Pojok Humam Hamid

20 Tahun Aceh Damai: Gen Z, Egepe, Pesimisme Konstruktif, dan Imajinasi Tragis

Di Aceh disrupsi lebih dari tigapuluh tahun akibat konflik antara Aceh dengan pemerintah pusat telah diakhiri dengan damai.

Editor: Zaenal
YouTube Serambinews
Prof Ahmad Humam Hamid, Sosiolog dan Guru Besar USK. 

Oleh Ahmad Humam Hamid*)

Di Aceh, bulan Agustus sedikit berbeda dari provinsi lain.

Energi daerah tidak hanya dicurahkan untuk peringatan hari kemerdekaan saja.

Pada saat yang sama, Aceh juga sibuk dengan perayaan atau peringatan hari damai Aceh, 15 Agustus yang dimulai pada 2005.

Yang dimaksud adalah penandatanganan  MoU Helsinki di Finlandia.

Untuk kedua peristiwa itu, satu hal yang tak bisa dipisahkan, yakni keberadaan dan keberanjutan generasi penerus.

Uniknya, tanggal yang berbeda pada bulan yang sama, 12 Agustus adalah Hari Remaja Internasional. 

Dari ketiga tanggal dan peristiwa itu ada satu pesan dan bahkan missi yang solid dan melekat.

Kemerdekaan yang telah diperjuangkan dan berhasil 80 tahun yang lalu mesti diisi dan diteruskan.

Tujuan cita cita kemerdekaan, adil makmur untuk seluruh rakyat Indonesia adalah perjuangan tak pernah padam.

Dan ini adalah soal berkelanjutan antar generasi yang tak pernah henti.

Di Aceh disrupsi lebih dari tigapuluh tahun akibat konflik antara Aceh dengan pemerintah pusat telah diakhiri dengan damai.

Peristiwa damai itu ditabalkan dengan kesepakatan Otonomi khusus untuk Aceh.

Untuk kedua peristiwa itu, berikut dengan misinya, peran generasi mudalah pada akhirya yang akan sangat menentukan, baik dalam mencapai cita cita kemerdekaan, maupun dalam memelihara perdamaian.  

Di banyak tempat di Indonesia, peringatan hari remaja  itu menjadi momen selebrasi--potong tumpeng, lomba orasi, unggahan instagram dan berbagai konten sosial media yang bertema anak muda. 

Tapi di Aceh, hari itu seharusnya menjadi “tambo” pengingat, bukan seremoni.

Sebuah lonceng pengingat bahwa generasi yang hari ini disebut sebagai Generasi Z--anak-anak muda yang lahir setelah perdamaian Helsinki ditandatangani--, telah hidup dalam kerangka Otonomi Khusus selama hampir dua dekade. 

Namun, yang lebih penting dari usia Otsus adalah pertanyaan yang jarang diajukan.

Apa yang benar-benar telah diwariskan kepada generasi ini?

Baca juga: Masa Depan Aceh di Pundak Gen-Z dan Alpha 

Generasi sehat tapi juga "cacat"

Generasi Z Aceh adalah anak-anak dari perdamaian yang tumbuh relatif  sehat, tetapi juga ada cacatnya.

Mereka  memang sehat, karena tidak dibesarkan dalam gemuruhnya bunyi senjata, penculikan, bahkan penghilangan paksa.  

Pada saat yang sama, mereka juga hidup “cacat” karena mereka tumbuh dalam gema janji-janji pembangunan, janji kesejahteraan, janji kekhususan, yang sampai hari ini belum sangat jelas bentuknya.

Mereka mendengar bahwa Aceh istimewa, bahwa perjuangan telah membuahkan hasil, bahwa kini saatnya membangun. 

Namun ketika mereka cukup dewasa untuk menilai, yang mereka temukan adalah jurang antara kata dan kenyataan.

Memang pembangunan ada.

Jalan dibuka, gedung bertingkat tumbuh, data statistik menunjukkan angka-angka kemajuan.

Tapi pengalaman hidup sehari-hari Gen Z di Aceh memberi narasi lain. 

Sekolah kekurangan guru, kalaupun ada, sangat sedikit yang berkualitas.

