Kupi Beungoh

Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Ali Hasymi, Cinta Meulaboh, dan Universitas Teuku Umar (V)

Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Staf Khusus Presiden Republik Indonesia, Gracia Billy Mambrasar meresmikan Pusat Inkubasi Bisnis Universitas Teuku Umar di Meulaboh, Aceh Barat, Rabu (17/2/2021).

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

KALAULAH gambar tokoh besar yang dijadikan “ikon’-nya universitas, terutama pada USK, UIN Ar-Raniry, dan UTU Meulaboh, akan muncul pertanyaan, apa sesungguhnya yang menjadi perbedaan besar dari gambar ketiga tokoh yang menjadi kebanggaan civitas akademikanya masing-masing?

Apa yang membuat Syekh Abdurrauf As Singkili, Syekh Nuruddin Ar-Raniry, dan Teuku Umar berbeda asal dan pesan gambarnya masing-masing kepada kita?

Ketiga gambar itu mempunyai kelebihan yang berbeda.

As Singkili dan Ar-Raniry hidup pada abad ke 17, zaman di mana fotografi belum tersedia, dan membuat lukisan makhluk atas nama apapun tidak banyak dipraktekkan di dunia Islam.

Akibatnya ketika Soekarno akan ke Aceh, meresmikan pembukaan Kopelma Darussalam, Ali Hasyimi kelabakan untuk menerangkan ikon visual kedua tokoh besar itu.

Dalam sejarah USK dan UIN Ar-Raniry belum ada penjelasan yang runtut tentang Asbabun Nuzul kedua gambar ulama besar itu.

Cerita berikut saya peroleh dari alm Dr. Gade Ismail, sejarawan Aceh asal Meureudu, ketika saya mengunjungi beliau pada musim gugur 1989 di Leiden.

Gade yang saat itu sedang menyelesaikan disertasinya tentang sejarah ekonomi Aceh, mengajak saya ke Berlin pas berkebetulan kami berangkat dan tiba hanya 3 jam setelah tembok Berlin dirobohkan.

Dalam perjalanan pulang dengan kereta api Train a Grande Vitesseke -TGV, ke Leiden, ketika kereta melewati kota Ostend di Belgia, Gade bercerita banyak tentang sisa benteng Napoleon di kota itu.

Saya memotong pembicaraan itu, dan bertanya tentang, bagaimana sejarah akan menulis robohnya tembok sebagai “ikon” kemenangan blok barat menundukkan blok timur pada saat itu.

Gade kemudian menguliahi saya tentang sejarah berhari-sampai berlanjut ketika saya pulang ke Aceh seminggu kemudian.

Satu kata kunci penting yang saya sangat ingat tentang “historical facts”, fakta sejarah.

Gade kemudian mengambil penamsilan fakta sejarah kontemporer yang berpeluang kecil untuk disembunyikan, dan fakta sejarah masa lalu yang kadang tak ada faktanya.

Diskusi itu buat saya adalah sebuah “grand lecture” Gade untuk saya yang nilai SKSnya mungkin sekitar 12, karena itu yang terus menerus menjadi “teman baik” saya dalam membaca sejarah.

Dan kata kunci itu menerangkan sangat banyak untuk saya.

Saya ingat ketika ia mengambil contoh kepiawaian Ali Hasyimi keluar dari kesulitan tentang gambar kedua tokoh besar yang belum ada, padahal peresmian Kopelma Darussalam hanya tinggal beberapa minggu lagi.

Hasyimi tak sabar dengan penugasan yang diberikan kepada seorang pelukis anomim yang juga gemar membaca-sebagian menyatakan Anzib Lamnyong atau orang lain yang dikawal olehnya, yang belum siap dengan gambarnya.

Padahal Soekarno akan datang kurang dari 2 minggu lagi.

Alasannya sangat sederhana, kedua tokoh itu tak ada fotonya.

Kegeraman Hasymi sesaat bertukar dengan dengan kearifan yang luar biasa.

Dia setuju bahwa gambar mereka tak ada, tapi ia juga menambahkan, “bukankah kamu baca banyak tulisan  tentang kedua tokoh itu. Bayangkan saja Ar-Raniry itu adalah orang Gujarat, ulama besar, teguh pendirian, tidak mau mengalah, dan sangat ingin memurnikan Islam menurut fiqih dan tauhid yang diyakininya.”

Hasymi melanjutkan, bayangkan juga As Singkili itu keturunan Persia yang sudah lama menetap dan belajar di Barus dan Mekkah.

Ia adalah penganjur nonkekerasan, dan bahkan mengeritik dan mendamaikan kedua faham yang pernah membuat Aceh berdarah pada masa Iskandar Tsani.

Bentrok besar faham wahdatul wujud dengan klaim sesat dan pemurnian tauhid versi Ar-Raniry kemudian membuat tragedi besar kehidupan beragama pada saat itu, kitab dibakar, dan pengikut dibunuh.

