Oleh: Zahrul Fadhi Johan
MASYARAKAT dunia saat ini sedang dihadapkan dengan kecemasan mendalam akibat penyebaran virus Corana (Corvid-19) yang berasal dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Sejak kemunculannya akhir 2019 lalu, penyakit epidemi ini menyebar begitu cepat ke berbagai negara di belahan dunia.
Berdasarkan laporan Worldometer, hingga penulis menuliskan tulisan ini, setidaknya sudah sekitar 337.570 kasus dari 192 negara yang terjangkit dengan angka kematian mencapai 14.655 kasus. Termasuk di dalamnya Indonesia yang sudah melaporkan sebanyak 524 kasus.
Beberapa negara yang tingkat penyebarannya tinggi, mereka mengambil kebijakan lockdown untuk mengantisipasi agar penyebaran virus ini tidak meluas dan memakan banyak korban.
Namun demikian, dalam hal ini, sebelum masyarakat dunia mengenal lebih luas istilah virus Corona (Corvid-19) atau SARS-CoV-2, masyarakat Aceh sejak dulu sudah memiliki pengetahuan tentang wabah penyakit epidemi yang berasal dari virus.
Menjelang abad ke-20, Aceh pernah dihadapkan dengan merebaknya wabah kolera yang dianggap sebagai pandemi global pada masa itu. Wabah tersebut dibawakan oleh serdadu Belanda dari Batavia (Jakarta) melalui penumpang kapal yang terjangkit kolera dalam pelayaran menuju Banda Aceh dengan tujuan menyerang kerajaan Aceh Darussalam.
Oleh sebab itu, dalam perspektif masyarakat Aceh, virus dikenal dengan istilah 'ta'eun', dan ada juga yang menyebutnya dengan sebutan 'ta'eut'. Kata ta'eun/ta'eut sendiri diambil dari kata serapan dalam bahasa Arab yakni 'at-tha'un' yang bermakna; penyakit epidemi, wabah penyakit, atau virus.
• Pasien Corona yang Meninggal di RSUZA Masih Berstatus PDP, Hasil Laboratorium belum Keluar
• VIDEO - New York Kota Terpadat Kini Sepi Pasca Lockdown
Adapun, penyakit ta'eun yang sangat populer dalam masyarakat Aceh yaitu ta'eun ija brok dan ta'eun geureuda sampoh. Karena, Bagi masyarakat Aceh, keduanya merupakan penyakit yang disebabkan oleh wabah virus yang dapat mengakibatkan kematian pada penderita yang terjangkit, baik manusia maupun hewan peliharaan.
Pun demikian, ta'eun ija brok adalah virus yang diperkirakan menempel pada kain kotor dan pada benda-benda tertentu yang tidak bersih. Bagi orang yang menyentuhnya dapat tertular secara langsung. Sedangkan ta'eun geureuda sampoh dapat dikatakan sebagai virus yang menimbulkan efek mematikan kepada siapapun yang terjangkiti tanpa mengenal darah, kulit dan strata sosial dalam masyarakat.
Sebagaimana yang sedang terjadi saat ini dengan virus Corona, virus ini dapat menular kepada siapapun. Penyebaran dan penularannya begitu cepat, baik melalui udara maupun akibat sentuhan dan kontak fisik dengan barang dan penderita yang sudah terjangkit Covid-19.
Obat Penangkal
Antropolog berkebangsaan Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) pernah tinggal di Aceh untuk melakukan penelitian tentang hubungan agama dengan politik rakyat Aceh. Selama kurang lebih dua tahun (1891-1892), Snouck mempelajari berbagai perilaku masyarakat Aceh yang hidup di pesisir pantai dan dataran tinggi Aceh.
Selama melakukan penelitian, banyak hal dan perilaku masyarakat Aceh yang ia temukan. Mulai dari adat istiadat, bahasa, sosial politik, tata cara beragama, sampai dengan cara pengobatan dan jenis obat yang digunakan oleh masyarakat Aceh dalam menyembuhkan beragam penyakit.
Semua itu dituliskannya dalam beberapa buku, salah satunya tercantum pada buku 'The Achehnese' yang terbit dalam dua jilid di Leyden (1906). Kemudian buku tersebut diterbitkan kembali dalam versi bahasa Indonesia oleh Yayasan Soko Guru Jakarta (1985) dengan judul 'Aceh di Mata Kolonial' Jilid I dan Jilid II.
• Beredar Info Poldasu Larang Jual Gula Pasir Medan ke Aceh, Ini Kata Wadir Reskrimsus Polda Aceh
• 5 ODP Covid-19 di Bener Meriah Diisolasi di Rumah Masing-Masing, 1 Dirujuk ke Lhokseumawe
Dalam buku tersebut, Snouck Hurgronje (1985:52) menuliskan, ada empat macam jenis obat yang digunakan masyarakat Aceh untuk menyembuhkan penyakit ta'eun.