Kupi Beungoh
Urgensi Pendidikan Politik untuk Merawat Perdamaian Aceh Pasca Dua Puluh Tahun
KPU tidak hanya bertugas menghitung suara, tetapi juga membangun pemahaman politik yang sehat di masyarakat.
Narasi perdamaian harus terintegrasi dalam pendidikan pemilih.
Aceh punya sejarah panjang konflik, sehingga masyarakat perlu diingatkan bahwa perbedaan politik harus diselesaikan secara damai.
KIP Aceh dapat bekerja sama dengan tokoh agama, akademisi, dan organisasi masyarakat untuk menyebarkan pesan ini melalui dayah, meunasah, kampus, dan media lokal.
Nilai lokal dan syariat sebagai pondasi
Pendidikan politik di Aceh harus memadukan:
Pertama, nilai syariat Islam sebagai identitas daerah.
Kedua, pengalaman sejarah lokal tentang pahitnya konflik.
Ketiga, Prinsip demokrasi modern yang menghargai perbedaan.
Program seperti “dayah politik”, forum lintas tokoh agama, dan diskusi publik di meunasah bisa menjadi media internalisasi nilai politik damai.
Tantangan Dua Puluh Tahun Pasca Perdamaian
Meski relatif damai, Aceh masih menghadapi tantangan serius:
Pertama, politik uang yang merusak demokrasi.
Kedua, polarisasi politik berbasis kelompok lama.
Ketiga, kesenjangan ekonomi yang memicu ketidakpuasan.
Pendidikan politik harus mengajarkan bahwa kekuasaan adalah sarana memperbaiki keadaan, bukan memperdalam perpecahan.
Perdamaian Aceh merupakan taman indah yang tumbuh dari tanah yang pernah basah oleh darah dan air mata.
Pendidikan politik adalah air yang menyiram taman itu agar tetap subur.
Dengan memadukan semangat MoU Helsinki, amanah UUPA, bimbingan KPU RI, nilai-nilai agama, dan petuah ulama, Aceh bisa mempertahankan statusnya sebagai salah satu daerah pasca-konflik paling stabil di dunia.
Pepatah Aceh mengingatkan: “Pantang peudeung meulinteung sarong, pantang rincong meubalek mata, pantang ureung di teuoh kawom, pantang hukom peujeut peukara”.
Yang bermakna: pantang pedang terbalik sarungnya, pantang rencong terbalik matanya, pantang seseorang disebut buruk oleh kaumnya, dan pantang hukum melahirkan perkara baru.
Semua ini menegaskan pentingnya keterbukaan, partisipasi, dan saling menghormati dalam politik.
Lantas sudahkah kita berpartisipasi dan berkontribusi dalam perdamaian Aceh dan dunia?
Wallahu muwaffiq ila Aqwamith Thariq.
*) PENULIS adalah Komisioner KIP Pidie Jaya dan Mantan Panwaslih Pijay.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Kupi Beungoh lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.