Oleh: Rizki Ardial*)
SEBAGAI mahasiswa yang mempunyai harapan tinggi terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang baru, saya benar-benar kecewa. Hari ini, lembaga dewan seperti tidak tahu akan peran dan fungsinya.
Dengan tiga fungsi utama yang dimiliki, yaitu; legislasi, anggaran dan pengawasan, DPRA seharusnya menjadi mitra kritis Pemerintah Aceh dalam pembangunan Aceh ke arah yang lebih baik.
Namun, sejak dilantik pada 30 September 2019 lalu, DPRA ternyata belum mampu menunjukkan integritasnya sebagai parlemen yang kritis dalam mengawasi setiap kebijakan eksekutif.
Menurut saya, hal ini kemungkinan dipicu oleh dua sebab utama. Pertama, karena lemahnya kekuatan pimpinan DPRA dalam menyatukan semua komponen anggota dewan.
Atau kedua, aspirasi Anggota DPRA yang tidak dapat diterjemahkan dengan baik oleh pimpinan sehingga banyak aspirasi yang tidak tersampaikan kepada eksekutif.
Apabila hal ini terjadi, maka akan sangat berdampak pada eksistensi lembaga dewan di mata masyarakat. Akan muncul anggapan bahwa DPRA tidak terlalu penting dalam mengawal jalannya roda pemerintahan.
• Setelah India, Kini China Pancing Emosi Warga Indonesia, Klaim Batik Kerajinan Tradisional Tiongkok
• Idul Adha 1441 H Jatuh pada 31 Juli 2020? Ini Hasil Kajian Ilmu Falak
• Turki Siapkan 2 Imam dan 4 Muazin untuk Bertugas di Masjid Hagia Sophia
Padahal jika kita melihat orang-orang yang duduk di lembaga dewan periode ini, banyak terdapat politisi muda dengan latar belakang aktivis. Termasuk juga di jajaran pimpinan.
Kehadiran para mantan aktivis ini sempat memunculkan sebuah harapan baru yang dapat membawa pengaruh besar dalam pembangunan Aceh yang maju dan terarah.
Tetapi ternyata itu hanya menjadi sebuah harapan. Sikap DPRA yang kurang responsif terhadap berbagai persoalan telah membuat hilangnya kepercayaan masyarakat.
Hal ini juga berdampak pada pembangunan Aceh, karena tidak semua program yang dijalankan oleh eksekutif sudah efektif dan tepat sasaran, sesuai dengan kebutuhan masyarakat Aceh.
Kenyataan di lapangan sangat berbeda dengan yang dipaparkan saat perencanaan dan penganggaran. Apalagi pengawasan publik juga sangat lemah, yang disebabkan terbatasnya informasi yang dibuka, terutama menyangkut anggaran.
Para pejabat publik sering kali merasa bahwa masalah anggaran adalah rahasia negara. Padahal itu anggaran publik, dan hak masyarakat untuk memperoleh informasi sudah dijamin dalam UU Keterbukaan Informasi Publik.
• Lupakan Dulu New Normal karena Belum Waktunya
• Terlalu Posesif, Wanita Inggris Ini Selalu Curiga dan Setiap Hari Desak Suami Tes Kebohongan
• Bertambah Enam Orang Lagi Warga Positif Corona, Totalnya Kini di Aceh 107 Kasus, Empat Meninggal
Oleh karena itu, DPRA harus mampu menunjukkan kepada masyarakat bahwa setiap perencanaan dan penganggaran yang dibuat pemerintah harus benar-benar menjawab kebutuhan atau prioritas kebutuhan masyarakat.
Karena secara normatif, anggaran publik seharusnya merefleksikan keinginan dan kebutuhan masyarakat (publik).
Sebagai lembaga legislatif, DPRA punya peran penting dalam memastikan keberlangsungan pemerintahan yang bersih dan transparan, seperti masalah anggaran penanganan Covid-19.
Jangan sampai anggaran yang besar itu justru dimanfaatkan untuk memperkaya diri di tengah situasi darurat nasional saat ini.
Tapi yang membuat saya merasa aneh, jangankan masyarakat, dewan sendiri justru tidak tahu tentang rincian penggunaan anggaran penanganan Covid-19.
Ini berbahaya, karena menyangkut integritas lembaga dewan di mata publik.
• Ketua HPBM Banda Aceh: Kami Heran Pansus DPRA Dapil 4 Nihil Temuan di Bener Meriah dan Aceh Tengah
• Toyota Lanjutkan Produksi di Seluruh Dunia Secara Bertahap, Seusai Ditutup Sejak Februari 2020
• Cina Mengiba pada India Agar Mengakhiri Boikot Produk Mereka, Ini Rahasia Kekuatan India
Hal itu sekaligus juga menunjukkan betapa lemahnya wibawa DPRA di masa eksekutif. Dewan gagal menjalankan fungsi pengawasan, sehingga eksekutif sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahan.
Karena itu, isu bahwa ada deal-deal tertentu antara eksekutif dengan lembaga dewan bisa jadi benar adanya. Bagi dewan, yang terpenting adalah dana pokir (dana aspirasi). Jika itu sudah terpenuhi, pengawasan sudah selesai.
