjelajahi rute Blang Malo serta Tangse.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (VIII) - Al Mukammil: Soft Power dan Dansa Diplomasi

Sebagian bangunan Belanda itu masih tersisa sampai sekarang, seperti Panteu Marsose dan Asrama Belanda di Keude Tangse

Belanda dengan susah payah tiba di dataran Tangse di ketinggian 600-1200 meter di atas permukaan laut/mdpl. 

Tidak hanya itu, tentara Kolonial juga sampai di Mane dan Geumpang serta menaklukan Gunong Puet Sago di ketinggian 2431 mdpl.

"Bahkan masih ada bekas konstruksi jembatan Lhok Kuala perbatasn Tangse-Gumpang atau Gampong Blang Jambo Mie," tutup Dr. Usman. (*)

Baca juga: Ini Enam Bukti Sejarah Kejayaan Kerajaan Aceh Masa Sultan Iskandar Muda Antara 1607-1636 M

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved