Jurnalisme Warga
Pengalaman Pertama Menulis Buku
Awalnya, rencana menulis buku itu muncul ketika ngobrol di rumah bersama keluarga. Ide itu muncul dari ayah atau biasa kami panggil Abi.
MUTIARA ADIVA, murid baru SMP Sukma Bangsa Lhokseumawe, melaporkan dari Panggoi, Kota Lhokseumawe
Alhamdulillah, buku pertama saya sudah terbit bulan Juli lalu. Judulnya, “Catatan Harian Adiva”. Buku ini dicetak di Yogyakarta dan kini sudah menjadi tambahan koleksi di Perpustakaan Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe.
Awalnya, rencana menulis buku itu muncul ketika ngobrol di rumah bersama keluarga. Ide itu muncul dari ayah atau biasa kami panggil Abi. Selama ini kami hanya disuruh membaca buku saja. Entah kenapa tiba-tiba malam itu kami juga disuruh untuk menulis buku. Saya tidak yakin bisa menulis buku karena kalau buku pastinya tebal dan saya tidak tahu harus menulis apa.
Setelah ngobrol malam itu, ide yang ingin saya tulis adalah tentang diri saya. Tokoh utama di buku itu adalah saya. Kata abi, saya bisa menulis tentang keseharian, momen bersama keluarga, cerita di sekolah, dan di tempat mengaji. Saya sepakat, akan lebih mudah dalam menulis karena saya yang mengalaminya.
Saya menulis di malam hari. Setelah shalat magrib, saya membaca Al-Qur’an, setelah itu biasanya mengulang pelajaran di sekolah, barulah menulis cerita untuk buku ini. Saya merasa kesulitan untuk mulai menulis. Saya sering kali tidak tahu harus memulai dari mana. Terkadang sudah 30 menit, tapi saya belum menulis sepatah kata pun. Namun, abi akan selalu memantau saya sudah menulis atau belum. Jika belum, terkadang dikasih pertanyaan. Dari pertanyaan itu saya mulai mengarang cerita berdasarkan pengalaman hari itu.
Ada kalanya pengalaman di hari itu tidak langsung saya tulis. Jadinya, beberapa hari kemudian baru saya tulis. Nah, untuk mengingat kembali cerita yang sudah berlalu, itu juga menjadi masalah tersendiri bagi saya.
Saat menulis, terkadang saya juga dilanda kantuk yang sangat berat. Ketika di sekolah sudah capek, sorenya juga pergi mengaji, dan malamnya saya harus mengulang pelajaran sekolah.
Jika ada pengalaman harian saya yang berkesan, abi dan umi saya pasti akan heboh. Mereka langsung meminta agar pengalaman itu ditulis. Misalnya, saya pernah mengikuti lomba dai cilik di sekolah. Tidak ada yang menyangka, saya bisa dapat juara 2. Begitu sampai di rumah, saya langsung diingatkan untuk jangan sampai lupa menulis pengalaman ikut lomba dan menang di cabang dai cilik. Jika saya belum menulis atau belum menyelesaikannya, pasti akan selalu ditanyakan.
Ketika menulis, terkadang saya sambil bernyanyi kecil atau mendengar musik. Tentu saja, saya tidak menulis setiap malam. Ketika ada cerita menarik saja, baru malamnya saya tulis.
Buku siap dicetak
Ketika buku akhirnya selesai ditulis, saya tidak menyangka sudah menulis sebanyak ini. Total tulisannya 31 judul.
Saya menulisnya di buku catatan harian saya menggunakan pensil. Jika salah, saya bisa menghapusnya dan menulis ulang. Isi buku harian itu diambil oleh abi dan ditulis ulang di laptop. Akan tetapi, abi tidak mengetik tulisan saya itu, melainkan hanya membacanya saja dan suara abi langsung tertulis dengan sendirinya di laptop. Saya tidak tahu bagaimana caranya voice bisa berupa otomatis menjadi teks. Beberapa judul tulisan, saya juga ikut membacanya di aplikasi ’Voice 2 Text’ atau transcriptor itu dan saya lihat sendiri kalau suara saya itu muncul dalam bentuk teks di laptop.
Jadinya, abi saya nggak capek menulis ulang. Cukup dengan membaca saja dan suara bacaannya berubah menjadi teks tulisan.
Tak lama kemudian, setelah tulisan sudah ada di laptop, abi menghubungi temannya di Jogja untuk dicetak jadi buku. Tulisan siswa SD Sukma Bangsa Lhokseumawe juga dicetak di Jogja. Kata abi lebih murah di sana, hasilnya juga sangat bagus, dan bisa dicetak dalam jumlah sedikit.
Sekitar dua bulan kemudian buku saya itu sudah siap dicetak. Saya sangat senang. Saya seolah-olah sudah menjadi penulis hebat. Saya tidak menyangka, jika selama ini saya suka membaca bukunya Tere Liye, sekarang saya sudah bisa membaca buku saya sendiri.
Tak lama kemudian, buku versi yang sudah dicetak itu pun sampai di rumah, dikirim dari Yogyakarta. Keluarga, nenek dan kakek, semuanya mengucapkan selamat atas terbitnya buku saya. Selain keluarga, saya tidak memberi tahu orang lain bahwa saya sudah menulis buku. Teman di sekolah pun tidak tahu.
Pelajaran penting yang saya dapatkan dari pengalaman menulis ini adalah bertambahnya kosakata baru dan semakin lancer menulis. Ternyata, saya juga bisa menulis buku. Saya yakin, semua orang juga bisa menulis buku seperti saya.
Saran saya, jika ada teman-teman yang masih SD atau SMP yang ingin menulis buku, mulai saja dulu menulis. Tidak apa-apa jika banyak salah atau kurang, nanti lama-lama akan jauh lebih baik. Saya pun berencana untuk menulis buku ke-2 saya.
Adik juga tulis buku
Muhamamd Afkar, adik saya yang masih kelas 3 SD, juga sudah berhasil menulis buku. Judul bukunya, “Petualangan Afkar”. Jadinya, ketika setiap malam menulis, saya tidak sendirian, ada adik saya juga. Afkar juga menulis tentang kesehariannya. Tentang cerita di rumah, di sekolah, dan di tempat mengaji. Dia juga pernah salah ketika menulis dan dia perbaiki lagi.
Begitu juga dia kadang-kadang merasa malas ketika menulis. Saya juga merasakan itu. Ketika saya bertanya pada adik saya, apa yang dia rasakan saat menulis? Kata Afkar, dia merasa lupa pada hal lain saat menulis. “Oh, itu namanya sedang fokus,” abi saya menjelaskan.
Setiap malam, setelah selesai menulis, kami berdua menyerahkan hasil tulisan kami ke abi. Lalu, abi membacanya. Terkadang, kami harus menulis lagi untuk menambahkan cerita. Saya dan adik saya sering lupa menulis tentang perasaan atau bagian yang menarik.
Saya dan adik menulis semua cerita itu hampir satu tahun lamanya. Awal menulis ketika saya naik kelas 6 SD dan baru selesai ketika menjelang lulus dari SD. Bahkan bukunya baru dicetak ketika saya lulus SD.
Syukurnya, biaya percetakan buku ini ditanggung oleh SD Sukma Bangsa Lhokseumawe karena di sekolah kami ada program yang namanya “Kenduri Buku”. Jadi, siapa pun yang mau menulis buku akan dibiayai oleh sekolah. Guru-guru di Sekolah Sukma Bangsa juga menulis buku dan ongkos cetaknya dibayar oleh sekolah. Ada juga yang menulis bersama teman-teman sekelas. Ada yang menulis pantun, puisi, cerita sehari-hari, dan banyak lagi. Setiap satu kelas biasanya akan menerbitkan satu buku. Setiap tahun begitu.
Saya mengucapakan terima kasih kepada Abi dan Umi, juga adik Afkar yang selalu menjadi teman selama menulis, walau kadang kami sering berantem. Terima kasih juga kepada wali kelas saya, Bapak Zaldi, yang telah menyemangati saya, dan kepada seluruh guru SD Sukma Bangsa Lhokseumawe. Terima kasih kepada kepala SD yang telah membayar biaya cetak buku kami. Buku “Catatan Harian Adiva” dan “Petualangan Afkar” kini sudah tersedia sebagai koleksi di Perpustakaan Sukma Bangsa Lhokseumawe. Saya dan adik saya masing-masing mendapatkan satu buku sebagai kenang-kenangan.
Melestarikan Budaya lokal Melalui Festival Bungong Jeumpa |
![]() |
---|
Dampak Kehadiran Es Krim Pabrik terhadap Industri Rumahan |
![]() |
---|
Ilmu, Keakraban, dan Keteladanan, Seminggu Bersama Prof Irwan Abdullah |
![]() |
---|
Suara Lirih di Balik Bilik Suara |
![]() |
---|
Bu Nur, Sosok Guru Panutan SMAN 1 Baitussalam yang Purna Tugas Setelah 36 tahun Mengabdi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.