Misalnya seperti kasus proyek multiyear. Padahal sebelumnya tidak ada pembahasan oleh DPRA periode sebelumnya, dan pimpinan DPRA periode sekarang juga sudah membuat undangan rapat paripurna pembatalan proyek tersebut.
Namun ternyata sampai sekarang paripurna itu belum juga digelar. Jadi sangat wajar jika masyarakat menilai bahwa kemungkinan ada deal-deal tertentu antara lembaga dewan dengan eksekutif.
Contoh lain terkait persoalan Kawasan Industri Aceh (KIA) Ladong di Aceh Besar. Setelah investor angkat kaki dari kawasan itu, masyarakat belum melihat langkah serius yang ditempuh oleh DPRA.
Hingga kini belum ada langkah apapun yang ditempuh DPRA, dan bahkan terkesan membiarkan begitu saja PT PEMA mengelola minyak dan gas di Blok B. Padahal kita tahu, PT PEMA lebih banyak gagal daripada prestasi.
• Ikuti Jejak Apple, Mulai Tahun Depan, Smartphone Samsung Juga Tidak Disertai Charger
• Terpisah 16 Tahun karena Tsunami, Gadis Aceh Ini Menemukan Kembali Ayahnya Lewat Media Sosial
• Jangan Sembarangan Beli, Saus Sambal Botolan Dengan Ciri Seperti Ini Bisa Sebabkan Kanker
Anehnya, Ketua DPRA malah memberikan apresiasi kepada Pemerintah Aceh yang telah mengambil alih Blok B, sedangkan kejelasan status dan pengelolaannya hingga kini masih menjadi tanda tanya besar.
Saya bukannya tidak setuju DPRA mendukung dan mengapresiasi pemerintah. Tetapi DPRA juga harus mampu menjadi lembaga pengontrol, bukan justru menjadi buzer pemerintah. Ini sangat memalukan!
Begitu juga dengan masalah Bank Aceh, pembangunan onkologi RSUZA, kasus sapi kurus, dan lain sebagainya.
Belum lagi berbicara masalah kekhususan dan keistimewaan Aceh seperti implementasi butir-butir MoU Helsinki. Mungkin ini akan lebih sulit dilakukan, terlebih Pemerintahan Aceh masih dipimpin oleh seorang Pelaksana Tugas (Plt).
Hal seperti inilah yang membuat kami mahasiswa prihatin. Kehadiran abang-abang kami para mantan aktivis di lembaga dewan terhormat ternyata jauh dari harapan.
Jika abang-abang ingat, saat kami mengikuti ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus), abang-abanglah yang menanamkan dalam diri kami bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir bagi mahasiwa.
• Ini Penjelasan Buya Yahya Tentang Syarat Orang yang Dianjurkan Berkurban
• HARU! Anak Ketua DPRD Samarinda Ucap Ijab Qobul di Hadapan Jasad Ayahnya, Dilaksanakan Ala Kadarnya
• Kesaksian ABK Indonesia di Kapal China: Hasan Afriandi Tewas Dianiaya Mandor dengan Besi dan Kayu
Saat itu, abang-abang juga mengajarkan kami teknik persidangan, menjadi lembaga kontrol bagi rektorat, memberanikan kami mengkritik pemerintah.
Apakah abang sudah lupa itu, sehingga abang tidak tahu lagi cara membuat sidang paripurna pembatalan proyek multiyears atau bahkan tidak tahu lagi cara mengawasi eksekutif?
Sikap abang-abang di DPRA hari ini telah membuat kami para mahasiswa banyak yang bungkam, menolak kritis terhadap pemerintah, dan lebih memilih menjadi generasi rebahan.
Sikap kritis mahasiswa hari ini kerap mejadi bahan cemoohan. Dianggap perbuatan yang sia-sia karena saat nanti kami nanti berada di posisi dan jabatan yang sama, juga akan berbuat hal yang sama.
Kata-kata ini sangatlah merepresentasikan kondisi abang-abang hari ini di DPRA. Kami sangat sedih melihatnya.
Oleh karena itu, semoga tulisan ini menjadi pengingat kembali bagi abang-abang kami di DPRA. Anggap saja ini hanya sebatas nostalgia antara adek dan abang.
Karena abang-abang juga yang mengajari kami bersuara lantang mengatakan yang benar walaupun itu pahit.
Bukan maksud melawan senior, akan tetapi kami tidak ingin melihat senior kami seperti singa ompong yang sedang menunggu datangnya santapan dari sang tuan.
*) PENULIS adalah Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh, dan juga Mantan Presiden Mahasiswa UIN Ar-Raniry Banda Aceh periode 2019.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
• Sekolah di Zona Hijau Boleh Dibuka, Ini Panduan Keselamatan dari Kemendikbud yang Wajib Diikuti
• Hapus Segera, 11 Aplikasi Ini Berbahaya Bagi Ponsel Android
• 25 Tahun Pembantaian di Srebrenica, 8.000 Muslim Bosnia Dibunuh, Ditemukan Kuburan Massal Baru