Adalah AsSingkili yang kemudian meluruskannya.

Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Menyaksikan Seniman Bertasbih dan Berzikir (I)

Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Menemukan Kembali Aceh di Amerika Serikat (II)

Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Kasab Meulaboh, Ibunda, dan Ikon Etnis (III)

Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Flash Gordon, Gampong Pande, Tanoh Abee, dan Makam Raja Pase (IV)

Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Silaban, Gerrit Bruins, Ibrahim Hasan & Estetika Baiturrahman (IV)

Mencari Model Hingga ke Pasar Aceh (Mungkin)

Sambil ketawa terbahak-bahak, Gade di awal subuh ketika kami melewati Antwerpen, Belgia, menerangkan kepada saya pelukis anonim itu kemudian mungkin saja mencari model dimana-mana, seperti Pasar Aceh mungkin, atau Dayah yang meungkin mempunyai wajah mewakili India Gujarat atau Persia asimilasi.

Itu dilakukan  sembari menghayati dan memegang penjelasan sejarah terhadap tokoh itu.

Kami berdua kemudian terbahak besar sampai menganggu penumpang lain yang terbangun dan melotot melihat kami.

Segera kami diam.

Dan hasilnya kata Gade dengan suara yang lebih halus, itula kedua gambar yang hari ini diyakini oleh banyak orang sebagai gambar kedua ulama besar.

“Itulah sebagian dari esensi sejarah” kata Gade.

Saya merenung kemudian bertanya “apakah Hasyimi salah” kepada Gade?

Gade mengatakan tidak sama sekali, dan ia bahkan memuji, “Hasyimi itu genius,” katanya.

Bagi Hasyimi, mungkin karena ia seorang seniman, yang terpenting adalah substansi pesan tentang siapa kedua tokoh secara paripurna.

Bahwa gambar itu tak lebih sebagai sarana untuk menyampaikan pesan itu.

Gade melanjutkan, sejauh tak ada gambar lain, sebagai alternatif maka gambar itulah yang benar, dan Hasymi mengakui itu kepada Gade pada tahun tahun 1990. Bukan main.

Baca juga: Kontroversi Hari Jadi Subulussalam, Ini Bukti Dokumentasi Surat Mantan Gubernur Prof Ali Hasyimi

UTU yang Beruntung

Apa yang terjadi dan dialami oleh USK dan UIN Ar-Raniry tidak dialami oleh Universitas Teuku Umar.

Kampus ini sangat beruntung memilih nama Teuku Umar dan memiliki paling kurang dua rektor pertama yang hebat, Alfian Ibrahim, dan Jasman J, Makruf.

Adalah Alfian yang bekerja keras dan mengerahkan segala potensi lokal yang ada dan jaringan provinsi dan nasional untuk membuat kampus itu dinegerikan.

Jasman J.Makruf adalah ilmuwan hebat yang juga kadang praktisi sekali waktu.

Ia adalah guru besar manajemen pemasaran dan tahu benar apa makna logo, image, dan identitas lembaga.

Saya haqqul yakin ia telah melumat habis buku-buku yang ditulis oleh Cornelissen, Van Reel, Argenti, atau Fombrun.

Itu adalah buku-buku komunikami korporasi yang menjadi bacaan wajib program MBA tidak hanya di kampus-kampus kecil di dunia, tetapi juga di Harvad Business School, Sloan di MIT, ataupun Wharton School di Universitas Pensylvania.

Salah satu topik penting yang dibahas adalah identitas, branding, reputasi, dan iklan.

Dan itulah salah satu yang dikerjakan oleh Jasman J. Makruf.

Seperti pengakuannya kepada saya, ia tak sulit untuk membangun kampusnya yang unik dan padu, walaupun ia harus mengerahkan paling kurang 20 orang tokoh ketika ia menggagas maket dan sentuhan keindahan etnik dan unversial  berikut dengan struktur dan keindahan aritektur.

Modal nama Teuku Umar baginya adalah anugerah dan asset yang paling besar.

Ia segera berkomunikasi dengan AD Pirous.

Ia mengaku kepada saya ia mendapat pencerahan besar dari AD tentang kehidupan, ilmu, seni, dan wawasan masa depan.

Ia tidak lagi melihat Pirous sebagai praktisi Seni Rupa.

Ia telah mendapatkan Pirous sebagai seorang generalis yang punya wawasan luas dan bahkan holistik.

Dan Jasman tahu ia harus “mencuri” kehebatan Pirous untuk dibawa kembali kampung halaman sang maestro.

Saya setuju dengan Jasman bahwa narasi Teuku Umar yang ada selama ini lebih bersifat “ketenteraan” yang menjagokan fisik tempur, walaupun ia mempunyai strategi yang lumayan.

Tantangan terbesar dengan nama Teuku Umar bagi Jasman bagaimana mencari alur sejarah yang menggambarkan Teuku Umar bukan hanya sosok yang mengandalkan “otot”, tetapi juga “reason” -penalaran dan “passion”-gairah menyala yang mumpuni.

Jasman lama gelisah.

Kegelisahan itu buyar seketika ketika ia bertemu Pirous dan melihat lukisan T. Umar di galerinya.

Sosiolog Aceh, Ahmad Humam Hamid, berkunjung ke galery lukisan seniman Indonesia kelahiran Meulaboh Aceh Barat, Abdul Djalil Pirous (AD Pirous), di kawasan Dago Pakar, Bandung, April 2021. (SERAMBINEWS.COM/Handover)

Apa yang dipikirkan oleh Jasman telah dikerjakan oleh Pirous dalam bentuk yang paripurna, menurut Jasman.

Teuku Umar telah “dihidupkan”oleh Pirous dan gambar itu akan “hidup” sepanjang zaman.

Dalam ceritanya kepada saya, Jasman bangga mengatakan bahwa UTU sudah punya identitas, sudah punya roh, dus sudah ada branding.

Tinggal sekarang katanya bagimana membangun reputasi.

Ia telah mendapat dua dari Pirous, wawasan dan seni yang kemudian dikawinkan dengan ilmu pemasaran yang ditekuninya.

Ketika saya bertanya tentang klaim identitas yang ia temukan, ia bahkan mempersilakan saya melihat lukisan Teuku Umar dan mempelajarinya.

Baca juga: Napoleon, Kohler, Muzakir Walad, dan Warisan Gampong Pande (3- Habis)

Dari Agam dan Berotot ke Seumike, Syae, dan Zike

Ketika melihat gambar itu bakda subuh beberapa  hari yang lalu dengan sangat sama, saya segera menangkap T. Umar telah dirobah narasinya dari narasi “agam” dan “berotot”  kepada narasi “seumike”dan  “syae dan zike”  oleh Pirous.

Kebalikan dari ikon USK dan UIN Ar-Raniry yang membuat gambaran visual utuh tentang AsSingkili dan Ar-Raniry, Pirous justeru menghilangkan gambar foto fisik T. Umar ke dalam bentuk guratan-guratan arwah yang syuhada yang sangat bernuansa perang sabil.

Pirous dengan sangat berhasil menyajikan tentang kesucian darah perang T. Umar dengan pedang yang terhunus, bercak darah pada sarung, wajah, topi, dan baju.

Lukisan itu menyertakan kepingan hikayat Prang Sabi yang robek dan ada pula sejumlah huruf Arab merah yang di sisi bahu dan kepala Teuku Umar.

Bagi yang buta aksara huruf Arab, lukisan T. Umar mungkin akan menyangka itu adalah ayat Alquran.

Kolase foto lukisan kaligrafi karya Abdul Djalil Pirous, seniman Indonesia asal Meulaboh Aceh Barat. Lukisan-lukisan ini disimpan di Serambi Pirous, studio galery, di Jl. Bukit Pakar Timur II/111 Bandung, 40198, Indonesia. (SERAMBINEWS.COM/Handover)

Padahal Pirous dengan sengaja telah membawa essensi Alquran yang telah “diAcehkan” oleh Teungku Syik Pante Kulu dalam hikayat Perang Sabil.

Bait sumpah Melayu Jawi hikayat itu dikutip oleh Pirous dan menjadi pembebas narasi Teuku Umar sebagai sosok maskulin yang berotot.

Lihatlah tulisan jawi  disebelah kanan. Nibak mate di rum inong-daripada mati di rumah isteri, bah le keunong senjata kaphe-biarlah kena senjata kafir.

Di sebelah kiri ditulis lagi, nibak mate di ateuh tilam,-daripada mati di atas tilam, bahle lam seuh prang syahid meugule-biarlah mati  syahid dalam saf perang saja.

Dengan nuansa gambar yang unik, dan kutipan bait syair itu Pirous telah sangat jitu memberikan tambahan kepada T. Umar.

Ia dan tentaranya tidak hanya  berperang dengan  raganya, tetapi juga dengan sukma, menyongsong kematian yang sangat indah.

Pirous telah merobah gambar fisik T Umar dalam kedalam bentuk cerita yang sangat sastrawi, dan itulah “nyawa” dari lukisan itu.

Mungkin itulah yang disebut dengan aura dan roh oleh Jasman kepada saya.

Bait indah menggambarkan tentang logika kematian dengan alasan, yang kemudian dibungkus rapi dengan kalimat indah, dan itu adalah “reason” sekaligus “passion” yang mengantarkan T. Umar ke wilayah penalaran sebagai jantung ilmu pengetahuan.

Melalui lukisan itu T. Umar telah komplit bersenyawa dan menyatu dengan Universitas kebangaan pantai barat itu.

Atas pemintaan Jasman-tanpa dimintapun mungkin akan dikasih- Pirous menghadiahkan replika besar gambar itu kepada UTU, dan kini dijadikan sebagai gambar pemula di Hall of Fame - dinding tokoh hebat di Universitas itu.

*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkini