Kupi Beungoh
Mampukah Damai Aceh Menuju Kesejahteraan ?
Dua dekade damai telah lewat. Aceh menerima dana otonomi khusus, kewenangan diperluas, dan hak lebih besar atas hasil migas
Oleh: Akhsanul Khalis
Dua dekade damai telah lewat. Aceh menerima dana otonomi khusus, kewenangan diperluas, dan hak lebih besar atas hasil migas, Namun, janji kesejahteraan tak kunjung tiba.
Angka kemiskinan tetap tinggi, industri tak tumbuh, dan Aceh masih terperangkap dalam kutukan sumber daya.
Akhirnya, kita sampai terlalu percaya dengan kutukan itu. Seringkali kutukan sumber daya dilihat dengan kacamata kosmologis, dibandingkan hukum kausalitas (sebab akibat).
Padahal kutukan itu berulang di banyak tempat: Afrika, Asia, hingga Aceh. Kekayaan alam justru menjadi jebakan ketika institusi politik dan ekonomi dikuasai elite (extractive institutions) yang menutup ruang inovasi, seperti digambarkan Acemoglu dan Robinson dalam Why Nations Fail.
Pola itu kini kentara di Aceh: APBA habis untuk belanja rutin dan proyek mercusuar yang lebih memoles pencitraan ketimbang produktivitas, sementara elit politik sibuk mengamankan rente, bukan menyiapkan fondasi ekonomi yang bisa mengangkat rakyat keluar dari kemiskinan.
Baca juga: Pesona Wisata Aceh di Stan Disbudpar, Raih Predikat Terbaik di Expo Hari Damai
Objek eksploitasi
Melihat masalah ini hanya dari teori kelemahan institusi tidak cukup. Aceh adalah bagian dari ekonomi global yang bekerja dengan logika neo-imperialisme. Seperti dijelaskan Intan Suwandi dalam Value Chains: The New Economic Imperialism.
Nilai tambah terbesar dari sumber daya alam di negara berkembang justru dieksploitasi perusahaan di negara industri maju melalui mekanisme value capture.
Mereka mengendalikan harga, menetapkan standar produksi, dan mengatur kontrak pasok dari jarak jauh (indirect control), sambil menekan produksi dengan cost-price squeeze: harga ditekan serendah mungkin, sementara dampak lingkungan dibebankan pada daerah penghasil. Hasilnya, kekayaan lokal menguap sebelum sempat menjadi pembangunan nyata bagi masyarakat.
Sejarah pengelolaan SDA di Aceh juga menunjukkan pola relasi timpang. Pada masa Orde Baru, pengelolaan migas menganut sentralistik. Hak eksklusif bagi perusahaan besar dan pemerintah pusat.
Masyarakat lokal tersingkir, sementara keuntungan deras mengalir ke luar. Pasca-damai, kontrak jangka panjang yang diteken puluhan tahun lalu masih berlaku, sering kali tak bisa dinegosiasi ulang karena tekanan hukum internasional dan lemahnya kapasitas pemerintah daerah.
Model kontrak sektor ekstraktif pun memperparah ketimpangan. Royalti kecil, tenaga kerja lokal terbatas, dan teknologi tetap dimonopoli perusahaan luar.
Baca juga: Janji Damai Omong Kosong? Putin Sebut Ingin Damai, Tapi Malam Itu Juga Ukraina Dibombardir 270 Drone
Aceh hanya menjadi “penyedia lapak” lahan dan izin. Inilah indirect control: kendali harga, teknologi, dan pasar berada di luar Aceh. Surplus nilai keluar, sementara infrastruktur dan lapangan kerja berkualitas tak kunjung hadir.
Contoh nyata posisi hulu rantai nilai global. Gas alam Arun diekspor mentah selama puluhan tahun, menghasilkan produk petrokimia bernilai tinggi yang diproses di luar negeri, sementara di Aceh hanya tersisa PT PIM.
Batubara dari Aceh Barat dikirim dalam bentuk curah, sawit hanya diolah menjadi CPO, hasil laut dijual segar atau beku. Industri pengolahan modern nyaris absen.
Alih-alih mendapatkan dana bagi hasil migas dengan porsi di angka 70 persen, justru tanpa kendali atas industri pengolahan, riset, dan distribusi tidak akan mengubah struktur ekonomi secara fundamental.
Persoalan itu terbukti dengan keberadaan PT Pema, BUMD yang digadang-gadang sebagai simbol kemandirian migas Aceh. Terdengar enak di kepala (cot langet). tetapi sejauh ini dampaknya bagi masyarakat masih minim. Hilirisasi tak kunjung dikuasai, sementara masalah klasik terus berulang: politik, birokrasi, dan manajemen yang lemah.
Direksi dan komisaris lebih sering ditunjuk karena kedekatan, bukan kapasitas. Jika pola ini dibiarkan, hanya akan menjadi bukti bahwa otonomi khusus gagal mengubah wajah ekonomi Aceh.
Baca juga: Aceh Damai, Perspektif Jurnalistik
Menuju kemandirian dan keberlanjutan
Tak terelakkan lagi, jalan keluar dari jebakan ini menuntut solusi yang memang membutuhkan waktu—bukan seperti jenis janji politik, terkesan bombastis. Rezim Pemerintah Aceh saat ini sepatutnya belajar pada konsep Kerala Model of Development.
Kerala, salah satu negara bagian di India Selatan yang kini jadi bahan diskusi ekonom dunia. Kerala mengajarkan bahwa pembangunan tak harus mengikuti pendekatan klasik: kejar pertumbuhan ekonomi dulu, baru bicara distribusi kemudian.
Mereka justru membalik logika itu. Layanan dasar ditata sejak dini, sambil membuka ruang partisipasi masyarakat lewat koperasi, serikat pekerja, reforma agraria, hingga gerakan perempuan. Hasilnya, ketika ekonomi tumbuh, manfaatnya lebih merata. Tentu, tak semuanya mulus.
Pengangguran masih ada, remitansi dari warganya banyak bekerja di Timur Tengah: UAE, Qatar, Arab Saudi menjadi penopang penting. Tapi capaian sosial Kerala tetap jadi rujukan dunia.
PDB per kapitanya tidak jauh dari rata-rata India. Tapi indikator sosialnya mengejutkan. Harapan hidup mendekati 75 tahun, tingkat melek huruf nyaris sempurna, kesenjangan pun relatif rendah. Semua itu lahir bukan dari pabrik besar atau ekspor industri, melainkan dari pilihan sederhana: berinvestasi pada pembangunan manusia.
Pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan komunitas jadi prioritas sejak awal.
Kenapa Kerala jadi contoh? karena konsep pembangunan Aceh tidak perlu jauh membandingkan dengan negara seperti di Skandinavia atau Eropa barat yang bukan basis agraris. Aceh memiliki modal kultural, nilai religius masyarakat, dan semangat kolektivitas.
Agar Aceh tidak terus terjebak dalam klausul merugikan. memastikan bahwa SDA tidak boleh berhenti sebagai komoditas mentah yang dijual murah keluar daerah. Realisasinya adalah Aceh harus merubah paradigma pembangunan.
Aceh secara proses bertahap keluar dari jebakan ekonomi ekstraktif (sumber daya fosil) beralih ke ekonomi terbarukan dan ramah lingkungan. Tata kelola anggaran yang sudah ada: dana otsus Aceh harus diubah: dari belanja konsumtif ke investasi produktif yang menciptakan rantai nilai baru.
Terlebih agak skeptis membangun industri hilir yang berbasis pada SDA (minyak dan gas, batubara, sawit, dan hasil laut perlu diolah menjadi produk bernilai tinggi sebelum keluar dari Aceh tanpa dikuasai dan dikontrol oleh oligarki luar, karena kapasitas kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) masih sangat kurang, seperti inovasi teknologi.
Salah satunya terpenting mendongkrak SDM, Pemerintah Aceh dapat menjalin kemitraan strategis dengan lembaga riset memanfaatkan universitas dan politeknik di Aceh sebagai pusat riset terapan bagi pembangunan berkelanjutan.
Lagi pula banyak anak muda Aceh yang kuliah di kampus top dunia, ketika selesai studi, bisa arahkan sebagai inovator dan teknisi dalam mempercepat transfer dan pengembangan teknologi, jangan sebaliknya pulang ke Aceh menggantung harapan bekerja sebagai PNS.
Ke depan, investasi pada SDM bisa menjadi motor industrialisasi berbasis rakyat, terutama di sektor energi terbarukan. Jalannya bisa lewat BUMD yang profesional, koperasi hingga wakaf produktif.
Komunitas petani bisa membangun pabrik pengolahan hasil komoditas unggulan pertanian dan perkebunan: kopi, coklat, atau rempah yang dikelola langsung petani. Sementara itu, pengembangan sektor wisata, komoditas makanan halal juga tidak kalah menarik yang tentu punya nilai tawar besar.
Intinya, kekayaan alam berkelanjutan harus menjadi modal untuk menciptakan nilai tambah di rumah sendiri.
Dua dekade damai seharusnya mengubah kutukan sumber daya menjadi berkah. Aceh harus menempatkan kekayaan alam sebagai amanah, keuntungan sebagai alat keadilan, bukan monopoli elite. Segala hasil bumi kembali ke rakyat lewat layanan dasar, energi hijau, dan pembangunan berkelanjutan.
Penulis: Direktur Bidang Politik dan Kebijakan Publik, Lembaga ESGE Study Center Email: Akhsanfuqara@gmail.com
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI
Muhammad, Nabi Ramah Anak dan Perempuan |
![]() |
---|
Pajak Sama Mulianya dengan Zakat: Tafsir Baru atau Distorsi Syariat? |
![]() |
---|
Refleksi Kemerdekaan dalam Menikmati Kemerdekaan |
![]() |
---|
RAPBN 2026: Alokasi Ambisius, Harapan Besar, dan Tantangan Implementasi |
![]() |
---|
Revitalisasi Nilai-Nilai Kemerdekaan Dalam 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.