Kampus yang lumayan banyak namun tak menyentuh dunia industri, komunitas pemuda bergerak tanpa dukungan, dan pemerintah  lebih sibuk mendandani baliho daripada mendengar usul apalagi kritik. 

Mereka tumbuh dalam masyarakat yang terlalu cepat menyebut kata “damai,” tapi pelit membuka ruang demokrasi dan malas bekerja keras serta tak istiqamah dengan moral. 

Damai menjadi retorika, bukan proses.

Politik lokal menjadi panggung sebagian mantan kombatan yang kini lebih tertarik membagi kekuasaan daripada menghapus akar ketidakadilan. 

Narasi perjuangan disulap menjadi alat legitimasi, seolah siapa pun yang pernah ikut gerakan bersenjata berhak memonopoli masa depan.

Di sinilah Gen Z Aceh hidup—di antara mitos dan trauma.

Mitos tentang kejayaan masa lalu, dan trauma yang diwariskan secara diam-diam melalui ketakutan untuk bertanya. 

Mereka disebut sebagai penerus bangsa, aset daerah, subjek perubahan.

Tapi siapa yang benar-benar memberi mereka ruang untuk berkembang, berkreasi, dan bicara? 

Forum kepemudaan dibentuk, tapi kebanyakan hanya menjadi pajangan. 

Ruang politik lokal--dari parlemen sampai birokrasi--masih didominasi pola patronase, klan, dan jaringan lama. 

Pemuda diminta aktif, tapi hanya dalam kerangka yang nyaman bagi elit.

Tak sedikit yang memilih keluar dari sistem, bukan karena tak peduli, tapi karena sistem terlalu sempit untuk menampung keresahan mereka.

Maka lahirlah komunitas-komunitas kecil, media alternatif, grup kolektif seni, forum diskusi, gerakan literasi, kampanye lingkungan--ruang-ruang di mana kebebasan berpendapat masih mungkin dijaga, jauh dari ruang formal yang penuh sensor dan sopan santun palsu. 

Perempuan muda pun hidup dalam tekanan ganda, diskriminasi struktural dan moralitas publik sebagai alat kontrol.

Mereka dipantau cara berpakaian, dikurung tafsir sempit, dan sering dibungkam saat bertanya soal keadilan dan peran. 

Pesimisme konstruktif dan imajinasi tragis 

Namun, Gen Z Aceh bukan generasi lembek.

Mereka mengkritik lewat Instagram, menyindir lewat meme, membangun narasi alternatif di TikTok, podcast, dan blog. 

Diam-diam mereka tahu suara mereka mungkin tak masuk berita, tapi bisa masuk kesadaran kolektif.

Konten adalah senjata mereka.

Namun semua itu belum cukup.

Membiarkan sistem berjalan tanpa gangguan berarti menyerahkan masa depan pada tangan-tangan lama. 

Inilah saatnya Gen Z Aceh mengambil posisi jelas, bukan sebagai pelengkap, tapi sebagai penggugat. 

Modalnya ada dua.

Apakah itu? Pesimisme konstruktif dan imajinasi tragis.

Pesimisme konstruktif adalah cara membaca kenyataan politik tanpa ilusi.

Gen Z harus sadar sistem ini penuh cacat, elit gagal, partai lokal maupun nasional sama saja.

Mereka lebih sibuk bagi-bagi proyek ketimbang merancang kebijakan publik yang berpihak. 

Tapi mereka tidak boleh menyerah.

Dari kesadaran ini muncul dorongan untuk mengintervensi.

Pesimisme ini bukan apatis, tapi waspada.

Meraka sama sekali  tak boleh bermental EGP-emangnya gua pikirin.

Harapan buta melahirkan kekecewaan, kritik adalah cinta yang tidak ingin dibodohi. 

Pesimisme konstruktif membuat Gen Z jernih menghadapi tipu daya politik simbolik, mendorong keterlibatan dengan kecermatan, bukan romantisme, dan menciptakan ruang sendiri. 

Bagi gen Z Aceh yang berasas pesimisme konstruktif, politik adalah menolak diam, menolak ikut arus, dan terus mengganggu kenyamanan elite yang tidak adil dan berperilaku buruk kepada publik.

Selanjutnya, imajinasi tragis adalah kesadaran sejarah.

Aceh penuh tragedi.

Mulai dari Darul Islam, DOM, konflik bersenjata, tsunami, hingga korupsi pasca-konflik yang membusuk. 

Imajinasi ini bukan untuk meratapi masa lalu, tapi agar tragedi itu tidak berulang dalam bentuk baru yang lebih senyap tapi merusak. 

Tragedi hari ini bukan penembakan, tapi pembiaran, bukan penghilangan paksa, tapi penghilangan arah. 

Aceh nyaris berjalan seperti kapal tanpa kompas, dikemudikan orang-orang yang bicara berbusa-busa tentang syariat, tapi tak pernah memberi contoh batas wilayah haram dan halal dalam urusan publik. 

Mereka bicara otonomi, tapi tak memikul beban tanggung jawabnya.

Jika keadaan ini dibiarkan, Gen Z akan mewarisi kehancuran yang ditata rapi, bukan kemuliaan.

Imajinasi tragis membuat Gen Z Aceh tidak mudah percaya, tidak mudah tertipu, tapi juga tidak sinis. 

Mereka menjaga ingatan, amarah, harapan realistis, dan perjuangan membumi. 

Bagi gen Z Aceh tidak butuh dongeng baru, tapi keberanian mengakui kegagalan utopia dan memulai narasi baru dari bawah untuk menandingi “distopia overdosis.”

Bagaimanapun, generasi Z Aceh tumbuh dalam era perubahan sosial, teknologi, dan politik yang dinamis. 

Mereka unik karena menyikapi isu lokal, nasional, dan global dengan perspektif yang menggabungkan nilai tradisional dan akses digital luas.

Peran mereka vital dalam merumuskan masa depan Aceh—tidak hanya sebagai pewaris budaya lama, tetapi sebagai aktor aktif dalam pengelolaan aspirasi dan partisipasi politik melalui media digital dan forum komunitas. 

Kesadaran mereka pada perdamaian, transparansi, dan keadilan sosial membuka peluang perubahan inklusif dan progresif. 

Meskipun  diantara sesama gen Z ada perbedaan pandangan--idealisme dan sinisme--, semangat partisipasi mereka adalah kunci menjaga stabilitas dan pembangunan.

Implikasinya luas sangat luas.

Dengan pendidikan politik yang baik dan ruang partisipasi nyata, Gen Z Aceh dapat menjadi agen perubahan menghadapi berbagai tantangan sosial-ekonomi dan politik hari ini dan masa depan.

Aceh tidak butuh dongeng baru.

Aceh butuh keberanian untuk mengakui, bahwa narasi besar itu telah gagal, dan bahwa narasi baru harus dimulai dari bawah.

Baca juga: Peran Generasi Z Membawa Bahasa Aceh ke Dunia Digital

Tidak boleh hanya menjadi penonton

Jadi, Gen Z Aceh—apa yang mesti mereka lakukan?

Diam? Menunggu? Mengeluh di grup WhatsApp?

Atau mulai menulis ulang masa depan dengan cara mereka sendiri?

Karena jika mereka lahir setelah 2005, maka mereka adalah anak dari damai.

Tapi mereka harus sadar, damai bukan hadiah. 

Damai adalah ruang kosong yang harus diisi.

Dan jika gen Z tidak mengisinya, maka mereka yang paling rakus akan melakukannya.

Itulah yang kini sedang terjadi.

Gen Z harus dan mungkin tidak perlu menjadi pahlawan.

Tapi mereka tidak boleh menjadi penonton. 

Politik bukan hanya urusan partai.

Politik adalah urusan orang-orang yang cukup peduli untuk tidak membiarkan kebusukan beranak-pinak. 

Bangun komunitas.

Produksi narasi.

Ganggu ketenangan palsu itu dengan ide, tawa, satire, dan ketegasan.

Perubahan, dalam sejarahnya,  tidak datang dari mereka yang merasa nyaman.

Dan adalah sangat aneh jika gen Z Aceh merasa kemarin, hari ini, dan besok sama saja dengan dua kata kunci, “aman” dan “nyaman”.

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved