Liputan Eksklusif Aceh

Terungkap Penyebab Upaya Pengendalian Buaya tidak Efektif, Ternyata Regulasinya tak Jelas

"Ketidakjelasan ini menyulitkan respon cepat saat konflik terjadi," tukas salah seorang pamong senior di Pemkab Aceh Singkil itu.

Penulis: Dede Rosadi | Editor: Saifullah
Serambi Indonesia
REGULASI PENANGANAN BUAYA - Kepala Dinas Perikan Aceh Singkil, Drs Saiful Umar, MSi mengungkapkan, penyebab tak efektifnya penanganan populasi buaya karena regulasi yang tidak jelas. 

dengan buaya antara lain sosialisasi dan edukasi. 

Dimulai dengan pemetaan lokasi rawan yang dapat dilakukan BKSDA, Dinas Perikanan, dan pemerintah desa. 

Setelah itu, ditindaklanjuti dengan pemasangan papan peringatan.

Lalu sosialisasi berkala prilaku aman, seperti tidak mandi dan mencuci di lokasi yang sudah terpantau ada buaya.

Menghindari aktivitas jam aktif buaya di tepi sungai saat pagi dan sore. 

Berikutnya pelatihan penanganan darurat, tentang prosedur evakuasi korban dan melapor ke petugas.

Selanjutnya langkah mitigasi fisik, dengan pemasangan pagar/pembatas dititik pemandian umum atau pelabuhan rakyat, agar buaya tidak masuk area aktivitas manusia.

Pemasangan lampu penerangan di area rawan untuk mencegah aktivitas diam-diam buaya di malam hari di sekitar dermaga atau lokasi tambatan perahu.

Baca juga: Buaya Tersangkut Jaring Nelayan Sungai Tanah Bara Aceh Singkil Jadi Tontonan Warga

Pembuatan tempat pembuangan bangkai ternak terpusat supaya tidak membuang bangkai ke sungai yang memancing buaya mendekat.

Tak kalah pentingnya adalah langkah mitigasi pengelolaan populasi dengan pendataan dan monitoring populasi dengan survei berkala jumlah buaya

Lalu relokasi buaya yang sudah terbiasa mendekat permukiman penduduk.

Pengaturan habitat dengan menjaga keseimbangan rantai makanan, misalnya melarang perburuan biawak dan predator alami lainnya.

Sedangkan mitigasi jangka panjang antara lain; Program ekowisata buaya dengan mengubah potensi buaya menjadi aset wisata edukasi, sehingga masyarakat mendapat manfaat ekonomi sambil menjaga jarak aman.

Menerapkan zona larangan aktivitas di beberapa muara atau segmen sungai yang dijadikan konservasi buaya tanpa akses manusia.

Pembuatan regulasi daerah khusus yang mengatur tata cara hidup berdampingan

dengan satwa liar.

Terakhir, Saiful Umar, mengemukakan solusi yang dapat dilakukan, yaitu menjaga rantai makanan dan ekosistem.

Tujuannya mengembalikan keseimbangan ekologi sehingga buaya tetap berada di habitat alaminya dan tidak terdorong mendekat manusia.

Dimulai dengan menjaga ketersediaan mangsa alami melalui pembatasan penangkapan ikan berlebihan (overfishing) di wilayah sungai/rawa yang jadi habitat buaya.

Lestarikan populasi satwa mangsa (ikan, burung air dan reptil kecil) dengan pengaturan alat tangkap dan musim tangkap.

Perlindungan habitat dengan melindungi rawa, hutan mangrove, dan tepian sungai dari alih fungsi lahan.

Rehabilitasi habitat rusak dengan penanaman kembali mangrove atau vegetasi tepi sungai.

Penangkaran dan Pengelolaan Populasi

Bila populasi buaya terlalu tinggi atau sering muncul di permukiman, maka harus dilakukan pengendalian aktif. 

Dengan pembuatan pusat penangkaran (rescue center) di lokasi aman jauh dari permukiman.

Bisa juga dengan model penangkaran semi alami. 

Model ini dilakukan dengan penangkaran buaya di area luas menyerupai habitat asli, digunakan untuk wisata edukasi, penelitian, dan menjaga stok genetik.(*)

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved